MAKALAH
SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqh
I
Dosen Pembimbing:
H. Aris Yuana Yusuf, Lc. Ma
Oleh:
Kelompok 1
Ahmad Ali Azim 11110038
M. Ikhwan 11110145
M. Agung Wicaksono H.B 11110161
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum
islam merupakan istilah khas di Indonesia,sebagai terjemahan dari al-fiqh
al-islamy atau dalam keadaan konteks tertentu dari as-syariah al islamy.Istilah
ini dalam wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law.Dalam Al-Qur’an dan
Sunnah,istilah al-hukm al-Islam tidak ditemukan.Namun yang digunakan adalah
kata syari’at islam,yang kemudian dalam penjabarannya disebut istilah
fiqih.Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum dimaksud adalah hukum
islam.Sebab,kajiannya dalam perspektif hukum islam,maka yang dimaksudkan pula adalah hukum syara’ yang bertalian
dengan akidah dan akhlak.
Penyebutan
hukum islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam atau fiqh
islam.Apabila syari’at islam diterjemahkan sebagai hukum islam,maka berarti
syari’at islam yang dipahami dalam makna yang sempit.Pada dimensi lain
penyebutan hukum islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu
Negara,baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang
belum.Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy mendefinisikan hukum islam adalah koleksi
daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan
masyarakat.Dalam khazanah ilmu hukum islam di Indonesia,istilah hukum islam
dipahami sebagai penggabungan dua kata,hukum dan islam.Hukum adalah seperangkat
peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara
atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.Kemudian
kata hukum disandarkan kepada kata islam.Jadi,dapat dipahami bahwa hukum islam
adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul
tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang
diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama islam.
Dalam
ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang
berbagai macam dalil hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil
keputusan suatu hukum. Dalil – dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil
hukum yang sepakati dan ada juga yang tidak sepakati. Dalil hukum yang
disepakati adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas tetapi antara Ijma dan
Qiyas ada yang sepakat ada juga yang tidak akan tetapi yang tidak sepakat hanya
sebagian kecil yang tidak menyepakati adanya dalil hukum qiyas.
Sedangkan
dalil hukum yang tidak disepakati adalah Isthisan, isthisab, Maslahah Mursalah,
Urf, Mahzab Shahabi, dan syaru man Qoblama. Sebagian jumhur ulama ada yang
menjadikan dalil-dalil tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak
sepakat, maka disinilah terjadi 2 bagian, yang sebagian sepakat dan yang
sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum.
Tentunya
kita sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja dalil hukum yang disepakati
dan mana saja dalil hukum yang tidak disepakati, untuk membekali diri kita
dalam mengambil sebuah hukum, apakah yang dalam kehidupan kita sehari-hari
telah mengacu kepada dalil-dalil tersebut atau tidak. Jangan sampai ada keraguan
dalam diri kita mengenai sesuatu hukum.
B. Rumusan masalah
Mengingat
luasnya dimensi pembahasan yang akan kita bahas dalam makalah ini, maka,
penulis merasa perlu untuk memberikan batasan yang akan kita bahas dalam
makalah ini, adapun masalah yang akan kita bahas dalam makalah ini mengenai :
Pengertian hukum Islam dan Sumber-sumber Hukum Islam, Hukum Islam yang Disepakati
dan yang diperdebatkan, Keunggulan dan Keistimewaan Hukum Islam, serta Ciri
Khusus Dan Karakteristik Hukum Islam.
1.3 Tujuan
Dalam makalah ini penulis
membahas tentang Pengertian hukum Islam dan Sumber-sumber Hukum Islam, Hukum
Islam yang Disepakati dan yang diperdebatkan, Keunggulan dan Keistimewaan Hukum
Islam, serta Ciri Khusus Dan Karakteristik Hukum Islam, dengan tujuan agar kita
dapat mengetahui sumber-sumber hukum islam beserta beberapa hukum yang
disepakati dan yang diperdebatkan, untuk mengetahui keunggulan dan keistimewan
beserta karakteristi khusus hukum Islam. Terlebih agar mampu memahami dan mampu
memahamkan kepada orang lain (mengajarkan) serta mengimplementasikan
hukum-hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SUMBER HUKUM ISLAM
Hukum
menurut bahasa berarti menetapkan sesuatu atau tidak menetapkannya. Sedangkan
menurut istilah ahli usul fikih, hukum adalah khitab atau perintah Allah SWT
yang menuntut mukalaf untuk memilih atau mengerjakan dan tidak mengerjakan,
atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi adanya yang
lain, sah, batal rukhsah, dan azimah.
Maksud
sumber hukum adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang
mempunyai kekuatan, yang bersifat mengikat, yang apabila dilanggar akan
menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata. Dengan demikian sumber hukum Islam
adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan atau pedoman syari’at islam.
Pada
umumnya ulama fikih sependapat bahwa sumber utama hukum Islam adalah al Qur’an
dan Hadis. Rasulullah SAW bersabda:
“aku
tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat
selama-lamanya, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu Kitab Allah (al
Qur’an) dan sunahku (Hadis).” (H.R. Baihaqi).[1]
B. SUMBER HUKUM YANG DISEPAKATI
Berdasarkan
penelitian dapat dipastikan para jumhur ulama bersepakat menetapkan empat sumber
hukum (al-Quran, as-Sunnah, al-Ijtihad, al-Ijma, dan al-Qiyas) sebagai hukum
yang disepakati. Akan tetapi, ada beberapa ulama yang tidak menyepakati dua
sumber yang terakhir (Ijma dan Qiyas).
1.
AL-QUR’AN
a)
Definisi
Al-Qur’an
Secara
harfiah, al Qur’an berasal dari bahasa Arab yang artinya bacaan atau himpunan.
Al Qur’an berarti bacaan, karena merupakan kitab yang wajib dibaca dan
dipelajari, dan berati himpunan karena merupakan himpunan firman-firman Allah SWT
(wahyu).[2]
Para ulama
tafsir al Qur’an dalam berbagai kitab ‘ulumul qur’an, ditinjau dari segi bahasa
(lughowi atau etimologis) bahwa kata al Qur’an merupakan bentuk mashdar dari
kata qoro’a-yaqro’uu-qiroo’atan-wa qor’an-wa qur’aanan. Kata qoro’a berarti
menghimpun dan menyatukan; al Qur’an pada hakikatnya merupakan himpunan
huruf-huruf dan kata-kata yang menjadi satu ayat, himpunan ayat-ayat menjadi
surat, himpunan surat menjadi mushaf al Qur’an. Di samping itu, mayoritas ulama
mengatakan bahwa al Qur’an dengan akar kata qoro’a, bermakna tilawah: membaca.
Kedua makna ini bisa dipadukan menjadi satu, menjadi “al Qur’an itu merupakan
himpunan huruf-huruf dan kata-kata yang dapat dibaca”
Makna al
Qur’an secara ishtilaahi, al Qur’an itu adalah “Firman Allah SWT yang menjadi
mu’jizat abadi kepada Rasulullah yang tidak mungkin bisa ditandingi oleh
manusia, diturunkan ke dalam hati Rasulullah SAW, diturunkan ke generasi
berikutnya secara mutawatir, ketika dibaca bernilai ibadah dan berpahala besar”.[3]
b)
Kedudukan
Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum
Al-Qur’an
berfungsi sebagai hakim atau wasit yang mengatur jalannya kehidupan manusia
agar berjalan lurus. Itulah sebabnya ketika umat Islam berselisih dalam segala
urusan hendaknya ia berhakim kepada al-Qur’an. Al-Qur’an lebih lanjut
memerankan fungsi sebagai pengontrol dan pengoreksi tehadap perjalanan hidup
manusia di masa lalu. Misalnya kaum Bani Israil yang telah dikoreksi oleh
Allah.
Al-Qur‘an
juga mampu memecahkan problem-problem kemanusiaan dengan berbagai segi
kehidupan, baik rohani, jasmani, sosial, ekonomi, maupun politik dengan
pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan
Maha Terpuji.
Pada
setiap problem itu al-Qur’an meletakkan sentuhannya yang mujarab dengan
dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah
manusia dan yang sesuai pula dengan zaman. Dengan demikian, al-Qur’an selalu
memperoleh kelayakannya di setiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama
yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah
abad ke-14 ini, “Islam adalah suatu sistem yang lengkap, ia dapat mengatasi
segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air atau pemerintah dan
bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah
undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan atau
pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide.
Begitu pula ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah”.[4]
c)
Hukum-hukum
dalam Al-Qur’an
Hukum-hukum
yang terkandung di dalam al-Qur’an itu ada 3 macam, yaitu:Pertama,
hukum-hukumi’tiqadiyah. Yakni, hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban para
mukallaf untuk beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya.
Rasul-rasul-Nya dan hari pembalasan.
Kedua,
hukum-hukum akhlaq. Yakni, tingkah laku yang berhubungan dengan kewajiban
mukallaf untuk menghiasi dirinya dengan sifat-sifat keutamaan dan menjauhkan
dirinya dan sifat-sifat yang tercela.
