MAKALAH
PENGANTAR FILSAFAT ILMU
STRUKTUS DASAR ILMU PENGETAHUAN
DAN BERFIKIR FILOSOFIS
Dosen
Pembimbing:
Abdul Malik Karim, M.Pd.I
Disusun
Oleh:
M.
Khoirul Fadeli NIM :
11110044
Elya
Narulita NIM :
11110057
Rohimatun
Naimah NIM : 11110044
Ismi
Latifah NIM :
11110044
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengetahuan yang diproses
menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat
keilmuan, dan dapat disebut pengetahuan ilmiah. Ilmu pada dasarnya meruipakan
kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang
memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala
tersebut berdasarkkan penjelasan yang ada.
Struktur ilmu menggambarkan bagaimana ilmu itu tersistimatisir dalam suatu
lingkungan (boundaries), di mana keterkaitan antara unsur-unsur nampak secara
jelas. Menurut Savage & Amstrong, struktur ilmu merupakan A scheme
that has been devided to illustrate relationship among facts, concepts, and
generalization. Dengan demikian struktur ilmu merupakan ilustrasi hubungan
antara fakta, konsep serta generalisasi, keterkaitan tersebut membentuk suatu
bangun struktur ilmu, sementara itu menurut H.E. Kusmana struktur ilmu
adalah seperangkat pertanyaan kunci dan metoda penelitian yang akan membantu
memperoleh jawabannya, serta berbagai fakta, konsep, generalisasi dan teori
yang memiliki karakteristik yang khas yang akan mengantar kita untuk memahami
ide-ide pokok dari suatu disiplin ilmu yang bersangkutan.
Dengan demikian nampak dari dua pendapat di atas bahwa terdapat dua hal
pokok dalam suatu struktur ilmu yaitu :
- A body of Knowledge (kerangka ilmu) yang terdiri dari fakta, konsep, generalisasi, dan teori yang menjadi ciri khas bagi ilmu yang bersangkutan sesuai dengan boundary yang dimilikinya
- A mode of inquiry, atau cara pengkajian/penelitian yang mengandung pertanyaan dan metode penelitian guna memperoleh jawaban atas permasalahan yang berkaitan dengan ilmu tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
- Apa saja ciri-ciri ilmu pengetahuan ?
- Apa dan bagaimana struktur dasar ilmu pengetahuan ?
- Bagaimana cara berfikir filosofis ?
1.3 Tujuan
- Untuk mengetahui ciri-ciri ilmu pengetahuan.
- Untuk mengetahui tentang struktur dasar ilmu pengetahuan.
- Untuk mengetahui cara berfikir filosofis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Ciri-Ciri
Ilmu Pengetahuan
Ciri pengetahuan ilmiah adalah persoalan dalam ilmu yang segera
dipecahkan dengan maksud untuk memperoleh jawaban. Dalam hal ini ilmu muncul
dari adanya problema dan harus dari suatu problema, tetapi problema telah
diketahuinya sebagai suatu persoalan yang tidak terselesaikan dalam pengetahuan
sehari-harinya. Di samping itu, setiap ilmu dapat memecahkan masalah sehingga
mencapai suatu kejelasan dan kebenaran, walaupun bukan kebenaran akhir yang
abadi dan mutlak.[1]
Ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah menurut para ahli :
A.
The
Liang Gie (1987) mempunyai 5 ciri pokok:
1.
Empiris,
pengetahuan di peroleh berdasarkan pengamatan dan percobaan
2.
Sistematis,
berbagai keterangan dan data yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan yang
mempunyai hubungan ketergantungan dan teratur
3.
Objektif,
ilmu berarti pengetahuan bebas dari prasangka perseorangan dan kesukaan pribadi
4.
Analisis,
pengetahuan ilmiah berusaha membeda-bedakan pokok soalnya ke dalam bagian yang
terperinci untuk memahami berbagai sifat, hubungan, dan peranan dari
bagian-bagian itu.
