MAKALAH
PEMIKIRAN PENDIDIKAN
ISLAM IBNU MISKAWAIH
Makalah
Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pemikiran Pendidikan Islam
Dosen
Pembimbing
Mukhlis
Fahruddin
Disusun Oleh:
1. M.Khoirul Fadeli (11110044)
2. Maslihatul Habibah (11110098)
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan
merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk membentuk generasi yang
siap mengganti tongkat estafet generasi tua dalam rangka membangun masa depan.
Karena itu pendidikan berperan menyosialisasikan kemampuan baru kepada mereka
agar mampu mengantisipasi tuntutan masyarakat dinamis.
Dalam dunia
filsafat islam banyak nama tokoh-tokoh yang terkenal salah satu diantaranya
adalah Ibnu Miskawaih. Membahas pemikiran seorang Ibnu Miskawaih merupakan hal
yang menarik dalam disepanjang khazanah intelektual.
Dalam makalah
ini akan membahas tentang pemikiran pendidikan seorang Ibnu Miskawaih. Yang
salah satu diantaranya dari pemikiran Ibnu Miskawaih tentang pendidikan lebih
mengarah ke aspek etika dalam pendidikan.
Diharapkan
dengan adanya makalah ini kita dapat memahami lebih tentang pendidikan etika
islam menurut pemikiran Ibnu Miskawaih. Selain dari itu kita juga dapat lebih
memahami tentang biografi ataupun karya-karya dari Ibnu Miskawaih.
1.2
RumusanMasalah
1.
SepertiapabiografiIbnuMiskawaih?
2.
BagaimanaPendidikan Etika Islam Perspektif Ibnu Miskawaih?
3.
Dan BagaimanakurikulumPendidikan
Etika Islam Perspektif Ibnu Miskawaih ?
1.3 Tujuan
1.
MemaparkanbiografiIbnuMiskawaih
2.
MenjelaskanmengenaipemikiranpendidikanIbnuMiskawaih
3.
MenjelaskantentangkurikulumpendidikanetikaislamIbnuMiskawaih
1.4 BatasanMasalah
1. KarenabanyaknyaPokok-pokokpemikiranIbnuMiskawaih
mengenaifilsafatetika,yangdipaparkan secara rincidalamkaryamonumentalnyaTahdzib
al-al-AkhlaqwaTathhir al-A`raq. MakadalammakalahiniakanmembahasmenganaipemikiranIbnuMaskawaih “ PendidikanEtikaIbnuMiskawaih ”
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 AspekHistorisIbnuMiskawaih
A.
RiwayatHidup
Ibnu
Miskawaih
adalah seorang filsuf muslim
yang memusatkan perhatiannya pada etika islam. Meskipun sebenarnya beliaupun seorang sejarawan, tabib, ilmuwan, dan sastrawan.
Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India sangat luas, begitu juga tentang filsafatYunani.[1]
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-khazin Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub. Sebutan
namanya yang lebih Masyhur
adalah Miskawaih, Ibnu
Miskawaih atau Ibnu
Maskawaih. Nama itu diambil dari nama kakeknya
yang semula beragama majuzi (Persi) kemudian masuk Islam.
Ibnu Maskawaih dilahirkan di Ray (sekarang Taheran). Para penulis menyebut tahun kelehirannya berbeda-beda.
M. M Syarif menyebutkan tahun
320 H/932 M,
sedangkan Margoliout menyebutkan kelahirannya pada
tahun 330 H begitu pula M.Yusuf Musa dan Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325
H. Tetapi nampaknya yang pertamalah yang lebih kuat, sebab beliau biasa al-Mahallabi yang menjabat sebagai
wazir pada tahun 339 H, yang pada masa itu paling tidak beliau telah berusia 19
tahun.
