MAKALAH ILMU PENDIDIKAN ISLAM
HAKEKAT MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PEDAGOGIK
Makalah ini disusun dalam
rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah
“Ilmu Pendidikan Islam”
Dosen Pengampu:
Mujtahid,
M.Ag
Disusun oleh:
Kelompok 03
Muhamad
Hasan
Suryawan (11110052)
M. Khoiirul Fadeli (11110044)
Asrori (11110041)
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Sejak
manusia itu dilahirkan ke dunia ini, sejatinya ia belum menjadi manusia yang
sempurna secara lahir ataupun batin. Karena menurut al Qur’an, kondisi manusia
pada waktu itu adalah tanpa mengetahui pengetahuan sedikitpun.[1]
Maka dari itu, secara berangsur-angsur manusia membutuhkan proses pendidikan
yang mana bertujuan untuk menjadikannya sebagai makhluk ahsanitakwim
atau manusia yang sempurna.
Proses
memanusiakan manusia menjadi makhluk yang ahsanitakwim tentu tak
terlepas dari proses yang terjadi di dalam dunia pendidikan sendiri, yang mana
manusia terbagi atas dua golongan, yakni menjadi subjek ataupun objek dalm pendidikan
itu sendiri. Disi terlihat bahwa manusia berkembang secara paralel. Semakin
maju peradaban manusia maka semakin maju pula proses pendidikan yang terjadi.
Begitu pula sebaliknya, semakin maju proses pendidikan yang tejadi maka semakin
maju pula peradabannya. Dalam kaitannya disini, manusia dikenal sebagai manusia
pedagogis, yaitu makhluk yang harus di didik.[2]
Kata paedagogie berasal dari bahasa Yunani, pais
yang artinya anak dan again yang
terjemahannya adalah membimbing. Dengan demikian maka paedagogie berarti bimbingan yang diberikan kepada anak sedangkan
orang yang memberikan bimbingan pada anak disebut paedagogie. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie tersebut berarti bimbingan
atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada peserta
didik.
Terkait
dengan kata bimbingan sangat erat hubungannya dengan yang namanya pendidikan,
karna muatan dalam pendidikan itu sendiri adalah membimbing. Jadi sudah
sepantasnya jika kita memperhatikan pendidikan di seluruh dunia ini khususnya
Indonesia seiring dengan era yang serba gelobal ini.
Untuk itu, ilmu pendidikan memang peranan yang sangat penting dan merupakan
ilmu yang mempersiapkan tenaga kependidikan yang professional, sebab kemampuan
professional bagi guru dalam melaksanakan peroses belajar-mengajar merupakan
sarat utama. Ilmu pendidikan merupakan salah
satu bidang pengjaran yang harus ditempuh para siswa lembaga pendidikan dalam
rangka mempersiapkan tenaga guru dan tenaga ahli kependidikan lainnya yang
professional.
1.2 RUMUSAN MASALAH
A. Apa hakikat kejadian manusia sebagai
makhluk pedagogik dalam Islam?
B. Bagaimana pandangan islam tentang teori
nativisme, empirisme, kovergensi?
C.
Apa potensi-potensi dasar manusia dan
implikasi terhadap pendidikan?
1.3 TUJUAN
A. Mengetahui hakikat kejadian manusia sebagai
makhluk pedagogik dalam Islam
B. Memahami pandangan islam tentang teori
nativisme, empirisme, kovergensi
C.
Mengetahui potensi-potensi dasar manusia
dan implikasi terhadap pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Kejadian Manusia Sebagai Makhluk Pedagogik Dalam Islam
Musa
Asy’ari ketika membahas manusia dengan memakai pendekatan semantik, menyebutkan
bahwa Alquran memperkenalkan dua kata kunci untuk memahami manusia secara
komprehensif. Kedua kata kunci tersebut adalah: al-Insān yang bentuk jamaknya
al-Nās, memiliki arti melihat, mengetahui dan minta izin. Atas dasar ini, kata
tersebut mengan dung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan
kemam puan penalaran, yakni dengan penalaran itu manusia dapat mengambil
pelajaran dari apa yang dilihatnya, ia dapat mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, dan terdorong untuk meminta izin dalam
rangka menggunakan sesuatu yang bukan
miliknya. Pengertian ini menunjukkan dengan jelas adanya potensi manusia untuk
dapat didik.