5.
Verifikatif,
dapat diperiksa kebenarannya oleh siapapun juga.[2]
B.
Daoed
Joesoef (1987) menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal, yaitu:
1.
Produk
: ilmu pengetahuan sebagai produk, yaitu pengetahuan yang telah diketahui dan
diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan. Pengetahuan ilmiah dalam hal ini
terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung kemungkinan untuk disepakati
dan terbuka untuk diteliti, diuji, dan dibantah oleh seseorang.
2.
Proses : ilmu
pengetahuan sebagai proses artinya, kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan demi
penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang
kita kehendaki. Metode ilmiah yang dipakai dalam proses ini adalah analisis
rasional, objektif, sejauh mungkin “impersonal” dari masalah-masalah yang
didasarkan pada percobaan dan data yang dapat di amati.
3.
Masyarakat
: ilmu pengetahuan sebagai masyarakat artinya dunia pergaulan yang
tindak-tanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat
ketentuan yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih, dan skeptisisme yang
teratur.[3]
C.
Van
melsen (1985) mengemukakan ada delapan ciri yang menandai ilmu, yaitu serbagai
berikut.
1.
Ilmu
pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis
koheren. Itu berarti adanya sistem dalam penelitian (metode) maupun harus
susunan logis.
2.
Ilmu
pengetahuan tanpa pamrih, karena hal itu erat kaitannya dengan tanggung jawab
keilmuan.
3.
Universitas
ilmu pengetahuan.
4.
Objektivitas,
artinya setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh
prasangka-prasangka subjektif.
5.
Ilmu
pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang
bersangkutan, karena itu ilmu pengetahuan harus dapat dikomunikasikan.
6.
Progresivitas,
artinya suatu jawaban ilmiah harus bersifat ilmiah sungguh-sungguh, bila
mengandung pertanyaan baru dan menimbulkan
problem baru lagi.
7.
Kritis,
artinya tidak ada teori yang definitif, setiap teori terbuka bagi suatu
peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru.
8.
Ilmu
pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan kebertautan antara teori
dengan praktik.[4]
D. Mohammad hatta, mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur
tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama
tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut
bangunannya dari dalam.
E.
Karl
pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan
konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah yang sederhana. (Amsal
Bakhtiar, 2004:15)
Demi objektivitas ilmu, ilmuan harus bekerja dengan cara ilmiah.
Sifat ilmiah dalam ilmu dapat diwujudkanm apabila dipenuhi syarat-syarat yang
intinya adalah:
a.
Ilmu
harus mempunyai objek ini berarti bahwa kebenaran yang hendak di ungkapkan dan
dicapai adalah persesuaian antara pengetahuan dan objeknya.
b.
Ilmu
harus mempunyai metode, ini berarti bahwa untuk mencapai kebenaran yang
objektif, ilmu tidak dapat bekerja tanpa metode yang rapi.
c.
Ilmu
harus sistematik, ini berarti bahwa dalam memberikan pengalaman, objeknya
dipadukan secara harmonis sebagai suatu kesatuan yang teratur.
d.
Ilmu
bersifat universal, ini berarti bahwa kebenaran yang di ungkapkan oleh ilmu
tiadak mengenai sesuatu yang bersifat khusus, melainkan kebenaran itu berlaku
umum. (Hartono Kasmadi, dkk., 1990:8-9)
Disamping itu perlu disadari, bahwa ilmu bukanlah hal yang statis,
melainkan bergerak dinamis sesuai dengan pengembangan yang diusahakan oleh
manusia dalam mengungkap tabir alam semesta ini. Usaha pengembangan tersebut
mempunyai arti bahwa kebenaran yang telah diungkap oleh ilmu tertentu adalah
kebenaran yang masih terbuka untuk diuji.[5]
Ciri – ciri ilmu
pengetahuan menurut Creative Commons Atribution 3.0 license yaitu:
1.
Merupakan seperangkat pengetahuan yang sistematis
2.