Ibnu Miskawaih tinggal selama tujuh tahun bersama Abu Fadhalibn al-‘Amid (360 H/970 M) sebagai pustakawannya. Setelah Abu Fadh wafat, beliau
mengabdi kepada putranya yakni Abu Fath Ali ibn Muhammad ibn al-‘Amid, dengan nama
keluarga Dzu al-Kifayatai. Beliau
juga mengabdi kepada Adhud Daulah dan kemudian kepada beberapa pangeran
dari keluarga terkenal itu.[2]
Ibnu
Miskawaih
wafat pada tahun 421 H/1030 M. Dengan memperhatikan
tahun kelahiran dan wafatnya itu berarti Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan Bani Buwaih yang
beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan persi.
B.
RiwayatPendidikan
Tidak
banyak yang mengetahui dengan pasti riwayat pendidikan Ibnu Miskawaih. Ibnu Miskawaih tidak menulis autobiografinya,
dan para penulis riwayat nya pun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai
latar belakang pendidikannya. Namun, dugaan kuat ialah bahwa Ibnu Miskawaih juga
tidak banyak berbeda dengan anak-anak sezamannya pada saat mudanya.
Karya akademisnya
diawali dengan menimba ilmu
pengetahuan di Bagdad dalam bidang sastra. Setelah menjelajahi banyak cabang ilmu pengetahuan
dan filsafat, akhirnya Ibnu Miskawaih lebih memusatkan
perhatiannya pada bidang sejarah dan etika. Ibnu Miskawaih belajar sejarah, terutama Tarikh al-Tabari(sejarah yang ditulis at-Tabari), pada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadi pada tahun 350 H/960 M. Sementara filsafat,
ibnu Miskawaih mempelajarinya dari Ibnu al-Khammar, yaitu seorang mufassir
kenamaan dan salah seorang pensyarah karangan-karangan Aristoteles.[3]
C.
Karya-Karya Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih dikenal sebagai
seorang pemikir yang produktif. Ia telah menghasilkan banyak karya tulis,
tetapi hanya sebagian kecil yang sekarang masih ada. Jumlah
buku dan artikel
yang berhasil ditulis oleh Ibnu Miskawaih ada 41
buah. Tulisan-tulisan dan karya-karya Ibnu
Miskawaih banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani, Plato, Aristoteles, Forforius,
Enbladgess, dan filsuf
Yunani lainnnya
serta kaum Neo-Platonis. Dari 41 karyanya itu, 15 buah sudah dicetak, 8 buah
masih berupa manuskrip, dan 18 buah dinyatakan hilang.
a. 15 naskah yang sudah dicetak, antara lain:
Ø Kitab
Tahdzib al-Akhlak wa Tathhir al-A’raq (tentang
kesempurnaan etika)
Ø Kitab
Tartib al-Sa’adat (membahas tentang etika dan politik
terutama mengenai pemerintahan Bani ‘Abbas dan Bani Buwaih)
Ø Al-Hikmat
al-Khalidat
Ø Kitab
al-Fauz al-Ashghar fi Ushul al-Diyanat (membahas
tentang metafisika, yaitu ketuhanan, jiwa, dan kenabian)
Ø Maqalat
fi al-Nafs wa al-Aql
Ø Risalat
fi al-Ladzdzut wa al-A’lam (membahas tentang