Kata
kunci yang kedua adalah kata al-basyar jamak dari kata basyarah yang artinya
permukaan kulit kepala, wajah, dan tubuh manusia. Olehnya itu, kata mubāsyarah
diartikan mulāmasah yang artinya persentuhan antara kulit laki-laki dengan kulit perempuan.
Menurut
Asy-Syāti[3]
pemakaian kata basyar di beberapa tempat dalam Alquran seluruhnya memberikan
pengertian anak Adam yang bisa makan dan berjalan di pasar-pasar, dan di dalam
pasar itu mereka saling bertemu atas dasar persamaan. Dengan demikian, kata basyar
selalu mengacu
kepada manusia dari aspek lahiriyah, mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama yang ada
dalam alam ini, dan karena pertambahan usia
maka kondisi tubuhnya akan menurun, menjadi
tua dan akhirnya akan mati.
Dari
kedua kata tersebut, kata insan menunjukkan bahwa manusia memiliki kualitas
pemikiran dan kesadarannya. Hal ini berkaitan dengan kebudayaan termasuk di
dalamnya adalah pendidikan. Sedangkan kata Basyar merujuk pada dimensi
alamiahnya, yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, seperti makan, minum,
dan kemudian mati.
Manusia sebagaimana mahluk hidup lain, mempunyai
organ-organ penyesuai terhadap alam sekitarnya seperti sistem pengolah energi,
sistem indera perasa dan sebagainya. Sistem-sistem tersebut bekerja saling
mendukung membentuk sistem yang lebih besar. Sistem yang kompleks pasti bekerja
dengan kendali, seolah ada program canggih yang mengendalikan sistem itu. Tanpa
adanya program pengendali bagaikan sebuah komputer tanpa software.
Kelebihan manusia dibanding mahluk lain terletak pada
kecerdasannya. Dengan kecerdasan manusia dapat membangun karya-karya yang
berkembang, menjadi tradisi, teknologi, peradaban dan kebudayaan tinggi, semua
bermula dari jalan pikiran (kecerdasan). Pikiran dalam konteks kecerdasan,
itulah yang mengendalikan seluruh sistem organ manusia baik sadar maupun tidak.
Al-Qur’an menerangkan bahwa manusia
berasal dari tanah dengan mempergunakan bermacam-macam istilah,
seperti : Turab, Thien, Shal-shal, dan Sualalah. Manusia
diciptakan Allah SWT. Berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah,
dan mudgah sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang
memiliki berbagai kemampuan. Oleh karena itu, manusia wajib bersyukur atas
karunia yang telah diberikan Allah Swt. Hal ini dapat diartikan bahwa jasad
manusia diciptakan Allah dari bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari
tanah.[4] Adapun tahapan-tahapan
dalam proses selanjutnya, Al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Manusia
yang sekarang ini, prosesnya dapat diamati meskipun secara bersusah payah.
Berdasarkan pengamatan yang mendalam dapat diketahui bahwa manusia dilahirkan
ibu dari rahimnya yang proses penciptaannya dimulai sejak pertemuan antara
permatozoa dengan ovum.
Manusia menurut pandangan Al-Qur’an,
Al-Qur’an tidak menjelaskan asal-usul kejadian manusia secara rinci. Dalam hal
ini Al-Qur’an hanya menjelaskan mengenai prinsip-prinsipnya saja. Ayat-ayat
mengenai hal tersebut terdapat dalam surat Nuh 17, Ash-Shaffat 11, Al-Mukminuun
12-13, Ar-Rum 20, Ali Imran 59, As-Sajdah 7-9, Al-Hijr 28, dan Al-Hajj 5.