Ketiga,
hukum-hukum amaliah. Yakni, yang berkaitan dengan perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan,
perjanjian-perjanjian dan mu’amalah (kerja sama) sesama manusia. Kategori yang
ketiga inilah yang disebut Fiqhul Qur’an dan itulah yang hendak dicapai oleh
Ilmu Ushul Fiqih.
Hukum-hukum
amaliah di dalam Al-Qur’an itu terdiri atas dua macam, yakni:
1)
Hukum
ibadat. Misalnya, shalat, shaum, zakat, haji dan sebagainya. Hukum-hukum ini
diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan hamba dengan Tuhan.
2)
Hukum-hukum
mu’amalat. Misalnya, segala macam perikatan, transaksi-transaksi kebendaan,
jinayat dan ‘uqubat (hukum pidana dan sanksi-sanksinya). Hukum-hukum mu’amalah
ini diciptakan dengan tujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia,
baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat.Hukum-hukum selain
ibadat menurut syara’ disebut dengan hukum mu’amalat.
Hasil
penyelidikan para ulama tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan
hukum-hukum menunjukkan bahwa hukum-hukum Al-Qur’an yang berkaitan dengan
ibadat dan ahwalus-syakhshiyahsudah terperinci. Kebanyakan dari hukum-hukum ini
bersifat ta’abudi (ibadat) sehingga tidak banyak memberikan kesempatan ahli
pikir untuk menganalisanya dan hukum ini bersifat permanen, tetap tidak
berubah-ubah lantaran perubahan suasana dan lingkungan.
Adapun
selain hukum-hukum ibadat dan ahwal al-syakhshiyah, seperti hukum perdata,
pidana (jinayat), perundang-undangan (dusturiyah), internasional (dauliyah) dan
ekonomi dan keuangan (iqtishadiyah wa al-maliyah), maka dalil-dalil hukumnya
masih merupakan ketentuan yang umum atau masih merupakan dasar-dasar yang
asasi. Sedikit sekali yang sudah terperinci. Hal itu disebabkan karena
hukum-hukum tersebut berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
kemaslahatan yang sangat dihajatkan.
Dalam
hal ini Al-Qur’an hanya memberi ketentuan-ketentuan umum dan dasar-dasar yang
asasi saja agar penguasa setiap saat mempunyai kebebasan dalam menciptakan
perundang-undangan dan melaksanakannya sesuai dengan kemaslahatan yang
dihajatkan pada saat itu, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
(dalil-dalil) dan jiwa syari’at.
Alasan
mengapa Al-Quran menjadi sumber hukum islam menurut Hadits yaitu :
Ali bin
Abi Thalib berkata: Aku dengar Rasulullah SAW bersabda: “Nanti akan terjadi
fitnah (kekacauan, bencana)” Bagaimana jalan keluar dari fitnah dan
kekacauan itu Hai Rasulullah? Rasul menjawab: “Kitab Allah, di dalamnya
terdapat berita tentang orang-orang sebelum kamu, dan berita umat sesudah kamu
(yang akan datang), merupakan hukum diantaramu, demikian tegas, barang siapa
yang meninggalkan al-Qur’an dengan sengaja Allah akan membinasakannya, dan
barang siapa yang mencari petunjuk pada selainnya Allah akan menyesatkannya,
Al-Qur’an adalah tali Allah yang sangat kuat, cahaya Allah yang sangat jelas,
peringatan yang sangat bijak, jalan yang lurus, dengan al-Qur’an hawa nafsu
tidak akan melenceng, dengannya lidah tidak akan bercampur dengan yang salah, pendapat
manusia tidak akan bercabang, dan ulama tidak akan merasa puas dan kenyang
dengan al-Qur’an, orang-orang bertaqwa tidak akan bosan dengannya, al-Qur’an
tidak akan usang sekalipun banyak diulang, keajaibannya tidak akan habis,
ketika jin mendengarnya mereke berkomentar ‘Sungguh kami mendengarkan al-Qur’an
yang menakjubkan, barang siapa yang mengetahui ilmunya dia akan sampai dengan
cepat ke tempat tujuan, barang siapa berbicara dengan landasannya selalu benar,
barang siapa berhukum dengannya hukumnya adil, barang siapa yang mengamalkan
al-Qur’an dia akan mendapatkan pahala, barang siapa yang mengajak kepada
al-Qur’an dia diberikan petunjuk ke jalan yang lurus” (HR Tirmidzi dari Ali
r.a.).[5]
2. AS-SUNNAH
a)
Definisi
As-Sunnah
As-Sunnah
atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik
berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam tanda setuju)
Nabi Saw. Sesuai dengan tiga hal tersebut yang disandarkan kepada Rasulullah
Saw, maka sunnah itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1)
Sunnah
qauliyyah ialah sabda yang beliau sampaikan dalam beraneka tujuan dan kejadian.
Misalnya sabda beliau sebagai berikut.
Tidak
ada kemudharatan dan tidak pula memudharatkan. (HR. Malik).
Hadis di
atas termasuk sunnah qauliyyah yang bertujuan memberikan sugesti kepada umat
Islam agar tidak membuat kemudharatan kepada dirinya sendiri dan orang lain.
2) Sunnah fi’liyyah ialah segala
tindakan Rasulullah Saw. Misalnya tindakan beliau melaksanakan shalat 5 waktu
dengan menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukunnya, menjalankan
ibadah haji, dan sebagainya.
3) Sunnah taqririyah ialah
perkataan atau perbuatan sebagian sahabat, baik di hadapannya maupun tidak di
hadapannya, yang tidak diingkari oleh Rasulullah Saw atau bahkan disetujui
melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap perkataan atau perbuatan
yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perkataan atau perbuatan yang
dilakukan oleh beliau sendiri.
b)
Kehujjahan
As-Sunnah
Kedudukan
As-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam, selain didasarkan pada keterangan
ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, juga didasarkan kepada kesepakatan para
sahabat. Para sahabat telah bersepakat menetapkan kewajiban mengikuti sunnah
Rasulullah Saw. Para ulama telah sepakat bahwa As-Sunnah dapat dijadikan hujjah
(alasan) dalam menentukan hukum. Namun demikian, ada yang sifatnya
mutaba’ah(diikuti) yaitu tha’ah dan qurbah (dalam taat dan taqarrub kepada
Allah) misalnya dalam urusan aqidah dan ibadah, tetapi ada juga yang ghair
mutaba’ah (tidak diikuti) yaitu jibiliyyah (budaya) dan khushushiyyah (yang
dikhususkan bagi Nabi). Contoh jibiliyyah seperti mode pakaian, cara berjalan,
makanan yang disukai. Adapun contoh khushushiyyah adalah beristri lebih dari
empat, shaum wishal sampai 2 hari dan shalat 2 rakaat ba’da Ashar.
Hukum-hukum
yang dipetik dari As-Sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang
diistinbathkan dari al-Qur’an sebagaimana diungkapkan dalam QS Ali- Imran: 32,
An- Nisa: 80, 59 dan 65, dan Al- ahzab: 36.
c)
Hubungan
As-Sunnah dengan Al-Qur’an
As-Sunnah,
dalam tinjauan hukum dan penafsiran, dapat dilihat dari dua aspek, yakni
hubungannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang bersifat mandiri. Dari aspek
hubungannya dengan al-Quran, As-Sunnah adalah sumber hukum yang kedua setelah
Al-Qur’an. Hubungan ini disebut hubungan struktural. Sementara dari aspek lain,
As-Sunnah sebagai penjelas bagi Al-Qur’an disebut hubungan fungsional. Di
antara dasarnya adalah firman Allah Ta’ala dalam QS. al- Hasyr: 7, an- Nahl:
44, dan an- Nahl: 64.
d)
Fungsi
As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
Fungsi
As-Sunnah terhadap al-Qur’an dari segi kandungan hukum mempunyai 3 fungsi
sebagai berikut.
1)
As-Sunnah
berfungsi sebagai ta’kid (penguat) hukum-hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an.
Hukum tersebut mempunyai 2 dasar hukum, yaitu Al-Qur’an sebagai penetap hukum
dan As-Sunnah sebagai penguat dan pendukungnya. Misalnya, perintah mendirikan
shalat, mengeluarkan zakat, larangan syirik, riba dan sebagainya.
2)
As-Sunnah
sebagai bayan (penjelas)
3)
takhshish
(pengkhusus) dan taqyid (pengikat) terhadap ayat-ayat yang masih mujmal
(global), ‘am (umum) atau muthlaq (tidak terbatasi), yaitu ayat-ayat Al-Qur’an
yang belum jelas petunjuk pelaksanaannya, kapan dan bagaimana, dijelaskan dan
dijabarkan dalam As-Sunnah. Misalnya, perintah shalat yang bersifat mujmal
dijabarkan dengan As-Sunnah. Nabi Saw bersabda: “Shalatlah kalian seperti
kalian melihat (mendapatkan) aku shalat.” (HR. Bukhari)
Alasan
mengapa Hadits di jadikan sumber hukum islam menurut:
Hidayatullah.Com–As-Sunah sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran,
tidak diragukan pengaruhnya di dalam dunia fiqih Islam, terutama pada masa para imam mujtahid dengan
berdirinya mazhab-mazhab ijtihad. Sebagai masa
kejayaan kajian ilmu hukum Islam di dalam dunia sejarah. Hal semacam ini
tidak pernah terjadi pada umat agama lain, baik di zaman dahulu atau sekarang.