masalah yang berhubungan dengan perasaan yang dapat membahagiakan dan
menyengsarakan jiwa manusia)
Ø Risalat
fi Mahiyyat al-‘Adl
Ø Kitab
al-Aql wa al-Ma’qul
Ø Washiyyat
Ibn Miskawaih
Ø Kitab
Tajarib al-Umam (membahas tentang pengalaman
bangsa-bangsa mengenai sejarah, diantara isinya sejarah tentang banjir besar,
yang ditulis tahun 369H/979M)
Ø Risalah
al-Ajwibah wa al-As’ilah fi an-Nafs al-‘Aql (membahas
tentang etika dan aturan hidup)
Ø Kitab
Jawidzan Khirad (menbahas tentang masalah yang
berhubungan dengan pemerintah dan hokum terutama menyangkut empat negara, yaitu
Persia, Arab, India, dan Roma)
Ø Kitab
Laghz Qabis
Ø Risalah
Yaruddu biha ‘ala Risalat Badi’ al-Zaman al-Hamadzani
Ø Washiyyat
li Thalib al-Hikmah
b. 8 buah karya masih berupa manuskrip, antara lain:
Ø Risalah
fi al-Thabi’iyyah (membahas tentang ilmu yang
berhubungan dengan alam semesta)
Ø Risalah
fi al-Jauhar al-Nafs (membahas tentang
masalah yang berhubungan dengan ilmu jiwa)
Ø Fi
Itsbat al-Shuwar al-Ruhaniyah al-Lati La Hayula Laha
Ø Ta’rif
al-Dahr wa al-Zaman
Ø Al-Jawab
fi al-Masail al-Tsalats (membahas tentang
jawaban tiga masalah)
Ø Kitab
Thaharat al-Nafs (membahas tentang etika dan
peraturan hidup)
Ø Majmu’at
Rasail Tantawi ‘ala Hukm Falasufat al-Syarqi wa al-Yunani
Ø Al-Washaya
al-Dzahabiyah li Phitagoras
c. 18 buah karya yang dinyatakan hilang, antara lain:
Ø Al-Mushtofa
(berisi tentang syair-syair pilihan)
Ø Uns
al-Farid (berisi tentang antologi cerpen, koleksi
anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata hikmah)
Ø Al-Adawiyah
al-Mufridah (membahas tentang kimia, obat-obatan)
Ø Kitab
Tarkib al-Bijah min al-Ath’imah (membahas tentang
kaidah dan seni memasak)
Ø Al-Fauz
al-Akbar (membahas tentang etika dan peraturan
hidup)
Ø Al-Jami’
(membahas tentang ketabiban)
Ø Al-Siyar
(membahas tentang tingkah laku dan kehidupan)
Ø Maqalay
fi al-Hikmah wa al-Riyadlah
Ø ‘Ala
al-Daulat al-Dailani
Ø Kitab
al-Siyasat
Ø Kitab
al-‘Asyribah (tentang minuman)
Ø Adab
al-Dunya wa al-Din
Ø Al
‘Udain fi ‘Ilmi al-‘Awamil
Ø Ta’aliq
Hawasyi Mantiq
Ø Faqr
Ahl al-Kutub
Ø Al-Mukhtashar
fi Shina’at al-Adab
Ø Haqaiq
al-Nufus
Ø Ahwa
al-Salaf wa Shifat Ba’dl al-Anbiya al-Sabiqin[4]
1.2 Pendidikan Etika Islam
Perspektif Ibnu Miskawaih
Cita-cita pendidikan sebagaimana yang
dimaksudkan Ibnu Miskawaih diisyaratkannya dalam awal kalimat kitab. Tandzibul
Akhlaq wa Tathhir al-A'raq ialah terwujudnya pribadi susila, berwatak yang
lahir daripadanya perilaku-perilaku luhur, atau berbudi pekerti mulia. Budi
(jiwa atau watak), lahir pekerti (perilaku) yang mulia. Untuk mencapai
cita-cita ini haruslah melalui pendidikan dan untuk melaksanakan pendidikan
perlu mengetahui watak manusia atau budi pekerti manusia.