Bagi pendidik, istilah ini pasti sudah tidak asing
lagi, dan ilmunya menjadi sebuah acuan dalam praktek mendidik anak. Jika
dilihat dari segi istilah, pedagogik sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno,
yaitu paedos (anak) dan agogos (mengantar, membimbing, memimpin).
Dari dua istilah diatas timbul
istilah baru yaitu paedagogos dan pedagog, keduanya memiliki
pengertian yang hampir serupa, yaitu sebutan untuk pelayan pada zaman Yunani
kuno yang mengantarkan atau membimbing anak dari rumah ke sekolah setelah
sampai di sekolah anak dilepas, dalam pengertian pedagog intinya adalah
mengantarkan anak menuju pada kedewasaan.
Pada hakekatnya, manusia terlahir sebagai
khalifah dan hamba Allah SWT. Selain untuk menyembah Allah SWT, manusia juga
sebagai pemimpin di muka Bumi. Maka jelas bahwa disini peran manusia sebagai
pemimpin, sehingga seorang pemimpin harus mendidik anak buahnya. Ibarat seorang
ayah yang menjadi pemimpin dalam keluarga, maka sudah seharusnya dia membimbing
anak dan istrinya menuju rumah tangga yang sakinah, mawaddah warrohmah. Begitu
juga dengan guru, dia harus bisa membimbing, mengantar dan memimpin peserta
didik agar menjadi sosok yang lebih baik.[5] Allah menciptakan manusia dalam keadaan fitrah
dengan dibekali beberapa potensi yakni potensi yang ada dalam jasmani dan
rohani. Bekal yang dimiliki manusia pun tidak hanya berupa asupan positif saja,
karena dalam diri manusia tercipta satu potensi yang diberi nama nafsu. Dan
nafsu ini yang sering membawa manusia lupa dan ingkar dengan fitrahnya sebagai
hamba dan khalifah Allah di bumi. Untuk itu manusia perlu mengembangkan potensi
positif yang ada dalam dirinya untuk rnencapai fitrah tersebut. Dan sebagai
pendidik pertama di bumi, orang tua adalah yang berkewajiban memberikan
pengetahuan pertama kepada anak-anaknya.
B. Pandangan
Islam Tentang Teori Nativisme, Empirisme, Korvengensi
Ketika kita
melihat perjalanan sejarah ilmu perkembangan, setidaknya tercatat beberapa
teori besar tentang perkembangan telah dapat membawa pengikut yang cukup
fanatik tentang adanya perkembangan manusia ini, banyak sekali perbedaan
pendapat tentang adanya faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan
perkembangan manusia baik segi fisik maupun segi psikologik. Teori-teori
tersebut antara lain:
Teori nativisme, menyebutkan bahwa dasar atau watak manusia diatur
dan ditentukan oleh alam semesta pada saat lahir, faktor-faktor nativus
(keturunan) yang merupakan faktor bawaan yang dibawa oleh individu sejak ia
lahir, sehingga nasib pun bisa kita atur dengan adanya teori ini, kurang lebih
seperti itulah yang dikemukakan oleh Schopenhauer.
Teori Empirisme, John Locke menyatkan bahwa
perkembangan seorang individu akan ditentukan oleh lingkungan atau
pengalaman-pengalaman yang diperoleh individu selama menjalani kehidupanya.
Bila disimpulkan pendidikanlah
yang akan membawa nasib manusia untuk ke depannya.