Setiap orang yang mendalami mazhab-mazhab fiqih, maka akan mengetahui betapa
besar pengaruh As-Sunah di dalam penetapan hukum-hukum fiqih.
As-Sunah
atau dalam istilah lain Hadis Nabi, secara terminologi adalah segala sesuatu
yang bersumber dari Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan atau
ketetapan. Adapun arti kehujahan Sunah di sini adalah: kewajiban bagi kita
untuk beramal sesuai dengan As-Sunah dan menjadikannya sebagai dalil untuk
menggali hukum syari’.
Hadis
Nabi, walaupun dapat menjadi hujah secara independen (mustaqil), sebagaimana
juga Al-Quran, namun kedua kitab tersebut saling melengkapi dan melegitimasi
bahwa keduanya adalah hujah dan sumber hukum di dalam syari’at Islam.[6]
3.
IJTIHAD
a)
Definisi Ijtihad
Pengertian
ijtihad secara bahasa atau pengertian menurut bahasa, ijtihad artinya,
bersungguh-sungguh menggunakan tenaga dan pikiran. Sedangkan dalam pengertian secara
istilah, ijtihad ialah, menggunakan pikiran untuk menetapkan hukum atas sesuatu
perkara yang dalam al Qur’an dan Sunnah Rasulullah belum dinyatakan hukumnya.
Akan tetapi, pengertian tersebut sama sekali tidak berarti bahwa dalam Al
Qur’an dan Sunnah terdapat kekurangan, hanya saja manakala beberapa masalah
tidak ditetapkan hukumnya.[7]
Menurut
pengertian kebahasaan kata Ijtihad berasal dari bahasa Arab, yang kata kerjanya
“jahada”, yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh. Menurut istilah dalam
ilmu fikih, ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan
sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung
du dalam al Qur’an dan Hadis dengan syarat-syarat tertentu.[8]
Ijtihad
menempati kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al Qur’an dan Hadis.
Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil
Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke
arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang
zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah
kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu
mendapat petunjuk.”
Dari
ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Baitullah,
apabila hendak mengerjakan sholat ia dapat mencari dan menentukan arah kiblat
saat itu melalui ijtihad dengan mencurahkan pikirannya berdasarkan tanda-tanda
yang ada.[9]
4. IJMA’
a.
Definisi
Ijma’
Menurut
ulama Ushul Fiqh, ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat
Islam pada suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara
tentang suatu masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan
kepada seluruh mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu waktu, mereka
kemudian bersepakat terhadap suatu hukum mengenai kejadian tersebut.
Kesepakatan mereka itulah yang disebut ijma.
b)
Kehujjahan
Ijma’
Apabila
keempat rukun ijma’ terpenuhi (1. Adanya sejumlah mujtahid saat terjadinya
peristiwa, 2. Adanya kesepakatan mujtahid tentang peristiwa tanpa memandang
latar belakang, 3. Adanya pendapat dari masing-masing mujtahid, 4. Realisasi
dari kesepakatan mujtahid) dengan diadakan perhitungan pada suatu masa diantara
masa-masa sesudah Rasulullah SAW wafat terhadap semua mujtahid Umat Islam
menurut perbedaan latar belakang para mujtahid, kemudian mereka dihadapkan
kepada suatu kejadian untuk diketahui hukum syara’nya dan masing-masing
mujtahid mengemukakan pendapat , baik secara kolektif ataupun secara individual,
kemudia mereka sepakat atas suatu hukum mengenai suatu peristiwa maka hukum
yang disepakati ini adalah suatu undang-undang syar’I yang wajib diikuti dan
tidak boleh ditentang.
Jadi
kehujjahan ijma’ sebagaimana dalam Qur’an Surat An-Nisa ayat 59, Allah
memerintahkan orang yang beriman untuk menaati Perintah-Nya, Rasul, dan juga
Ulil Amri. Ibnu Abbas menafsirkan Ulil Amrisebagai Ulama’, jika ulama’ telah
sepakat mengenai sesuatu hukum hendaknya hukum itu diikuti dan ditaati.
c)
Macam-Macam
Ijma’
Dilihat dari
segi melakukan ijtihadnya, ijma itu ada dua bagian yaitu :
1)
Ijma
Sharih yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap suatu kejadian
dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan
cara memberi fatwa atau memberi keputusan.
2)
Ijma
Syukuty yaitu sebagian mujtahid pada satu waktu mengemukakan pendapatnya secara
jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa dan
mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya
atau perbedaannya.
Sedangkan
dilihat dari segi qath’i dan zhanni dalalah hukumnya, ijma ini terbagi menjadi
dua bagian juga yaitu sebagai berikut.
1)
Ijma
Qoth’i. Dalalah hukumnya ijma sharih, hukumnya telah dipastikan dan tidak ada
jalan lain untuk mengeluarkan hukum yang bertentangan serta tidak boleh
mengadakan ijtihad hukum syara mengenai suatu kejadian setelah adanya ijma
sharih.
2)
Ijma
Zhanni. Dalalah hukumnya ijma syukuty, hukumnya diduga berdasarkan dugaan kuat
mengenai suatu kejadian. Oleh sebab itu masih memungkinkan adanya ijtihad lain,
sebab hasil ijtihad bukan merupakan pendapat seluruh mujtahid.[10]
5. QIYAS
a)
Pengertian Qiyas
Al-Qiyas
menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain yang bisa
menyamainya. Contohnya, mengukur pakaian dengan meteran. Sedangkan menurut
ulama Ushul Fiqh, Qiyas adalah menyamakan satu kejadian yang tidak ada nashnya
kepada kejadian lain yang ada nashnya pada hukum yang telah menetapkan lantaran
adanya kesamaan di antara dua kejadian itu dalam illat hukumnya. Misalnya,
masalah meminum khamr merupakan suatu perbuatan yang hukumnya telah ditetapkan
dalam nash. Hukumnya haram berdasarkan QS Al-Maidah ayat 90. Dengan illat
memabukkan. Oleh karena itu setiap minuman yang terdapat illat memabukkan
hukumnya sama dengan khamr dan haram meminumnya.
Umpamanya
hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu
hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
(Qs.5:90)
Haramnya
meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman
yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman
tersebut adalah haram. Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa
ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini
terbagi menjadi tiga kelompok:
Kelompok
jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak
jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
b)
Rukun-Rukun Al-Qiyas
Setiap
Qiyas terdiri dari empat rukun sebagai berikut
1)
Al-Ashl
ialah sesuatu yang hukumnya terdapat dalam nash. Rukun ini biasanya disebut
Maqis ‘Alaih (yang dipakai sebagai ukuran).
2)
Al-Far’u
ialah sesuatu yamg hukumnya tidak terdapat di dalam nash dan hukumnya disamakan
kepada al-ashl, biasa disebut juga Al Maqis (yang diukur).
3)
Hukmul
Ashl ialah hukum syara yang terdapat nashnya menurut al ashl dan dipakai
sebagai hukum asal bagi al-Far’u.
Al-Illat
ialah keadaan tertentu yang dipakai dasar bagi hukum ashl, kemudian al-Far’u
itu disamakan kepada ashl dalam hal hukumnya.[11]
C. SUMBER HUKUM YANG DIPERDEBATKAN
Selain
dari empat dalil hukum diatas yang mana para ulama sepakat, akan tetapi ada
juga dalil hukum yangmana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan
dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan dalil-dalil
ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain
mengingkarinya. Oleh karena itu ada dalil yang depakati dan dalil yang tidak
disepakati, dalil-dalil yang diperselisihkan pemakaiannya ada enam :
Al-Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, Madzhab Shahabi,
danSyaru Man Qablana.
1.
ISTHISAN
Menurut
bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama
ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang
lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil
syara”.
a)
Khilaf
Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang
menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam
As-Syafi”i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya
berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi”i berkata, “Siapa yang berhujjah
dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara” berdasarkan
keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara” hanyalah
Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan,
“Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan
shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah
arah Ka”bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara” untuk menentukan
arah Ka”bah itu.”
Namun
kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat
Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi”i. Menurut
Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu
kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi”i,
istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang
lebih enak.
Maka
seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan
pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi.
Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-Muwâfaqât menyatakan, “orang yang
menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan
keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui
bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara” dan sesuai
pula dengan kaidah-kaidah syara” yang umum.
b)
Kehujjahan
Isthisan
Menurut
Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa “Pada
hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena
sesungguhnya hukum isthisan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya
berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang mengalahkan terhadap qiyas yang jelas,
karena adanya beberapa factor yang menenangkannya yang membuat hati mujtahid
tenang. Sedangkan bentuk yang kedua dari isthisan adalah bahwa dalilnya adalah
maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini
juga yang disebut dengan segi Isthisan”.[12]
2.