Di sini terlihat dengan jelas,
bahwa karena dasar pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang etika Islam, maka
konsep pendidikan yang dibangunnya pun, adalah pendidikan etika Islam. Konsep
pendidikan etika Islam dari Ibnu Miskawaih tersebut dikemukakan sebagai
berikut:
A. Fungsi Pendidikan
a. Memanusiakan manusia
Setiap makhluk di dunia ini
mempunyai kesempurnaan khusus dan perilaku yang spesifik baginya yang tidak ada
makhluk lain yang menyertainya pada perilaku itu. Maka manusia diantara segala makhluk
yang ada mempunyai perilaku khusus yaitu, segala perilaku yang lahir dari
pertimbangan nalar akal pikirannya. Karena itu, barang siapa yang
pertimbangannya paling jernih penalarannya paling benar, keputusannya paling
tepat, adalah orang yang paling sempurna martabat kemanusiaannya. Manusia yang
paling utama adalah orang yang paling mampu menunjukkan perilaku yang khas
padanya dan yang paling teguh berpegang kepada syarat-syarat substansinya (daya
pikir) yang membedakannya dengan makhluk lainnya. Maka, kewajibannya ialah
berbuat kebajikan yang merupakan kesempurnaan manusia dan atas dasar untuk
itulah mereka diciptakan dan agar mereka berupaya sungguh-sungguh untuk sampai
pada kebajikan (al-khairat), dan agar manusia menghindari
kejahatan-kejahatan (as-syarru) yang menghambat mereka sampai kepada
kebaikan.
Oleh karena itu, tugas pendidikan
adalah mendudukkan manusia sesuai dengan substansinya sebagai makhluk yang
termulia dari makhluk lainnya. Hal itu ditandai dengan perilaku dan perbuatan
yang khas bagi manusia yang tak mungkin dilakukan oleh makhluk yang lain.
b. Sosialisasi individu manusia
Pendidikan harus merupakan proses
sosialisasi, hingga tiap individu merupakan bagian integral dari masyarakatnya
dalam melaksanakan kebajikan untuk kebahagiaan bersama. Ibnu Miskawaih
menyatakan bahwa kebajikan itu sangat banyak dan tak mungkin mewujudkan seluruh
kebajikan dari kemampuan satu orang manusia. Oleh karena itu menurut Ibnu
Miskawaih, untuk mewujudkan seluruh kebajikan itu harus dilakukan dengan
bersama-sama atas dasar saling menolong dan saling melengkapi. Jadi, seluruh
individu berhimpun pada suatu waktu untuk mencapai kebahagiaan bersama.
Kebahagiaan tiap individu sempurna berkat pertolongan lainnya, kebajikan
menjadi milik bersama. Kebahagiaan dibagi-bagikan kepada individu, hingga
masing-masing bertanggung jawab atas bagian dan kebahagiaan. Kamalul insani
(human perfection) tercapai berkat gotong royong tersebut. Untuk hal
demikian, manusia wajib saling mencintai antara satu sama lain, karena
masing-masing individu melihat kesempurnaannya berada pada individu yang lain.
Kalau tidak saling mencintai, maka tidak sempurna kebahagiaannya. Jadi, tiap
orang merupakan anggota dari anggota badan. Rangka manusia sempurna dengan
utuhya anggota-anggota badan.
Ibnu Miskawaih menegaskan lagi
bahwa manusia di antara segala makhluk, binatang tidak dapat mandiri dalam
menyempurnakan esensinya sebagai insan, tetapi pasti dengan pertolongan dari
golongan manusia lain. Dia dapat mencapai kehidupan yang baik dan melaksanakan
kewajibannya dengan tepat. Manusia pada dasarnya adalah anggota masyarakat. Di
tengah-tengah masyarakat terwujud kebahagiaan insaniahnya. Setiap orang
memerlukan orang lain. Dia sewajarnya bergaul dengan masyarakat sebaik-baiknya,
mencintai mereka setulus-tulusnya.
c. Menanamkan rasa malu
Manusia diciptakan dengan
kekuatan-kekuatan potensial dan kekuatan-kekuatan itu tumbuh secara alamiyah.