Teori
konvergensi ,William stearn meyatakan bahwa perkembangan seorang
individu tidak hanya di tentukan oleh nativisme dan empirisme saja melainkan ke
dua faktor tersebut yang saling berkaitan(mempengaruhi).[6]
Terlepas dari pengertian teori ini, paling tidak teori-teori ini saling bertentangan antara satu dengan
yang lain. Teori nativisme sangat menitikberatkan bahwa proses perkembangan
individu ditentukan oleh segi keturunan atau pembawaan saat individu itu lahir,
sebaliknya teori empirisme sangat menitikberatkan empirisme (lingkungan),
keduanya merupakan teori yang sangat berentangan. Namun ada teori yang
mempersatukan kedua aliran tersebut.
Dari contoh diatas, kita boleh dan
sah-sah saja percaya dengan adanya teori-teori diatas, kitapun juga boleh
memilih teori mana yang bisa kita jadikan pandangan atau dasar hidup kita, baik
teori nativis, empirisme atau konvergensi karena teori-teori tersebut cukup
banyak bukti yang menandakan kebenaran dari teori-teori itu.
Lalu pertanyaanya "apakah
teori-teori ini cukup untuk dapat menjadi dasar keyakinan untuk membawa hidup
kita lebih nyaman..?" "bukankah pada dasarnya salah satu kebutuhan
manusia adalah need of free of failure (bebas dari kesengsaraan).?"
Telah dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa manusia diciptakan Allah SWT Berasal dari saripati tanah, lalu
menjadi nutfah, alaqah, dan mudgah sehingga akhirnya menjadi
makhluk yang paling sempurna yang memiliki berbagai kemampuan. Islam menghargai beberapa pendapat yang ada
tentang teori kejadian menusia, meskipun pendapat itu salah maupun benar.
Mengapa? Karena Islam memaklumi bahwa teori berasal dari buah pikiran atau
ijtihad mereka yang tidak mengerti sumber yang paling benar yaitu Al-Qur’an. Akan
tetapi dari beberapa pendapat nativisme, empirisme dan konvergen ketiganya
memiliki satu atau dua persamaan. Memang benar manusia lahir membawa potensi
masing-masing, namun potensi itu bukan dari alam melainkan dari Allah SWT.
Benar pula bahwa perkembangan manusia dipengaruhi oleh lingkungan, namun
lingkungan bukan faktor keseluruhan, karena masih banyak faktor yang
mempengaruhi perkembangan manusia.
C.
Teori Fitrah dalam Pendidikan Islam
Teori fitrah berbeda dengan teori nativisme, empirisme dan
konvergen. Adapun inti pokok letak perbedaannya adalah teori fitrah lebih
lengkap membahas teori kejadian manusia. Manusia terlahir membawa fitrah yang
diberi Allah, kemudian lewat pendidikan fitrah itu ditumbuhkembangkan menuju
arah yang lebih baik. Nativisme mengatakan fitrah itu dari alam sehingga takdir
itu dapat ditentukan sendiri. Hal ini bertentangan dengan Islam yang sudah
jelas bahwa takdir terbagi menjadi dua, yaitu takdir yang bisa dirubah dan
takdir mutlak. Empirisme mengatakan bahwa pendidikan dan pengalaman-pangalaman
hidup adalah faktor utama dalam perkembangan individu. Sedangkan konvergen,
merupakan gabungan keduanya. Sehingga teori Fitrah lebih condong ke arak
konvergen, namun perbedaanya terletak pada fitrah manusia yang berasal dari
Allah SWT bukan dari alam.
D.
Potensi-potensi
Dasar Manusia dan Implikasinya Terhadap Pendidikan
Dalam
Alquran didapati informasi tentang bagaimana Allah berkenan mengajarkan Adam
berbagai nama (ilmu pengetahuan), bahkan pengetahuan Adam mengenai nama-nama
tersebut telah menjadi keung gulan komparatif manusia dari makhluk-makhluk
lain.[7]
Dari sini pula dapat dipahami bahwa manusia sangat membutuhkan pendidikan.