ISTHISAB
Secara
terminologi Ushul Fiqih, sebagaimana umumnya istilah-istilah yang digunakan
dalam disiplin ilmu ini- ada beberapa definisi yang disebutkan oleh para ulama
Ushul Fiqih, diantaranya adalah Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang menyatakan
bahwa “(Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara
di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena
tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum
tersebut)”.
Banyak
ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil
atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan
dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ atau qiyas. Al-Syaukany misalnya
mengutip pandangan seorang ulama yang mengatakan: “Ia (istishhab) adalah
putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya tentang suatu masalah,
maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Qur’an, kemudian al-Sunnah, lalu ijma’,
kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun (boleh)
menetapkan hukumnya dengan ‘menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa
sekarang’ (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu,
maka prinsip asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku”.
a)
Jenis-jenis
Istishhab
Para
ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan
disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
1)
Istishhab
hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya;
yaitu mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat -dengan
perbedaan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah
hukum asal sesuatu itu adalah mubah atau haram-. Salah satu contohnya adalah
jenis makanan dan minuman yang tidak ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya
dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dalil lainnya seperti ijma’ dan qiyas
2)
Istishhab
al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan
bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang
membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu
3)
Istishhab
hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih
diperselisihkan.
b)
Kehujjahan
Isthisab
Isthisab
merupakan akhir dalil syar’I yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para
ahli ilmu ushul fiqh berkata :”Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat
beredarnya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang
telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya”.[13]
3.
MASLAHAH
MURSALAH (KEMASLAHATAN UMUM)
Mashalihul
mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat sendiri
secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan
menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat
mamiliki dua terma yaitu adanya manfaat (إجابي) dan menjauhkan madharat (سلبي). Terkadang maslahat ini ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini
menjadi qorinah menghilangkan mafsadat. Seperti pendapat fuqaha bahwasanya “
menghilangkan mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat” .
Seperti
dijelaskan sebelumnya bahwa maslahat merupakan inti dari setiap syari’at yang
diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud syari’at (ushulul
khomsah).
Adapun
mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak غير مقيد yaitu maslahat yang secara khusus tidak dijabarkan oleh nash
atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak adanya qorinah tersebut,
maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
Syarat-syarat
mashalihul mursalah menurut Imam Syatibi memberikan 3 syarat yang berbeda
dengan Imam Ghazali.
1)
Rasional.
Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa
menerimanya. Dengan syarat ini perkara-perkara prinsip (ibadah) tidak masuk
kepada mashlahat mursalah.
2)
Sinergi
dengan maqhasid syari’ah
3)
Menjaga
prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raf’ul haraj).
a)
Kehujjahan
Maslahah Mursalah
Masih
menurut Abdul Wahab Kallaf menyatakan bahwa Jumhur Ulama Ummat Islam
berpendapat, bahwasannya maslahah mursalah adalah Hujjah Syar’iyyah yang
dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada
hukumnya dalam nash atau Ijma’ atau qiyas, ataupun Isthisan disayri’atkan
kepadanya hukum yang dikehendaki oleh kemaslahatan umum. Pembentukan hukum
tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh ditangguhkan sampai ada bukti
pengakuan dari syara’”.
Akan
tetapi masih banyak juga yang menolak mengenai kehujahan Maslahah Mursalah
mereka berpendapat bahwa maslahah mursalah yang tidak ada bukti syar’I yang
membuktikan terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, dan tidak bisa
dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum.
Yang
jelas mentarjihkan pendasaran pembentukan hukum atas maslahah mursalah dapat
dilakukan, karena apabila tidak dibuka maka akan terjadi stagnasi pembentukan
hukum Islam dan akan berhenti mengikuti perjalanan situasi dan kondisi serta
lingkungan.
Adapun
terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama
menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun
dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama
Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil
disyaratkan maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits
atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu
merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat
yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi
suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-mursalah
sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh
yang paling banyak dan luas menerapkannya.[14]
4.
‘URF
a)
Pengertian
‘Urf
‘Urf
menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang
yang diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat. Sedangkan
menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh
manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
b) Pembagian ‘urf
1)
Ditinjau
dari bentuknya ada dua macam
a)
Al Urf
al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging)
dalam hal ini tidak termasuk daging ikan
b)
Al Urf
al Fi’ly, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli
dalam masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
2)
Ditinjau
dari segi nilainya, ada dua macam :
a)
Al Urf
As Shahih, yaitu urf’ yang baik dan dapat ditrima, karena tidak bertentangan
dengan nash hukum syara’
b)
Al Urf
al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum
syara
3)
Ditinjau
dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a)
Al Urf
Am, ialah Urf’ yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
b)
Al urf
al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf
adalah kebiasaan masyarakat tetentu.
4)
Syarat-syarat
urf dapat diterima oleh hukum islam
a)
Tidak
ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Qur’an atau as Sunnah.
b)
Pemakian
tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syari’at termasuk juga tidak
mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan.
c)
Telah
berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.
d)
Kehujjahan
’urf
Para
ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar
pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan.
Ulama
Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk madinah.
Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber
hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara’
Imam
Safi’i terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek
yang belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang
fasid tidak dapat diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas
maupun ketentuan umum nas.[15]
5.
DZARI’AH
Dzari’ah
merupakan salah satu sumber hukum pokok (ashl) yang secara seksplasit
diturunkan dalam kitab-kitab dari madzhab maliki dan hanbali, adapun
kitab-kitab madzhab yang lain tidak menuturkannya dengan judul itu. Tetapi
secara implasit bab ini dibahas dalam fiqh Madzhab Syafi’i dan Hanafy, mesk
terdapat perbedaan pada bagian-bagian tertentu dan ada pula kesamaan pada
bagian-bagian yang lain.
Dari
segi etimologi, Dzari’ah berarti wasilah (perantaran). Sedangkan dzari’ah
menurut istilah ahli hukum islam, ialah sesuatu yang menjadi perantara ke arah
perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan. Dalam hal ini, ketentuan hukum yang
dienakan pada dzari’ah selalu mengikuti ketentuan hukum yang terdapat pada
perbuatan yang menjadi sasarannya. Jelasnya: perbuatan yang membawa ke arah
mubah adalah mubah; perbuatan yang membawa ke arah haram adalah haram; dan
perbuatan yang menjadi perantara atas terlaksananya perbuatan wajib adalah
wajib. Misalnya, zina adalah haram. Maka, melihat aurat wanita haram juga.
Sholat jum’at adalah (fardhu) wajib. Maka, meninggalkan jual beli guna memenuhi
kewajiban menjalankan ibadah sholat jum’at adalah wajib, karena hal itu
merupakan dzari’ah.[16]
6.
SYARI’AT
UMAT SEBELUM ISLAM
Sesunguhnya
syari’at-syari’at (agama) samawi secara prinsipil adalah satu.[17] Sesungguhnya yang
menurunkan syari’at-syari’at samawi adalah satu, yakni Allah SWT, maka berarti
esensinya juga satu. Nash di atas jelas menerangkan hal itu, diperkuat dengan
ijma’ ulama. Hanya saja memang Allah SWT mengharamkan sebagian perkara atau
perbuatan atas sebagian kaum tertentu. Pengharaman ini dimaksudkan untuk
mencegah mereka dari tenggelam dalam kehidupan yang diliputi nafsu syahwat,
sebagaimana firman Allah SWT.[18]
Selain
itu, bentuk maupun cara ibadah masing-masing syari’at samawi juga berbeda-beda,
meski esensinya tetap sama, yaitu menyembah Allah yang maha Esa yang tidak ada
sekutu bagi_Nya. Begitu pula mengenai perincian sebaian masalah-masalah
juziyyat, seperti pengaturan zakat dan lain sebagainya.
Oleh
karena itu, terdapat beberapa hukum syari’at umat terdahulu yang dinashkh
dengan syari’at Muhammad SAW, disamping sebagian diantaranya masih tetap
dilestarikan. Syari’at tentang Qishahs dan sebagian hukum had (dera) misalnya
masih tetap berlaku dalam Islam sebagaimana tercantum dalam Taurat.[19]
D. KEUNGGULAN DAN KEISTIMEWAAN HUKUM
ISLAM
Hukum
islam mempunyai beberapa keistimewaan dan keunggulan yang menyebkan hukum islam
menjadi hukum yang paling kaya, dan paling dapat memenuhi hajat masyarakat,
serta menjamin ketenangan dan kebahasgiaan masyarakat.
Maziah
dan mahsanah itu apabila dapat dipraktekkan bersama-sama dengan ajaran-ajaran
islam yang lain, niscaya benar-benar dapat membentuk suatu umat yang ideal,
yang padanya terkumpul segala unsur kekuatan yang adil, keteguhan dan kehidupan
yang baik serta kemajuan yang utama.
Diantara
keunggulan hukum islam, ialah:
1.
Hukum
yang mudah, jauh dari sulit dan sempit. Mudah diamalkan, jauh dari kepicikan,
segala hukumnya selalu dapat berjalan seiring dengan fitrah manusia.