Kekuatan yang mula-mula muncul ialah tuntutan biologis, yakni kecenderungan syahwaniyah
seperti makan untuk mengembangkan fisik. Tuntutan biologis ini terus berkembang
ke berbagai kecenderungan-kecenderungan keinginan. Kemudian menyusul timbul
kekuatan imajinasi yang timbul dari pengindraan. Sesudah itu muncul kekuatan ghadlabiyah
(kekuatan kemauan) untuk bertindak mengatasi hambatan atau untuk memenuhi
kecenderungan. Bila gagal mengatasi sendiri, maka anak itu menangis, atau ia
minta bantuan kepada orang tuanya. Setelah itu, lahir kekuatan tamyiz/pertimbangan
nalar (perkembangan intelektualitas) terhadap perilaku-perilaku khas manusiawi
sedikit demi sedikit hingga sempurna. Pada tingkat perkembangan ini, anak
dinamai aqil. Kekuatan-kekuatan ini banyak, sebagiannya secara
fundamental mendorong terwujudnya sebagian kekuatan yang lain sehingga tercapai
tujuan perkembangan terakhir (tingkat akhir perkembangan akal insany), Tujuan
yang tak ada lagi tujuan lainnya, yaitu al-khair al-mutlaq. Kebajikan
mutlak yang diinginkan manusia sebab dia manusia. Pertama-tama yang muncul dari
kekuatan-kekuatan ini pada manusia adalah rasa malu (al-hayaa'u), yaitu
rasa takut lahirnya sesuatu yang jelek dari dirinya. Karena itu menurut Ibnu
Miskawaih, pertama-tama yang harus diamati benar-benar pada anak-anak dan
dipandang tanda awal perkembangan akalnya adalah timbulnya rasa malu, karena
hal itu menunjukkan bahwa anak sudah menginsafi tentang keburukan. Di samping
keinsyafan tentang keburukan anak juga berupaya memelihara dirinya dan menjauhi
keburukan itu. Ibnu Miskawaih menandai gejala ini dengan perilaku anak seperti
bila anak-anak diamati dan ia tersipu-sipu, matanya menunduk ke bawah, wajahnya
sayu, maka itu merupakan tanda awal dari kebagusan bawaannya dan menjadi bukti
bahwa jiwanya sudah mengerti kebaikan dan keburukan. Jiwa yang demikian
berbakat untuk dididik, pantas diberi perhatian, wajib tidak ditelantarkan dan
jangan dibiarkan bergaul dengan orang-orang yang dapat merusaknya.
Dari pikiran Ibnu Miskawaih
tersebut, demikian jelas bahwa penanaman rasa malu adalah fungsi pendidikan
yang penting dan penanaman ini dimulai sedini mungkin yakni pada awal munculnya
gejala jiwa tamyiz, yakni perkembangan anak mulai berpikir kritis dan
logis pada waktu mereka duduk di Sekolah Dasar, pada umur antara 10-12 tahun.
Anak telah dapat mengenal aturan kesusilaan serta tahu bagaimana dia harus
bertingkah laku.
B. Tujuan Pendidikan Etika
Tujuan pendidikan etika yang dirumuskan
Ibnu Miskawaih adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara
spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga mencapai
kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati dan sempurna. Dengan alasan
seperti ini, as-Sya'ir dan Muhammad Yusuf Musa menggolongkan Ibnu Miskawaih
sebagai filsuf yang bermadzhab as-sa'adah di bidang etika Islam. As-sa'adah
memang merupakan persoalan utama dan mendasar bagi hidup manusia dan sekaligus
bagi pendidikan etika Islam. Makna as-sa'adah sebagaimana dinyatakan M.
Abdul Haq Ansari, tidak mungkin dapat dicari padan katanya dalam Bahasa Inggris
walaupun secara umum diartikan sebagai happiness. Menurutnya, as-sa'adah
merupakan konsep komprehensif yang di dalamnya terkandung unsur kebahagiaan (happiness),
kemakmuran (prosperity), keberhasilan (success), kesempurnaan (perfection),
kesenangan (blessedness), dan kecantikan (beautitude).
Berdasarkan uraian tersebut, maka tujuan
pendidikan etika Islam yang ingin dicapai Ibnu Miskawaih bersifat menyeluruh,
yakni mencari kebahagiaan hidup manusia dalam arti, seluas-luasnya.