Tanpa pendidikan
manusia tidak memiliki arti apa-apa. Oleh karena itu, Allah berkenan melengkapi manusia dengan pendengaran, penglihatan
dengan aneka hati,[8] agar manusia dapat
mengkomunikasikan dengan potensi potensi lain sehingga ia dapat menjadi manusia
yang dapat dididik maupun mendidik
(pedagogik).
Dalam Islam,
potensi yang dimiliki manusia banyak ragamnya. Abdul Mujib menyebutkan ada
tujuh macam potensi bawaan manusia, yaitu :
1.
Fitrah
Islam
menyatakan bahwa manusia lahir di dunia membawa pembawaan yang disebut fitrah.
Fitrah ini berisi potensi untuk berkembang. Provesi ini dapat berupa keyakinan
beragama, perilaku untuk menjadi baik atau menjadi buruk dan lain sebagainya
yang kesemuanya harus dikembangkan agar ia bertumbuh secara wajar sebagai hamba
Allah.
Rasulullah saw bersabda
كل مولود يولد على الفطرة فاءبواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه (الحديث)
Artinya :
“Semua anak
dilahirkan membawa fitrah (bakat keagamaan), maka terserah kedua orang tuanya
untuk menjadikan beragam Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
Bila ditafsirkan lebih lanjut, istilah fitrah sebagaimana tersebut dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka dapat diambil pengertian secara terminologis
sebagai berikut, Fitrah yang disebutkan dalam ayat tersebut mengandung
implikasi kependidikan yang berkonotasi kepada faham nativisme, karena kata
fitrah mengandung makna kejadian, yang di dalamnya berisi potensi dasar
beragama yang benar dan lurus yaitu Islam. Potensi dasar ini tidak dapat diubah
oleh siapapun atau lingkungan apapun, karena fitrah merupakan ciptaan Allah
yang tidak akan mengalami perubahan baik isi maupun bentuknya dalam tiap
pribadi manusia.
Berdasarkan interpretasi demikian, maka Ilmu Pendidikan Islam bisa
dikatakan berpaham Nativisme, yaitu suatu paham yang menyatakan bahwa
perkembangan manusia dalam hidupnya secara mutlak ditentukan oleh potensi
dasarnya. Proses kependidikan sebagai upaya untuk mempengaruhi jiwa anak didik.
Dalam al Qur’an, fitrah ketika dikorelasikan dengan kalimat lain,
mempunyai banyak makna, diantaranya ialah: (1) fitrah berarti suci, fitrah
disini mempunyai makna kesucian psikis yang terbebas dari dosa dan penyakit
rohaniyah (2) fitrah berarti ber-Islam, yang berarti beragama Islam (fitrah
berarti mengakui keesaan Allah), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Pendapat lain menyatakan bahwa jenis fitrah itu memiliki banyak
dimensinya, tetapi dimensi yang terpenting ialah:[9]
a.
Fitrah Agama; Sejak lahir, manusia mempunyai naluri atas insting
beragama, insting yang mengakui adanya Dzat yang Maha Pencipta, yaitu Allah
SWT.
b.
Fitrah Intelek; Intelek adalah potensi bawaan yang mempunyai daya untuk
memperoleh pengetahuan dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk,
yang benar dan yang salah.
c.
Fitrah Sosial; Kecenderunagn manusia untuk hidup berkelompok yang di
dalamnya terbentuk cirri-ciri yang khas yang disebut dengan kebudayaan.
d.
Fitrah Susila; Kemampuan manusia untuk mempertahankan diri dari sifat
amoral, atau sifat-sifat yang menyalahi tujuan Allah yang menciptakannya
e.
Fitrah Ekonomi (mempertahankan hidupnya); Daya manusia untuk
mempertahankan hidupnya dengan upaya memberikan kebutuhan jasmaniyah, demi
kelangsungan hidupnya.
f.
Fitrah Seni; Kemampuan manusia yang dapat menimbulkan daya estetika,
yang mengacu pada sifat al jamal Allah.