Hukum
islam mempunyai kaidah:
Ù…َا ضَاقَا Ø´َÙŠْØ¡ٌ اِÙ„َّا اتَّسَعَ
“Tidaklah
sempit, melainkan dia menjadi luas”
2.
Hukum
islam sesuai dengan ketetapan akal dan logika yang benar dan dengan fitrah
manusia sebelum fitrah itu dirusak hawa nafsu.
3.
Tujuan
hukum hanyalah mewujudkan kemaslahatan masyarakat, baik di dunia maupun
diakhirat, menolak kemudharatan dan kemafsadatan, serta mewujudkan keadilan
yang mutlak.
4.
Hukum-hukumnya bersifat azimah dan rukhsah.
5.
Memperbolehkan
kita memakan yang baik dan bersolek asal tidak berlebih-lebihan dan tidak untuk
membanggakan diri.
6.
Mengimbangai
hak jiwa dengan hak anggota tubuh dalam batas-batas yang imbang
7.
Menyamaratakan taklif (beban hukum) antara
segala mukallaf
8.
Amal
ibadah pada lahirnya berkisar sekitar apa yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an
dan As-Sunnah.
9.
Segala
amal usaha manusia dipautkan dengan motivasi yang menggerakkan.
10. Diantara khususiyyah dan maziyah
islam, bersendinya atas akhlak-akhlak yang luhur dan keutamaan-keutamaan yang
tinggi dan didasari perhitungan mendalam terhadap segala sesuatu yang dilakukan
manusia.
11. Pintu hukuman siksa dan hukuman-hukuman
takzir terbuka luas dalam hukum islam.
12. Hukum-hukum kenegaraan,
ketentaraan, pengadilan diserahkan kepada ijtihad ulul amri, para penguasa,
pimpinan-pimpinan peperangan dengan ketentuan memlihara prinsip-prinsip syara’
dan kaidah-kaidah hukum.
13. Hukum-hukum yang diperincikan, diterangkan
secara tafsil, hanyalah hukum-hukum yang berlaku untk sepanjang masa dan untuk
seluruh umat
14. Alat pembuktian yang dapat
dipergunakan hakim dan cara yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan hukum untuk
mewujudkan keadilan
15. Menghargai kemerdekaan berfikir,
kecerdasan akan para mujtahid dalam bidang-bidang yang boleh berlaku ijtihad.
16. Peningkatan derajat dan martabat
wanita.
17. Memberi kedudukan yang baik
kepada budak sahaya.
Islam
tidak membatalkan jenis perbudakan, walaupun mungkin dilakukan, adalah karena
di waktu islam mulai berkembang, perbudakan itu merupakan suatu adat yang
merata disegenap masyarakat.
18. Membeli jaminan yang baik kepada
ahludz dzimma.
Kemerdekaan
mereka dalam beragama harus dijamin.Keagamaan mereka harus dipelihara.Mereka
harus diperlakukan sebagai memperlakukan kaum muslimin sendiri.Mereka dinamakan
ahludz dzimmah adalah karena mereka memperoleh hak berdasar kepada dzimmah
Allah dan dzimmah Rasul-Nya (berdasar perjanjian yang sudah dibuat dengan Negara).Jizyah
yang dikenakan atas mereka bukanlah merupakan suatu beban yang berat.Jizyah
hanya dikenakan atas lelakia yang merdeka dan sanggup berusaha.
19. Da’wah ilal khairi,amrun bil
ma’ruf, nahyun anil munkar
Diantara
keunggulan islam ialah menunjuki kita cara memperbaiki masyarakat, melalui
jalan dakwah ilal khair, amrun bil ma’ruf dan nahyun anil munkar.
Tugas
dakwah ini hanyalah dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai keahlian,
mengetahui hukum-hukum syara’, martabat-martabat hisbat, jalan-jlan melaksanakan
kewajiban ini, mengetahui keadaan-keadaan masyarakat dan tindakan-tindakan yang
sesuai dengan keadaan itu.
20. Jihad disyariatkan untuk
kepentingan membela kehormatan
21. Membina dua kaidah pokok bagi
pemerintahan dan kekuasaan
22. Kewajiban kepada Negara ialah memenuhi
kemaslahatan rakyat
23. Ketaatan rakyat kepada kepala
Negara, bersumber kepada ketaatan kepada Allah dan Rasulnya.
24. Rakyat meminta pertanggungan
jawab terhadap harta kekayaan yang diperoleh di masa berkuasa untuk kepentingan
pribadinya
Hukum
Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah SWT dan sunah
Rasulullah SAW tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui dan diyakini
berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.
Ditinjau
dari segi penetapannya, hukum Islam dibagi kepada dua macam. Pertama, hukum
syariat yang diartikan dengan ketentuan yang ditetapkan Allah SWT yang
dijelaskan oleh Rasul-Nya tentang tindak-tanduk manusia di dunia dalam mencapai
kehidupan yang sejahtera di dunia dan di akhirat.
Kedua,
hukum fikih, yaitu ketentuan yang ditetapkan oleh mujtahid berdasarkan nalar
sebagai refleksi perkembangan kehidupan masyarakat yang selalu mengalami
perubahan.
Berdasarkan
pengertian di atas dan yang terdapat dalam Alquran dan sunah Rasulullah SAW.
Hukum Islam mempunyai banyak keistimewaan dibanding dengan hukum-hukum yang
berlaku pada agama lainnya.
1.
CIRI
KHUSUS HUKUM ISLAM
Hukum
islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian agama islam. Sebagai
system hukum ia mempunyai beberapa istilah kunci yang perlu dijelaskan lebih
dahulu, sebab kadangkala membingungkan, kalau tidak diketahui persis maknanya.
Yang dimaksud adalah istilah-istilah.[20]
1.
Hukum
2.
hukm dan
ahkam
3.
sari’ah
atau syariat
4.
fiqih
atau fiqh dan beberapa kata lain yang berkaitan dengan istilah-istilah
tersebut.
Jika kita
berbicara hukum secara sederhana segera terlintas dalam piiran kita
peraturan-peraturan seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam
suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berkenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara
tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Disamping itu, ada konsepsi hukum lain
diantaranya adalah konsepsi hukum islam. Dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan
oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda
dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainya, karena manusia yang
hidup dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan. Hubungan-hubungan itu,
seperti telah terulang disinggung dimuka, adalah hubungan manusia dengan tuhan,
hubungan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia yang
lain, dan hubungan manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya
seperangkat ukuran tingkah laku yang di dalam bahasa arab ,disebut hukmun
jama’nya ahkam.
Dari uraian di atas dapat di tandai ciri-ciri (utama)hukum Islam,[21] yakni:
1.
merupakan
bagian dan bersumber dari agama Islam.
2.
mempunyai
hubungan yang erat dan tidak dapat di pisahkan dari iman atau aqkidah dan
kesusilaan atau akhlak Islam.
3.
mempunyai
dua istilah kunci yakni: syari’at dan fiqih.Syariat terdiri dari wahyu Allah
dan Sunnah Nabi Muhamad, fiqih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia
tentang syari’ah.
4.
terdiri
dari dua bidang utama yakni: ibadah dan muammalah dalam arti yang luas.Ibadah
bersifat tertutup karna telah sempurna dan muammalah dalam arti kusus dan lua
bersifat terbuka untuk dikembangkan oleh manusia yang memahami syari’at dari
masa ke masa.
5.
stukturnya
berlapis,terdiri dari:
a.
nas atau
teks Alqur’an.
b.
Sunah
Nabi Muhamad (untuk syari’at).
c.
hasil
ijtihad manusia yang mempunyai syarat
tentang wahyu dan sunnah,
d.
pelaksanaan
dalam praktik baik.
e.
berupa
keputusan hakim,maupun berupa amalan- amalan
umat islam dalam masyarakat (untik fiqih).
6.
mendahulukan
kewajiban dari hak,amal dari pahala.
7.
dapat
dibagi menjadi: hukum taklifi atau hukum taklif
yakni al-ahkam al-khamsah yang terdiri dari lima kaidah,lima jenis
hukum, lima kategori hukum, yakni ja’iz, sunnat, makruh, wajib, dan haram, dan
hukum wadh’I yang mengandung sebab,
syarat, halangan terjadi atau terwujudnya hubungan hukum.
8.
berwatak
universal, berlaku abadi untuk umat Islam di mana pun mereka berada, tidak
terbatas pada umat Islam di suatu tempat
atau Negara pada sutu masa saja.
9.
menghormati
martabat manusia sebagai kersatuan jiwa dan rag, rohani dan jasmani saerta
memelihara kemulian manusia dan
kemanusiaan secara keseluruhan.
10. plaksanaanya dalam praktik
digerakkan oleh iman (akidah) dan akhlak umat Islam.
Tujuan
Hukum Islam melarang perbuatan yang pada
dasarnya merusak kehidupan manusia. Sekalipun perbuatan itu disenangi oleh
manusia atau sekalipun umpanya perbuatanya itu dilakukan hanya oleh seseorang
tanpa merugikan orang lain, Sperti seseorang minum minuman yang memabukkan
(khamr).Dalam pandangan Islam perbuatan orang itu tetep dularang, Karna dapat
merusak akalnya yang seharusnya ia pelihara, Walaupun ia membeli minuman
tersebut dengan uangnya sendiri dan di minum di rumahmya sendiri tanpa
mengganggu orang lain.[22]Demikian juga hubungan
seksual-di luar nikah (zina), perbuatan tersebut mutlak di larang siapapun yang
melakukanya, Walaupun mereka melakukunya dengan sama suka, tanpa paksaan dan
tidak merugikan orang lain.