Memiliki metode yang efektif
3.
Memiliki objek
4.
Memiliki rumusan
kebenaran-kebenaran umum
5.
Bersifat objektif
6.
Dapat memberikan perkiraan
atau prediksi
2.2 Dasar-Dasar Pengetahuan
1.Penalaran
Penalaran merupakan suatu proses
berpikir dalam menarik sesuatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia pada
hakikatnya merupakan makhluk yang berfikir, merasa, bersikap dan bertindak.
Sikap dan tindakanya yang bersumber pada pengetahuan itu dapat didapatkan lewat
kegiuatan merasa dan berpikir. Tetapi tidak semua kegiatan berfikir itu
menyadarkan diri pada penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan berpikir yang
mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk
menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi tiap orang adalah
tidak sama maka oleh sebab itu kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan
pengetahuan yang benar itu berbeda-beda.
Sebagai suatu kegiatan berpikir maka
penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu :
a) Adanya
suatu proses berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Dalam hal ini penalaran merupakan suatu
proses berpikir yang logis, dimana berpikir logis ini harus diartikan dengan
sebagai kegiatan berpikir menurut suatu pola atau logika tertentu.
b) Adanya
sifat analitik dari proses berpikirnya. Penalaran
ilmiah merupakan suatu kegiatan yang menyadarkan diri kepada sesuatu analisis
dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisa tersebut adalah logika
penalaran yang bersangkutan. Sifat analitik merupakan konsekuensi dari adanya
suatu pola berpikir tertentu, tanpa adanya pola berpikir tersebut maka tidak
akan ada kegiatan analisis, sebab analisis pada hakikatnya merupakan suatu
kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu.
2. Logika
“Logika didefinisikan sebagai pengkajian
untuk berpikir secara shahih”. Terdapat bermacam-macam cara penarikan
kesimpulan, dalam penalaran ilmiah ada dua jenis penarikan kesimpulan :
1. Logika
Induktif
Logika ini erat hubungannya dengan
penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang
bersifat umum.
2. Logika
Deduktif
Logika ini menarik kesimpulan dari hal yang bersifat
umum menjadi kasus yang bersifat individual (khusus).
3. Sumber Pengetahuan
Rasionalisme dan empiris merupakan cara
untuk mendapatkan pengalaman, tetapi disamping itu ada juga instuisi dan wahyu
yang merupakan cara lain untuk mendapatkan pengetahuan. Instiusi merupakan
pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seorang
yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan
jawaban atas permasalahannya tersebut tanpa harus berpikir berliku-liku untuk
mencapai jawaban tersebut. Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang
disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan melkalui
nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman.
4. Kriteria Kebenaran
Matematika adalah bentuk pengetahuan
yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Beberapa
dasar pernyataan yang dianggap benar yakni aksioma. Dengan mempergunakan
beberapa aksioma maka disusun teorema. Di atas teorema maka dikembangkan kaidah-kaidah
matematika yang secara keseluruhan merupakan suatu system yang konsisten. Plato
(427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) mengembangkan teori koherensi
berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan Eusclid dalam menyusun ilmu ukurnya.
Paham lain adalah kebenaran berdasarkan
teori korespondensi dimana eksponen utamanya adalah Betrand Russell
(1872-1970). Bagi penganut ini maka suatu pernyataan adalah benar jika materi
pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorenspondensi (berhubungan)
dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Kedua teori ini adalah teori
koherensi dan teori korespondensi yang kedua-duanya digunakan dalam cara
berpikir ilmiah. Penalaran teoristis yang berdasarkan logika deduktif jelas
mempergunakan teori koherensi ini. Sedangkan prioses pembuktian secara empiris
dalam bentuk pengumpulan fakta fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu
mempergunakan teori kebenaran yang lain yang disebut teori kebenaran pragmatis.