Fitrah Kemajuan, keadilan,
kemerdekaan, kesamaan, ingin dihargai, kawin, cinta tanah air, dan
kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya.
Pengembangan berbagai potensi
manusia (fitrah) dapat dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu melalui
berbagai institusi. Belajar yang dimaksud tidak terfokus melalui pendidikan di
sekolah saja, tetapi juga dapat dilakukan di luar sekolah, baik dalam keluarga,
masyarakat, ataupun lewat institusi social keagamaan yang ada atau bisa juga
melalui pondok pesantren.
2. Fitrah Manusia
Konsep
fitrah manusia yang mengandung pengertian pola dasar kejadian manusia dapat
dijelaskan dengan meninjau:
(a) Hakekat wujud manusia
(b) Tujuan penciptaannya
(c) Sumber Daya Insani (SDM)
(d) Citra manusia dalam Islam.
Dari
hakekat wujudnya sebagai makhluk individu dan sosial dapat disimpulkan bahwa
menurut pandangan Islam keberadaan pribadi seseorang adalah:
a.
Pribadi yang
aktivistik karena tanpa aktivitas dalam masyarakat berarti adanya sama dengan
tidak ada (wujuduhu ka ‘adamihi),
artinya hanya dengan aktivitas, manusia baru diketahui bagaimana pribadinya.
b.
Pribadi yang
bertanggung jawab secara luas, baik terhadap dirinya, terhadap lingkungannya,
maupun terhadap Tuhan.
c.
Dengan
kesimpulan di atas mengeinplisitkan adanya pandangan rekonstruksionisme
(rekonstruksi sosial) dalam pendidikan Islam melalui individualisasi dan
sosialisasi.
3. Implikasi Fitrah Manusia Dalam Pendidikan
Manusia
ditinjau dari segi fisik-biologis mungkin boleh dikatakan sudah selesai, “Physically and biologically is finished”, tetapi
dari segi rohani, spiritual dan moral memang belum selesai, “morally is unfinished”.
Manusia
tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif, melainkan responsif,
sehingga ia menjadi makhluk yang responsible
(bertanggung jawab). Oleh karena itu pendidikan yang sebenarnya adalah
pendidikan yang memberikan stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.
Dengan bantuan kajian psikologik, implikasi fitrah manusia dalam pendidikan
islam dapat disimpulkan bahwa jasa pendidikan dapat diharapkan sejauh
menyangkut development dan becoming sesuai dengan citra manusia
menurut pandangan islam.
4. Pengertian dan Perlunya Pedagogik
Menurut
Umar Tirtarahardja[10],
manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakekat manusia yang masih dalam wujud
potensi; belum teraktualisasi menjadi wujud aktualisasi. Dari kondisi potensi
menjadi wujud aktualisasi terdapat rentang proses yang mengandung
pendidikan untuk berperan dalam memberikan
jasanya. Seseorang yang dilahirkan dengan bakat
seni, misalnya, memerlukan pendidikan untuk proses menjadi seniman terkenal.
Bagi
pendidik, istilah ini pasti sudah tidak asing lagi, dan ilmunya menjadi sebuah
acuan dalam praktek mendidik anak. Jika dilihat dari segi istilah, pedagogik
sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu paedos (anak) dan agogos
(mengantar, membimbing, memimpin).
Dari dua istilah diatas timbul
istilah baru yaitu paedagogos dan pedagog, keduanya memiliki pengertian yang
hampir serupa, yaitu sebutan untuk pelayan pada zaman Yunani kuno yang
mengantarkan atau membimbing anak dari rumah ke sekolah setelah sampai di
sekolah anak dilepas, dalam pengertian pedagog intinya adalah mengantarkan anak
menuju pada kedewasaan. Al-Gazali[11]
mengatakan, melatih atau mendidik anak-anak adalah suatu hal yang penting,
karena anak adalah amanat bagi kedua orangtuanya. Maka, kegiatan
pedagogik merupakan kegiatan memanusiakan manusia. Dimana dalam hal ini anak
sebagai manah dari Tuhan masih belum sempurna menjadi seorang manusia.