Islam
mengajarkan agar dalam hidup bermasyarakat ditegakkan keadilan dan ikhsan.
Keadilan yang harus ditegakkan mencakup keadilan terhadap diri pribadi,
Keadilan Hukum keadilan sosial,-dan keadilan dunia.[23]
2.
HUKUM
ISLAM DAN KEMANUSIAAN
A. Pengertian Hukum Islam (syari’ah)
Makna
syari’ah adalah jalan ke sumber (mata) air, dahulu (di arab) orang
mempergunakan kata syari;ah untuk sebutan jalan setapak menuju ke sumber (mata)
air yang diperlukan manusia untuk minum dan membersihkan diri.[24]
Kata
syari’ah ini juga berarti jalan yang lurus, jalan yang lempang tidak
berkelok-kelok,juga berarti jalan raya. Kemudian penggunaan kata syari’ah ini
bermakna peraturan, adat kebiasaan, undang-undang dan hukum.
Syariah
islam berarti segala peraturan agama yang ditetapkan Allah untuk ummat islam,
baik dari Al-Qur’an maupun dari sunnah Rasulullah saw. yang berupa
perkataan,perbuatan ataupun takrir (penetapan atau pengakuan).
Pengertian
tersebut meliputi ushuluddin (pokok-pokok agama), yang menerangkan tentang
keyakinan kepada allah berserta sifat-sifatnya, hari akhirat dan sebagainya,
yang semuanya dalam pembahasan ilmu tauhid atau ilmu kalam. Ia juga mencakup
kegiatan-kegiatan manusia yang mengarah kepada pendidikan jiwa dan keluarga
serta masyarakat. Demikian pula tentang jalan yang akan membawanya kepada
kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Ini semuanya termasuk dalam pembahasan
ilmu akhlak.
Menurut
pengertian-pengertian tersebut, syariah itu meliputi hukum-hukum Allah bagi
seluruh perbuatan manusia, tentang halal,haram makruh,sunnah dan mubah
pengertian inilah yang kita kenal ilmu
fiqih, yang sinonim dengan istilah “undang-undang”.
Para
pakar hukum islam selalu berusaha memberikan batasan pengertian “Syariah” yang
lebih tegas, untuk memudahkan kita mebedakan dengan fiqih,yang dia antaranya
sebagai berikut:
1.
Imam Abu
Ishak As-syatibi dalam bukunya Al-Muwafaqat ushulil ahkam mengatakan :
Artinya
“ bahwasannya arti syariat itu sesungguhnya menetapkan batas tegas bagi
orang-orang mukallaf dalam segala perbuatan,perkataan dan akidah mereka.
2.
Syikh
Muhammad Ali ath-thawi dalam bukunya kassyful istilahil funun mengatakan
Artinya
“Syariah yang telah diisyaratkan Allah untuk para hambanya, dari hokum-hukum
yang telah dibawa oleh seseorang nabi dan para nabi Allah as. Baik yang
berkaitan dengan cara pelaksanaanya, dan disebut dengan far’iyah amaliyah, lalu
dihimpun oleh ilmu kalam dan syari’ah ini dapat disebut juga pokok akidah dan
dapat disebut juga dengan diin(agama) dan millah.
Definisi
tersebut menegaskan bahwa syariah itu muradif(sinonim) dengan diin dan
milah(agama). Berbeda dengan ilmu fiqih, karena ia hanya membahas tentang
amaliyah hukum(ibadah), sedangkan bidang akidah dan hal-hal yang berhubungan
dengan alam ghaib dibahas oleh ilmu kalam atau ilmu tauhid.
3.
Prof.DR.
Mahmud Salthut mengatakan bahwa :
“sayariah
ialah segala peraturan yang telah diisyaratkan allah,atau ia telah
mensyariatkan dasar-dasarnya, agar manusia melaksanakannya, untuk dirinya
sendiri dalam berkomunikasi dengan tuhannya dengan sesama muslim dengan sesama
manusia denga alam semesta dan berkomunikasi dengan kehidupan.”
B. Ruang Lingkup Hukum Islam
Jika
kita bandingkan hukum islam bidang muamalah ini dengan hukum barat yang
membedakan antara hukum privat (hokum perdata) dengan hukum public,maka sama
halnya dengan hukum adat di tanah air kita, hukum islam tidak membedakan
(dengan tajam) antara hukum perdata dengan hukum publik disebabkan karena
menurut system hukum islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik ada
segi-segi perdatanya.
Itulah
sebabnya maka dalam hukum islam tidak dibedakan kedua bidang hukum itu. Yang
disebutkan adalah bagian-bagian nya saja seperti misalnya,
1.
Munakahat
2.
Wirasah
3.
muamalat
dalam arti khusus
4.
jinayat
atau ukubat
5.
al –
ahkam as sulthaniyah (khilifah)
6.
siyar
dan
7.
mukhasamat.[25]
Kalau
bagian – bagian hukum islam itu disusun menurut sistematik hukum barat yang
membedakan antara hukum perdata dengan hokum publik seperti yang di ajarkan
dalam pengantar ilmu hokum di tanah air kita, yang telah pula di singung di
muka, susunan hokum muamalah dalam arti luas itu adalah sebagai berikut:
Hukum
perdata ( islam ) adalah:
1.
munakahat
mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta
akibat-akibatnya.
2.
wirasah
mengatur segala masalh yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta
peninggalan serta pembagian warisan. Hukum kewarisan Islam ini disebut juga hukum fara’id.
3.
muamalat dalam arti khusus, mengatur masalah kebendaan
dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual-beli, sewa
menyewa, pinjam meminjam, perserikatan, dan sebagainya.
Hukum
publik(islam) adalah:
4.
jinayat yang memuat aturan-aturan mengenai
perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarinah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Yang dimaksud
dengan jarimah adalah perbuatan pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas
hukumanya dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad (hudud jamak dari hadd =
batas ). Jarimah ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman
hukumanya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya (ta’zir =
ajaran atau pengajaran)
5.
al-ahkam
as-sulthaniyah membicarakan soal-soal yang berhubungan dengan kepala Negara, pemerintahan,
baik pemerintahan pusat maupun daerah , tentara, pajak dan sebagainya.
6.
siyar
mengatur segala urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk agama dan
Negara lain.
mukhasamat mengatur soal peradilan, kehakiman,
dan hokum acara.
E.
Karakteristik Hukum Islam
Hukum islam memiliki karakteristik
tersendiri yang berbeda dengan karakteristik sistem hukum lain yang berlaku di
dunia. Berbedanya karakteristik ini disebabkan karena hukum islam berasal dari
Allah SWT, bukan buatan manusia yang tidak luput dari kepentingan individu dan
hawa mafsu. Salah satu karakteristik hukum islam adalah menyedikitkan beban
agar hukum yang ditetapkan oleh Allah ini dapat dilaksanakan oleh manusia agar
dapat tercapai kebahagiaan dalam hidupnya.[26]
Hasbi Ashiddieqy mengemukakan bahwa
hukum islam mempunyai tiga karakter yang merupakan ketentuan yang tidak
berubah, yakni : pertama, takamulyaitu sempurna, bulat
dan tuntas. Maksudnya bahwa hukum islam membentuk umat dalam suatu ketentuan
yang bulat, walaupun mereka berbeda-beda bangsa dan berlainan suku, tetapi
mereka satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kedua,
wasathiyat (harmonis), yakni hokum islam menempuh jalan tengah, jalan
yang seimbang dan tidak berat sebelah, tidak berat kekanan dengan mementingkan
kejiwaan dan tidak berat kekiri dengan mementingkan perbedaan. Hukum islam
selalu mnyelaraskan diantara kenyataan dan fakta dengan ideal dari
cita-cita. Ketiga, Harakah (dinamis), yakni hokum islam
mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup dan dapat
membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Hukum islam
terpencar dari sumber yang luas dan dalam, yang memeberikan kepada manusia
sejumlah hukum yang positif dan dapat dipergunakan pada setiap tempat dan
waktu.[27]
Menurut Yusuf Al-Qadhrawi,
berpendapat bahwa karakteristik hokum islam ada sepuluh, yaitu :[28]
1)
Hukum islam itu memudahkan dan
menghilangkan kesulitan.
2)
Memerhatikan tahapan masa atau
berangsur-angsur.
3)
Turun dari nilai ideal menuju
realita dalam situasi darurat.
4)
Segala hal yang merugikan atau
kesengsaraan umat harus dilenyapkan dan dihilangkan.
5)
Kemudharatan tidak boleh dihilangkan
dengan kemudharatan.
6)
Kemudharatan yang bersifat khusus
digunakan untuk kemudharatan yang bersifat umum.