C. Materi Pendidikan Etika
Untuk mencapai tujuan etika Islam yang
telah dirumuskan, Ibnu Miskawaih menyebutkan beberapa hal yang perlu
dipelajari, diajarkan, dan dipraktikkan. Sesuai dengan konsepnya tentang
manusia, secara umum Ibnu Miskawaih menghendaki agar semua sisi kemanusiaan
mendapatkan materi pendidikan yang memberi jalan bagi tercapainya tujuan
pendidikan. Materi-materi yang dimaksud oleh Ibnu Miskawaih diabdikan pula
sebagai bentuk pengabdian kepada Allah swt.
Sejalan dengan uraian tersebut, Ibnu
Miskawaih menyebutkan tiga hal pokok tersebut, yaitu:
a. Hal-hal yang wajib bagi
kebutuhan tubuh manusia.
b. Hal-hal yang bagi jiwa.
c. Hal-hal yang wajib bagi
hubungannya dengan sesama.
Ketiga pokok materi tersebut
menurut Ibnu Miskawaih dapat diperoleh dari ilmu-ilmu yang secara garis besar
dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan
pemikiran atau biasa disebut dengan al-'ulum al-fikriyah. Kedua,
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan indra atau biasa disebut dengan al-'ulum
al-hissiyat.
Ibnu Miskawaih tidak merinci materi
pendidikan yang wajib bagi kebutuhan manusia. Secara sepintas tampaknya agak
ganjil. Materi pendidikan etika Islam yang wajib bagi Ibnu Miskawaih antara
lain, salat, puasa, dan sa'i. Ibnu Miskawaih tidak memberikan penjelasan lebih
lanjut terhadap contoh yang diajukannya ini. Hal ini barangkali didasarkannya
pada perkiraannya, bahwa tanpa uraian secara terperinci pun orang sudah
menangkap maksudnya. Gerakan-gerakan salat secara teratur yang paling sedikit
lima kali sehari seperti mengangkat tangan, berdiri, ruku', dan sujud memang
memiliki unsur olah tubuh. Salat sebagai jenis olah tubuh akan dapat lebih
dirasakan dan disadari sebagai olah tubuh (gerak badan), jika dilakukan dalam
berdiri, ruku', dan sujud dalam waktu yang agak lama.
Selanjutnya materi pendidikan etika
Islam yang wajib dipelajari bagi keperluan jiwa, dicontohkan oleh Ibnu
Miskawaih dengan pembahasan akidah yang benar, mengesakan Allah dengan segala
kebesaran-Nya, serta motivasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi yang
terkait dengan keperluan manusia terhadap manusia lain, dicontohkan dengan
materi ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasihati, peperangan, dan
lain-lain.
Selanjuthya karena materi-materi
tersebut selalu dikaitkan dengan pengabdian kepada Tuhan, maka apa pun materi
yang terdapat dalam suatu ilmu yang ada, asal semuanya tidak lepas dari tujuan
pengabdian kepada Tuhan, Ibnu Miskawaih tampak akan menyetujuinya. Ia menyebut
misalnya ilmu nahwu (tata bahasa bahasa Arab). Dalam rangka pendidikan
etika Islam, Ibnu Miskawaih sangat mementingkan materi yang ada dalam ilmu ini,
karena materi yang ada dalam ilmu ini akan membantu manusia untuk lurus dalam
berbicara. Demikian pula materi yang ada dalam ilmu manthiq (logika)
akan membantu manusia untuk lurus dalam berpikir. Adapun materi yang terdapat
dalam ilmu pasti seperti ilmu hitung (al-hisab), dan geometri (al-handasat)
akan membantu manusia untuk terbiasa berkata benar dan benci kepalsuan.
Sementara itu sejarah dan sastra, akan membantu manusia untuk berlaku sopan.
Materi yang ada dalam syariat sangat ditekankan oleh Ibnu Miskawaih.
Menurutnya, dengan mendalami syariat, manusia akan teguh pendirian, terbiasa
berbuat yang diridhai Tuhan, dan jiwa siap menerima hikmah hingga
mencapai kebahagiaan (al-sa'adat).