Istilah lainnya yaitu Paedagogia
yang berarti pergaulan dengan anak, Pedagogi yang merupakan praktek pendidikan
anak dan kemudian muncullah istilah Pedagogik yang berarti ilmu mendidik anak.
Kadang sebagian orang mengartikan
bahwa pedagogik merupakan ilmu pendidikan, pemaknaan ini tidak berarti salah
namun juga tidak sepenuhnya benar, mengapa? Karena jika ditinjau dari makna
pendidikan secara luas maka Pendidikan adalah hidup. Lebih tepatnya segala
pengalaman di berbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan
berpengaruh positif bagi perkembangan individu.
Dari pengertian diatas maka bisa
dipahami ada beberapa tingkatan dalam pendidikan, sehingga menimbulkan cabang
ilmu pendidikan yang dikembangkan para ahli yaitu pendidikan pada anak yang
disebut Pedagogik, ilmu pendidikan bagi orang dewasa yang disebut Andragogi
serta pendidikan bagi ilmu pendidikan manula yang disebut Gerogogi.
Jelaslah bahwa Pedagogik terbatas
pada ilmu pendidikan anak atau ilmu mendidik anak. Maka timbul pertanyaan lain,
kapankah seorang anak masuk dalam kawasan pedagogik? Menurut M.J. Langeveld,
pendidikan baru terjadi ketika anak telah mengenal kewibawaan, syaratnya yaitu
terlihat pada kemampuan anak memahami bahasa, karena sebelum itu dalam
pedagogik anak tidak disebut telah dididik yang ada adalah pembiasaan. Sedang
batas atasnya yaitu ketika anak telah mencapai kedewasaan atau bisa disebut
orang dewasa.
Jadi, pengertian bahwa pedagogik
adalah ilmu pendidikan berarti benar dalam pengertian pendidikan pedagogik,
namun berarti salah jika mengacu pada makna pendidikan secara luas.
Kemudian, mengapa Pedagogik
diperlukan? Padahal pedagogik yang merupakan rangakaian teori kadang berlainan
dengan praktek di lapangan? Ada dua alasan yang melandasinya, yaitu bahwa
pedagogik sebagai suatu sistem pengetahuan tentang pendidikan anak diperlukan,
karena akan menjadi dasar bagi praktek mendidik anak. Selain itu bahwa
pedagogik akan menjadi standar atau kriteria keberhasilan praktek pendidikan
anak. Kedua, manusia memiliki motif untuk mempertanggungjawabkan pendidikan
bagi anak-anaknya, karena itu agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
praktek pendidikan anak memerlukan pedagogik sebagai landasannya agar tidak
jadi sembarangan.
Untuk meyakinkan lebih jauh,
pedagogik secara jelas memiliki kegunaan diantaranya bagi pendidik untuk
memahami fenomena pendidikan secara sistematis, memberikan petunjuk tentang
yang seharusnya dilaksanakan dalam mendidik, menghindari kesalahan-kesalahan
dalam praktek mendidik anak juga untuk ajang untuk mengenal diri sendiri dan
melakukan koreksi demi perbaikan bagi diri sendiri.
Menurut saya sendiri, pedagogik
memang perlu dipelajari bahkan jika bisa untuk setiap orang, tanpa terbatas
pada identitas sebagai calon guru. Karena sebenarnya kita semua akan atau
mungkin anda yang telah memiliki keluarga telah menjadi seorang pendidik. Saya
menyadari dan mengetahui pada dasarnya manusia mempunyai naluri untuk mendidik
tanpa mempelajari teori, buktinya banyak orang tua berhasil mendidik anak
mereka sampai kesuksesan, tanpa mempelajari pedagogik, namun teoripun lahir
dari praktek di lapangan.