7)
Kemudharatan yang ringan digunakan
untuk menolak kemudhartan yang berat.
8)
Keadaan terpaksa memudahkan
perbuatan atau tindakan yang terlarang.
9)
Apa yang dibolehkan karena terpaksa,
diukur menurut ukuran yang diperlukan.
10)
Menutup sumber kerusakan didahulukan
atas mendatangkan kemaslahatan.
Menurut Muhammad Ali Al-Sayih,
mengemukakan bahwa karakteristik hukum islam yang paling menonjol ada tiga,
yaitu tidak menyusahkan dan selalu menghindari kesusahan dalam pelaksanaannya,
menjaga kemaslahatan manusia dan selalu melaksanakan keadilan dalam
penerapannya.[29]
Semua karakteristik yang dikemukakan
pakar ilmu hukum diatas maksudnya sama dan berpedoman pada ayat al-Qur’sn Surat
Al-A’raf : 157, yang intinya yaitu tidak menyusahkan, sedikit beban,
berangsur-angsur, ada kelonggaran, dan sesuai dengan kemaslahatan umum.[30]
1.
Hukum
Islam Bersifat Sempurna dan Universal
Allah
adalah Tuhan yang Mahasempurna, maka hukum yang Dia buat harus sempurna pula.
Karena apabila tidak, tentu berdampak pada persepsi manusia. Mereka akan
meragukan kepercayaannya mengenai adanya Tuhan di alam ini. Dalam asma’ul husna
disebutkan bahwa Ia memiliki sifat اول,
أخر, ظاهر, باطن, yang pertama, dan terakhir, yang dhohir
dan batin. Jadi Ia juga memiliki hukum yang berlaku sepanjang zaman. Bukan
hanya mengatur pada aspek legal kemasyarakatan tetapi juga mengatur
kepentingan-kepentingan ukhrawi.[31] Hal ini bisa dipahami
melalui kata ظاهر, kita bisa memaknai bahwasanya hukum yang bersifat dhohir
adalah hukum yang mengikat/mengatur tentang keduniaan. Dan bisa dikatakan
cakupan hukum yang dhohir sama dengan hukum positif yang biasa diberlakukan
bagi warga negara. Yang kedua kata باطن, kita bisa memaknai bahwasanya hukum yang bersifat batin adalah
hukum yang mengatur pada aspek ukhrawi. Dan inilah yang tidak dimiliki oleh
hukum positif lainnya.
Hukum
Islam menemukan sumber utamanya pada kehendak Allah sebagaimana diwahyukan
kepada Nabi Muhammad. Ia menciptakan sebuah masyarakat mukmin, walaupun mereka
mungkin terdiri atas berbagai suku dan berada di wilayah-wilayah yang amat jauh
terpisah. Agama, tidak seperti nasionalisme atau geografi, merupakan suatu kekuatan
kohesif utama. Negara itu sendiri berada di bawah (subordinate) Al-Qur’an, yang
memberikan ruang gerak sempit bagi pengundangan tambahan, tidak untuk dikritik
maupun perbedaan pendapat. Dunia ini dipandang hanya sebagai ruang depan bagi
orang lain dan sesuatu yang lebih baik bagi orang yang beriman. Al-Qur’an juga
menentukan aturan-aturan bagi tingkah laku menghadapi orang-orang lain maupun
masyarakat untuk menjamin sebuah transisi yang aman. Tidak mungkin memisahkan
teori-teori politik atau keadilan dari ajaran-ajaran Nabi, yang menegakkan
aturan-aturan tingkah laku, mengenai kehidupan beragama, keluarga, sosial, dan
politik. Ini menimbulkan hukum tentang kewajiban-kewajiban daripada hak-hak,
kewajiban moral yang mengikat individu, dari mana tidak (ada otoritas bumi
yang) bisa membebastugaskannya, dan orang-orang yang tidak mentaatinya akan
merugikan kehidupan masa mendatangnya.
Dari
ungkapan Jackson di atas, telah jelas bahwa Islam menentukan aturan-aturan
tingkah laku mengenai hal-hal yang bersifat legal kemasyarakatan/publik, yang
diungkapkan pada kalimat : “ajaran-ajaran Nabi, yang menegakkan aturan-aturan
tingkah laku, mengenai kehidupan beragama, keluarga, sosial, dan politik”. Dan
yang kedua, mengenai aspek moral/individu, yang diungkapkan pada kalimat
terakhir. Inilah ciri utama yang dimiliki hukum Islam yang tidak ada
bandingannya.
Yang
kedua hukum Islam itu bersifat universal. Mencakup seluruh manusia ini tanpa
ada batasnya. Tidak dibatasi pada negara tertentu, benua, daratan, atau lautan.
Seperti halnya pada ajaran-ajaran nabi sebelumnya.[32] Misalkan, Nabi Musa hanya
mencakup pada kawasan Mesir dan sekitarnya, Nabi Isa mencakup pada kawasan
Israel, dan lain sebagainya. Ini didasarkan pada Al-Qur’an yang memberikan
bukti bahwa hukum Islam tersebut ditujukan kepada seluruh manusia di muka bumi.
Allah berfirman :
Artinya
: “Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat
manusia seluruhnya, untuk membawa berita gembira dan berita peringatan. Akan
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (As-Saba’ : 28)
Artinya
: “Dan Kami (Allah) tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat
bagi seluruh alam.” (Al-Anbiyya’ : 107)
2.
Dinamis
dan Elastis
Hukum
Islam bersifat dinamis yang berarti mampu menghadapi perkembangan sesuai dengan
tuntutan waktu dan tempat.[33] Atau bisa dikatakan
sangat cocok untuk diterapkan pada setiap zaman. Mungkin ada beberapa orang
yang berasumsi bahwa kedinamisan suatu hukum itu tidak mungkin terjadi. Pada
dasarnya sesuatu di alam ini akan berubah, begitu juga sebuah hukum yang sudah
pasti bisa berubah sewaktu-waktu. Untuk itu, sifat dinamis ini harus dikaitkan
dengan sifat elastis (luwes). Lalu bagaimana sifat elastis pada hukum Islam ini
dapat kita lihat? Dalam Islam, kita kenal dengan sebutan ijtihad yang mana
menurut Iqbal di sebut dengan “prinsip gerak dalam Islam”.[34] Ijtihad ini memungkinkan
bagi orang Islam untuk menyesuaikan hukum yang ada pada masa Rasul (saat hukum
Islam diciptakan) dengan keadaan sekarang yang terjadi di lingkungannya. Inilah
yang disebut dengan keelastisan hukum Islam.
Sifat
dinamis dan elastis ini dapat kita lihat pada kehidupan sehari-hari. Sebagai
contohnya adalah jual beli yang sesuai dengan syariat Islam. Pada masa
Rasulullah, jual beli dilakukan dengan saling tatap muka, artinya antara si
penjual dan si pembeli saling bertemu untuk melakukan akad. Tetapi pada zaman
sekarang ini, jual beli bahkan tanpa hadirnya salah satu orang tersebut bisa
dilakukan seperti di Swalayan, Plaza, Mall, dan sebagainya. Nah, dari persoalan
ini bagaimana kedudukan hukum Islam menanggapi sistem seperti ini agar jual
beli itu sesuai dengan syari’at Islam. Untuk itu, perlu adanya hukum asal/nash
yang menerangkan jual beli. Diantaranya Q.S. Al-Baqarah : 275 dan 282, An-Nisa’
: 29, Al-Jum’ah : 9.
“Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Prinsip
dihalalkannya jual beli dari ayat-ayat tersebut adalah adanya kerelaan antara
kedua belah pihak, bukan termasuk riba, tidak dilakukan pada waktu Jum’at, dan
sebagainya. Fathurrahman Djamil mengatakan bahwa “Ijab dan Qabul dalam jual
beli adalah untuk menunjukkan prinsip an taradhin. Ketika prinsip tersebut
terpenuhi, meski tanpa lafal ijab dan qabul seperti ketika masuk plaza, maka
hukumnya sah.”
3.
Sistematis
Hukum
Islam memiliki sifat yang sistematis, artinya bahwa hukum Islam itu
mencerminkan sejumlah ajaran yang sangat bertalian. Beberapa diantaranya saling
berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Contohnya saja wajibnya hukum
shalat tidak terpisahkan dengan wajibnya hukum zakat. Itu menunjukkan bahwa
Islam tidak hanya mengajarkan aspek kebatinan saja yang mengutamakan hal-hal
ukhrawi tetapi juga diperintahkan untuk mencapai aspek keduniaan.[35] Al-Qur’an menyebutkan :
اعمل
لدنياك كانك تعيش ابدا واعمل لاخرتك كأنك تموت غدا
Artinya
: “Bekerjalah kamu untuk kepentingan duniawimu seakan-akan kamu akan hidup
selamanya dan bekerjalah kamu untuk kepentingan ukhrawimu seakan-akan kamu akan
mati besok.”