Teori pragmatis dicetuskan oleh Charles
S.Peirce (1839-1914) dalam makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul
“How to make our ideas clear”. Bagi orang pragmatis maka kebenaran itu suatu
pernyataan diukur dengan criteria apakah apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan prilaku. Artinya suatu pernyataan adalah benar jika
pernyataan itu berkonsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis
dalam kehidupan manusia.[6]
2.3 Berfikir Filosofis
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan
yang dicita citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang
sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat
dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Suatu ilmu tidak akan mungkin muncul tanpa adanya pemikiran dan pemikiran tersebut adalah filsafat. Disamping itu juga peran filsafat dalam keilmuan juga sangat kompleks, untuk menjadikan suatu keilmuan yang utuh dibutuhkan analisa dan pemikiran yang mendalam terkait objek
yang dikaji sehingga menjadi keilmuan tersendiri dan putus dari filsafat, tapi sebelumnya juga harus memenuhis yarat-syarat keilmiahan dan syarat-syarat keilmiahan pun munculnya dari filsafat[7].
Ciri-ciri berfikir filsafat :
1.
Berfikir radikal
Radikal, artinya brfikir
sampai ke akar persoalan. Hal itu bisa dilakukan dengan cara bertanya terus menerus hingga mendapat suatu jawaban yang
labih hakiki. Juga, menghubungkan satu konsep atau gagasan dengan yang
lainnya, menanyakan “ mengapa? ” dan mencari jawaban yang lebih baik dibanding
dengan jawaban yang sudah pada pandangan pertama.[8]
Berfilsafat berarti berfikir secara radikal, Filsuf
adalah berfikir secara radikal .karena berfikir secara radikal, ia tidak akan pernah terpaku hanya pada fenomena entitas
tertentu. Keradikalan berfikirnya itu akan senantiasa mengorbankan hasratnya untuk menemukan akar seluruh kenyataan.
Berfikir radikal tidak berarti hendak mengubah,membuang atau menjungkirbalikkan segala sesuatu
,melainkan dalam arti yang sebenarnya yaitu berfikir secara mendalam untuk mencapai akar persoalan yang dipermasalahkan.[9]
2.
Mencari asas
Dalam memandang keseluruhan realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas yang paling hakiki dari keseluruhan realiatas. Seorang filsuf akan slalu berupaya untuk menemukan asas
yang paling hakiki dari relitas, filsafat senantiasa mencari asas yang paling hakiki dari
keseluruhan realitas. Seorang filsuf akan selalu berupaya untuk menemukan asas
yang paling hakiki dari realitas
Para filsuf yunani, yang terkenal sebagai
filsuf-filsuf alam, mengamati keaneragaman realitas di alam semesta, lalu berfikir dan bertanya, “ Tidakkah di balik
keaneragaman itu hanya ada suatu asas? ”. Mereka mulai mencari
asal usul, asas pertama alam semesta. Thales mengatakan bahwa
asas pertama alam semesta itu adalah air, Anaximandros mengatakan To
aperion ( yang berarti tak terbatas ) yaitu udara. Sementara Empedocles
menyatakan ada empat ( akar segala sesuatu ) yang membentuk realitas alam
semesta, yaitu, api, udara, tanah, dan air.
Mencari asas pertama berarti juga berupanya menemukan sesuatu yang menjadi esensi realitas. Dengan menemukan esensi suatu realitas
,maka realitas itu dapat diketahui dengan pasti dan menjadi jelas
.dan mencari asas adalah salah satu sifat dasar filsafat.[10]
3.
Memburu kebenaran
Filsuf adalah pemburu kebenaran. kebenaran
yang diburunya adalah kebenaran hakiki Tentang seluruh relitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa berfilsafat berari memburu kebenaran tentang segala sesuatu.
Kebenaran yang hendak digapai bukanlah kebenaran yang meragukan.