BAB III
PENUTUP
Hakikat kejadian manusia, manusia
sendiri berasal dari saripati tanah, lalu menjadi nutfah, alaqah, dan mudgah
sehingga akhirnya menjadi makhluk yang paling sempurna yang memiliki berbagai
kemampuan. Manusia lahir membawa fitrahnya masing-masing yang harus
ditumbuhkembangkan dan diarahkan kearah yang baik agar menjadi manusia yang
berbudi pekerti luhur, intelektual dan bertaqwa.
Beberapa teori tentang kejadian
manusia; nativisme, menyebutkan
bahwa dasar atau watak manusia diatur dan ditentukan oleh alam semesta pada
saat lahir, sehingga nasib pun bisa diatur; empirisme, bahwa
perkembangan seorang individu akan ditentukan oleh lingkungan atau
pengalaman-pengalaman yang diperoleh individu selama menjalani kehidupanya.
Bila disimpulkan pendidikanlah yang akan membawa nasib manusia untuk ke depannya;
konvergensi, bahwa perkembangan seorang individu tidak hanya di tentukan
oleh nativisme dan empirisme saja melainkan ke dua faktor tersebut yang saling
berkaitan(mempengaruhi). Maka teori fitrah, akan lebih condong dengan
konvergensi. Hanya saja fitrah manusia berasal dari Allah SWT, bukan dari alam.
Pada akhir tujuan dari kegiatan
pendidikan ialah diharapkan adanya perubahan pada peserta didik. Sehingga
implikasi dari kegiatan pendidikan adalah membentuk pribadi yang berbudi
pekerti luhur, intelektual serta bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sesuai
dengan sabda Rosulullah,”Kebajikan itu ialah akhlak yang baik dan dosa itu
ialah sesuatu yang merisaukan dirimu dan kamu tidak senang bila diketahui orang
lain. (HR. Muslim)
Demikian makalah ini, adapun kritik
dan saran yang membangun dari pembaca akan membantu kesempurnaan makalah ini
sehingga menjadi sebuah wacana yang bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR
RUJUKAN
H. M. Said. 1985. Ilmu Pendidikan. Bandung; Alumni.
Aisyah
‘Abd al-Rahman binti Asy-Syāti. 1996. Al-Maqāl fi al-Insān Dirāsah
Qur’āniyah, Mesir; Dar al-Ma’arif.
Abdul
Mujib. 2006. Kepribadian dalam Psikologi Islam.Jakarta; Rajawali Press.
Ahmad Tafsi. 1992. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung; Remaja Rosdakarya.
Battle dan Robert L. Shannon. 1978. Gagasan Baru
dalam Pendidika., terj. Sams Hutabarat, Jakarta; Mutiara.
Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur’an, al-Qur’an dan
Terjemahnya
Syahminin Zaini. 1986. Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam .Jakarta; Kalam Mulia.
Umar Tirtarahardja dan La Sula, Pengantar Pendidikan
H.
M Arifin. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan
Sekolah dan Keluarga. Jakarta; Bulan Bintang. cet. II.
[2] H. M. Said, Ilmu Pendidikan, Bandung: Alumni, 1985, hlm. 5.
[3] Aisyah ‘Abd al-Rahman binti Asy-Syāti,
Al-Maqāl fi al-Insān Dirāsah
Qur’āniyah, Mesir: Dar al-Ma’arif, 1996, hlm. 13-14.
[5] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif
Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 74-75.
[6] Battle dan Robert L. Shannon, Gagasan Baru dalam
Pendidikan, terj. Sams Hutabarat, (Jakarta: Mutiara, 1978),hlm. 31.
[8] Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Penafsir al-Qur’an, al-Qur’an dan
Terjemahnya, hlm. 413
[10] Umar Tirtarahardja dan La Sula, Pengantar Pendidikan, hlm.
24
Sekolah dan Keluarga, Jakarta: Bulan Bintang, cet. II,
hlm. 75
No comments:
Post a Comment