Fathurrahman
Djamil mengungkapkan bahwa “hukum Islam senantiasa berhubungan satu dengan yang
lainnya. Hukum Islam tidak bisa dilaksanakan apabila diterapkan hanya sebagian
dan ditinggalkan sebagian yang lain.” Seperti halnya ayat di atas, kita dapat
menganalisa bahwa apabila kita hanya selalu beribadah untuk mencapai akhirat
dengan mengabaikan hal-hal keduniaan, pasti pencapaian tersebut tidak akan
terwujud. Karena untuk menuju kehidupan akhirat itu tentu kita harus menjalani
kehidupan dunia ini.
4.
Memperhatikan
Aspek Kemanusiaan dan Moral
Manusia
merupakan mahluk sosial di mana ia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya
bantuan orang lain. Untuk itu sifat tolong menolong merupakan hal yang wajib
bagi setiap insan. Dalam hukum Islam dikenal dengan istilah ta’awun, zakat,
infaq, waqaf, dan sedekah yang kesemuanya itu merupakan wujud kemanusiaan yang
sangat dijunjung tinggi oleh nilai-nilai hukum Islam.[36] Ayat-ayat hukum yang
menunjukkan bahwa kewajiban manusia untuk saling tolong-menolong di jelaskan
pada ayat berikut :
وتعاونوا
على البر والتقوى ولا تعاونوا على الاثم والعدوان
Artinya
: “Bertolonglah-tolonglah kamu atas kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu
tolong-menolong atas (perbuatan) dosa dan permusuhan.
Sedangkan
mengenai hukum diwajibkannya zakat, dijelaskan dalam surat At-Taubah ayat 60,
berbunyi :
Artinya
: “Sesungguhnya shodaqoh (zakat) itu diberikan kepada orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus zakat, para muallaf, hamba sahaya, orang-orang
yang berhutang, untuk memperjuangkan agama Allah (sabilillah), dan Ibnu sabil.
Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.
Yang
kedua adalah aspek moral, untuk membentuk suatu interaksi sosial kemanusiaan
tentu manusia harus memiliki aspek moral (akhlaq) yang baik. Karena untuk
mewujudkan pergaulan yang sehat, akhlaqlah yang menjadi pondasi utama. Bila
akhlaq itu sudah terkontaminasi dengan keburukan dan kemaksiatan, maka tidak
akan mewujudkan suatu pergaulan sosial yang baik dan nantinya juga dapat
berimbas pada pelanggaran aturan-aturan hukum positif. Dalam Al-Qur’an
disebutkan :
Artinya
:”Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat serta banyak mengingat kepada Allah.” (Q.S. Al-Ahzab : 21).
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
a. Sumber Hukum Islam ialah segala
sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu
Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar
pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum
islam adalah Al-Qur’an dan Hadist. Disamping itu terdapat beberapa bidang
kajian yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu :ijtihad, ijma’,
qiyas, istihsan, istishab, maslahat mursalah, dan ‘uruf.
b)
Hukum
Islam mempunyai keunggulan dan keistimewaan tersendiri bila dibandingkan dengan
hukum yang lain dan hal tersebut nampak pada beberapa hal diantaranya:
a.
Syariat
Islam akan selalu terjaga dari penyimpangan dan penyelewengan karena Allah swt.
sendiri yang akan menjaganya hal ini
seperti yang di firmankan Allah swt. dalam Al-Qur’an, surat Al-Hijr ayat:9.
b. Berlaku sepanjang masa.
c. Mempunyai sanksi balasan di dunia dan akhirat.
d. Penyucian jiwa (Tahzibu al Fardi)
e. Menegakkan keadilan (Tahqiq al ‘Adalah) dalam
masyarakat Islam
f. Menjaga/ memperhatikan
kemaslahatan manusia secara keseluruhan (Ria’yat Mashalih an Nas
Jami’a).
g. Tidak adanya kesempitan dalam menjalankan ajaran agama
dan sedikitnya beban (‘Adamu al Haraj wa Qillah at Takalif)
h. Pembebanan yang bertahap (Attadarruj fi at
Tasyri’)
c)
Dilihat dari
berbagai karakteristik hukum Islam yang telah dipaparkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa aspek moral (privat) pada hukum Islam yang mengikat pada
setiap diri insan itu bertujuan untuk kepentingan akhirat mereka. Berbeda
dengan hukum positif yang hanya mengedepankan aspek legal. Ini disebabkan,
hukum positif hanya bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang aman dan
tenteram dalam berkehidupan. Namun, hukum Islam mengatur kedua hal tersebut.
Hukum
islam yang sebenarnya tidak lain adalah fiqh islam dan syariat islam, yaitu
daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syariat islam sesuai dengan kebutuhan
masyarakat sekarang ini. Dimana hukum islam mempunyai karakteristik yang
berbeda dengan karakteristik sistem hukum yang lain yang ada di dunia.
Karakteristiknya yaitu takamul (sempurna), wasathiyah (harmonis), dan harakah
(dinamis). Mazhab hukum islam Indonesia banyak berkembang kepada tradisi mazhab
Syafi’I. Karena sangat fanatiknya terhadap mazhab-mazhab terdahulu
mengakibatkan terjadinya taqlid karena taqlid ini salah satu penyebab
terhambatnya proses pembaruan hukum islam agar sesuai dengan situasi dan
kondisi sekarang.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu
Zahrah. Muhammad, Ushul Fiqh. Jakarata. PT. Pustaka Firdaus, 2011
Abdul Barr. Muhammad Zaki, Taqnin
Usul Fiqh, Maktabah Dar at Turats, Cairo, th 2004 M/ 1425 H.
Abdullah,
sulaiman. Sumber
Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika, 1995
Abdul
Wahab Kallaf, Ilmu
Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama, 1999
Ash-Shiddiqy. Habsyi, 2001, Filsafat
Hukum Islam, Semarang : PT. Pustaka Bakry Nazar. Fiqh
dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2003
Djamil, Fathurrahman, 1997, Filsafat
Hukum Islam, Ciputat : Logos Wacana Ilmu.
Filsafat Hukum Islam, Jakarta,
Proyek Pembinaan dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1987.
Manan. Abdul, Reformasi Hukum Islam di
Indonesia, 2006, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Muslehuddin, Muhammad, 1991, Filsafat
Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam,
Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad
Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Logos, 1999
Rasjidi, H.M.: Hukum Islam dan
Pelaksanaanya dalamSejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Syamsuri.
Pendidikan Agama Islam kls X. Jakarta: Erlangga, 2006
Usman,
Suparman, Hukum Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama).
[1] Syamsuri. 2006.
Pendidikan Agama Islam kls X. Jakarta: Erlangga. Hlm 58.
[2] Ibid. Hlm 58.
[3] http://www.geocities.com/abdullahhome99/pengertianquran.htm.sabtu.17
Oktober.2009
[4] Nasrun Rusli, 1999, Konsep Ijtihad Al-Syaukani Relevansinya bagi
Pembaruan.
[5] http://www.geocities.com/abdullahhome99/pengertianquran.htm.17 Oktober
2009.
[6]http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=8937:kedudukan-as-sunah-dalam-syariat-islam-&catid=87:kajian&Itemid=7117
Oktober 2009.
[7] MahpuddinNoor.http://www.Radartasikmalaya.com/opini/282-ijtihad-dan-perkembangan-hukum-islam.
Sabtu.17 Oktober 2009.
[8] Syamsuri. Hlm 62.
[9] Syamsuri. Hlm 63.
[10] Nasrun Rusli, 1999, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi
Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999,
[11] Abdul Wahab Kallaf, 1999, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama.
[12] Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika.
[13] Bakry Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT.Raja Grafindo
Persada..
[14] Nasrun Rusli, 1999, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Logos, 1999,
[15] Abdul Wahab Kallaf, 1999, Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama,
[16] Muhammad Abu Zahrah. 2011. Ushul Fiqh. Jakarata. PT PUSTAKA
FIRDAUS. Hlm 438-439.
[17] Lihat QS. Asy-syura: 13.
[18] Lihat QS. Al-An’am: 146.
[19] Ibid Muhammad abu Zahrah. Hlm 464-465.
[20] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, hal :58
[21] Ibid, hal:60
[22] Suparman Usman, Huku, Islam,
hal :65
[23] Ibid, hal: 66
[25] Rasjidi, H.M.: Hukum Islam dan Pelaksanaanya dalamSejarah. Jakarta:
Bulan Bintang, 1976, hal 25.
[26] Abdul Manan,
Reformasi Hukum Islam di Indonesia, 2006, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
hlm. 94.
[27] Hasbi
Ash-Shiddiqy, Filsafat Hukum Islam, 2001, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra,
hlm.105-108.
[28] Abdul Manan,
Reformasi Hukum Islam, hlm 64.
[29] Abdul Manan,
Reformasi Hukum Islam, hlm .95
[30] Ibid.
[31] Muhammad
Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan
Sistem Hukum Islam, (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), hal 47
[32] Fathurrahman
Djamil, M.A., Filsafat Hukum Islam, (Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 1997), hal 49
[33] Suparman
Usman, Hukum Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama), .hal 64
[34] Fathurrahman
Djamil, M.A., Op. Cit., hal 48
[35] Ibid., hal 51
[36] Filsafat Hukum
Islam, Jakarta, Proyek Pembinaan dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN Jakarta
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1987,
hal 98
No comments:
Post a Comment