Dari uraian tersebut terkesan bahwa
tujuan pendidikan etika Islam yang dirumuskan Ibnu Miskawaih memang terlihat
mengarah kepada terciptanya manusia agar menjadi filsuf. Karena itu, ia memberi
jalan agar seseorang memahami materi yang terdapat dalam beberapa ilmu
tertentu. Dalam hal ini Ibnu Miskawaih memberikan uraian tentang sejumlah ilmu
yang dipelajari agar seseorang menjadi filsuf. Ilmu tersebut, ialah:
a. Matematika (ar-riyadiyat).
b. Logika (al-manthiq),
sebagai alat filsafat.
c. Ilmu kealaman (natural
science).
Menurutnya, seseorang baru dapat
dikatakan filsuf, apabila sebelumnya telah mencapai predikat muhandis (engineer/insinyur),
munajjim (astroger), thabib (pyisician), manthiqi
(logician), atau nahwi (philologist/grammarian), atau
lainnya.
Selain materi yang terdapat dalam
ilmu-ilmu tersebut, Ibnu Miskawaih juga menganjurkan seseorang agar mempelajari
buku-buku yang khusus berbicara tentang etika Islam agar dengan itu manusia
akan mendapat motivasi yang kuat untuk beradab.
Pendapat Ibnu Miskawaih tersebut lebih
jauh mempunyai maksud agar setiap guru (pendidik), apa pun materi bidang ilmu
yang diasuhnya harus diarahkan untuk terciptanya etika yang mulia bagi diri
sendiri dan murid-muridnya. Ibnu Miskawaih memandang guru (pendidik) mempunyai
kesempatan baik untuk memberi nilai lebih pada setiap ilmu bagi pembentukan
pribadi mulia.
Sebagaimana telah diuraikan, Ibnu
Miskawaih memberi makna kejasmanian terhadap sesuatu yang sudah pasti bernilai
kerohanian. Untuk perintah salat dan puasa, dikaitkan dengan kesehatan tubuh.
Kegiatan ritual lainnya seperti haji, salat jumat, dan salat berjamaah,
diterjemahkan sebagai upaya untuk membantu manusia mengembangkan cinta kepada
sesama dan rasa persahabatan yang fitrahwi agar manusia tidak saling
berselisih. Hal ini berbeda dengan pendapat al-Ghazali tentang manfaat salat
yang dinilainya semata-mata untuk keuntungan jiwa individual.
Jika dianalisis secara saksama, bahwa
berbagai ilmu yang diajarkan dalam kegiatan pendidikan seharusnya tidak diajarkan
semata-mata karena ilmu itu sendiri, atau tujuan akademik semata-mata, tetapi
karena tujuan lain yang lebih substansial, pokok, dan hakiki, yaitu etika yang
mulia. Dengan kata lain, setiap ilmu membawa misi etika.
Namun untuk melihat sisi etika Islam
yang terdapat dalam setiap ilmu yang diajarkan diperlukan adanya kemampuan
metodologi dan pendekatan dalam penyampaian setiap ilmu. Misalnya, seseorang
yang mengajarkan ilmu matematika atau fisika, selain menggunakan pendekatan
keilmuan, juga dapat menggunakan pendekatan secara integrated, yaitu dengan
melihat ilmu tersebut dari suatu sudut atau lainnya, misalnya dari aspek etika
atau akhlak. Dengan demikian, orang yang mempelajari ilmu tersebut, selain
memiliki keahlian dalam bidang matematika dan fisika, misalnya untuk keperluan
hitungan bagi kepentingan pembangunan, ia juga dapat memiliki etika yang mulia.