Untuk memperoleh kebenaran
yang sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan ,setiap kebenaran yang
telah diraih harus senantiasa terbuka untuk dipersoalkan kembali dan diuji
demi meraih kebenaran yang lebih pasti
,bahwasannya kebenaran filsafat itu tidak pernah bersifat mutlak dan final, melainkan terus bergarak dari suatu kebenaran
menuju kebenaran baru yang lebih pasti.[11]
4.
Mencari kejelasan
Salah
satu penyebab lahirnya filsafat ialah keraguan. Untuk
menghilangkan keraguan dibutuhkan kejelasan. Ada filsuf yang menyatakan bahwa berfilsafat
berarti berupaya mendapatkan kejelasan dan penjelasan
mengenai seluruh realitas, dengan demikian dapat
dikatakan bahwa berfikir secara filsafat itu berarti berusaha memperoleh
kejelasan. Ini terlihat bahwa berfilsafat sesungguhnya merupakan suatu perjuangan untuk mendapatkan kejelasan pengertian dan
kejelasan seluruh realitas. Perjuangan mencari kejelasan itu adalah
salah satu sifat dasar filsafat.[12]
5.
Berfikir rasional
Berfikir secara radikal , mencariasas , memburu kebenaran ,dan mencari kejelasan tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa berfikir secara rasionan l. Berfikir rasional yaitu dengan menggunakan akal, berfikir secara rasional berarti berfikir logis, sistematis dan kritis. Berfikir logis adalah bukan sekedar menggapai pengertian-pengertian
yang dapat diterima oleh akal sehat, melainkan agar
sanggup menarik kesimpulan dan mengambil keputusan yang tepat dan benar dari
premis-premis yang digunakan.
Berfikir logis juga menuntut pemikiran yang
sistematis, pemikiran sisteamatis ialah rangkaian pemikiran yang berhubungan
satu sama lain dan saling berkaitan secara logis. Tanpa berfikir yang
logis-sistematis dan keheren, tak mungkin diraih kebenaran yang dapat
dipertanggung jawabkan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengetahuan adalah persoalan dalam ilmu yang
segera dipecahkan dengan maksud untuk memperoleh sebuah jawaban.Pengetahuan
mempunyai 5 ciri pokok yaitu empiris,sistematis,objektif,analisis, dan
verifikatif, yang mengacu pada 3 hal yakni produk,proses dan masyarakat.
Dari
dasar-dasar pengetahuan membutuhkan sebuah penelaran yang merupakan proses
berfikir dalam menarik kesimpulan, kemudian logika yaitu untuk berfikir secara
shahih/benar, yakni dengan logika induktif atau deduktif .
Filsafat
merupakan sebuah pandangan hidup atau sekelompok orang yang merupakan sebuah
konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan sebuah ilmu, yang tidak
akan ada tanpa adanya pemikiran.dan berfikir filsafat mempunyai 5 ciri yaitu
berfikir radikal,mencari asas,memburu kebenaran,mencari kejelasan,dan berfikir
rasional.jadi, dalam sebuah ilmu pengetahuan dibutuhkan berfikir secara
filasafat.
DAFTAR PUSTAKA
Ihsan Fuad, filsafat ilmu, Rineka
Cipta.
jujun s Suriasumantri, pengantar filsafat, pustaka sinar
harapan , Jakarta 2007
Nurani
Soyomukti, Pengantar Filsafat umum, Ar-Ruzz Media, yogyakarta, 2011.
Ali Maksum, Pengantar Filsafat, Ar-Ruzz Media,
Yogyakarta, 2008.
media,2008)\http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2259043-ciri-ciri-berfikir-filsafat
[2] Ibid, Hal 113.
[4] Ibid, Hal 115.
[8] Soyomukti Nurani, Pengantar Filsafat umum,
Ar-Ruzz Media, yogyakarta, 2011, Hal.103
[9] Maksum Ali, Pengantar Filsafat, Ar-Ruzz Media,
Yogyakarta, 2008, Hal. 27
[10] Ibid, Hal. 28
[11] Ibid, Hal. 29
[12] Ibid, Hal. 29
No comments:
Post a Comment