D. Ilmu yang Dipelajari
Ibnu Miskawaih menempatkan ilmu ke
dalam suatu kedudukan berdasarkan objek ilmu tersebut. Ilmu yang paling mulia
menurut Ibnu Miskawaih adalah ilmu pendidikan, karena obyeknya adalah budi
pekerti manusia, yang menyangkut substansi manusia. Ilmu kedokteran, adalah
objeknya manusia, juga merupakan ilmu pengetahuan yang mulia. Segala ilmu
pengetahuan yang mengembangkan quwwatun natiqah (daya pikir) adalah ilmu
yang paling mulia. Sebab jiwa natiqah selalu condong kepada ilmu
pengetahuan, lambang kesempurnaan dan kemuliaan manusia. Sebaliknya,
pengetahuan tentang menyamak kulit dipandang hina karena obyeknya adalah kulit
bangkai hewan.
Dengan dasar pemikiran tersebut,
Ibnu Miskawaih membagi ilmu kepada dua golongan: al-ulumul syarifah
(ilmu-ilmu yang mulia) dan al-ulumul radli'ah (ilmu-ilmu yang hina).
Martabat suatu ilmu sesuai dengan urutan martabat hakikat objek ilmu itu dalam
alam ini, misalnya ilmu tentang manusia lebih mulia dari objek binatang, ilmu
binatang lebih mulia dari tumbuh-tumbuhan. Dari pemikiran Ibnu Miskawaih, dapat
dipahami bahwa kecenderungan Ibnu Miskawaih kepada ulumul 'aqliyah,
sebagai ilmu yang utama dipelajari karena menunjang tercapainya kualitas
manusia yang sempurna.
E. Pendidik dan Anak Didik
Arti pendidik dalam hal ini adalah
guru, instruktur, ustadz atau dosen memegang peranan penting dalam
keberlangsungan kegiatan pengajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan. Sedangkan anak didik adalah murid, siswa, peserta didik atau
mahasiswa merupakan sasaran kegiatan pengajaran dan pendidikan merupakan bagian
yang perlu mendapatkan perhatian yang saksama. Perbedaan anak didik dapat
menyebabkan terjadinya perbedaan materi, metode, pendekatan, dan lain
sebagainya.
Kedua aspek pendidikan (pendidik
dan peserta didik) ini mendapat perhatian yang khusus dari Ibnu Miskawaih.
Menurutnya, orang tua tetap merupakan pendidik yang mula-mula bagi anak-anaknya
dengan syariat sebagai acuan utama materi pendidikannya. Karena peran yang
demikian besar dari orang tua dalam kegiatan pendidikan, maka perlu adanya
hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak yang didasarkan pada cinta
kasih. Namun demikian, cinta seseorang terhadap gurunya, menurut Ibnu Miskawaih
harus melebihi cintanya terhadap orang tuanya sendiri. Kecintaan anak didik
disamakan kedudukannya dengan cinta hamba terhadap Tuhannya. Akan tetapi karena
kecintaan terhadap Tuhan ini jarang ada yang melakukannya, maka Ibnu Miskawaih
mendudukkan cinta murid terhadap guru berada di antara kecintaan terhadap orang
tua dan kecintaan terhadap Tuhan.
Alasan yang diajukannya adalah
karena seorang guru dianggap lebih berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya
dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati. Guru berperan sebagai orang tua atau
bapak rohani, orang yang dimuliakan dan kebaikan yang diberikan adalah kebaikan
Ilahi. Selain itu, karena guru berperan membawa anak didik kepada kearifan,
mengisi jiwa anak didik dengan kebijaksanaan yang tinggi dan menunjukkan kepada
mereka kehidupan abadi dalam kenikmatan yang abadi pula.
Namun, sepertinya Ibnu Miskawaih
tidak menempatkan guru secara keseluruhan pada posisi dan derajat tersebut.
Guru yang menempati posisi yang demikian tinggi adalah guru yang berderajat mu'allim
al-mitsal, hakim, atau mu'allim al-hakim.
Pendidik sejati yang dimaksudkan
Ibnu Miskawaih adalah manusia ideal seperti yang terdapat pada konsepsinya
tentang manusia yang ideal. Hal demikian terlihat jelas, karena ia
menyejajarkan posisi mereka sama dengan posisi nabi, terutama dalam hal cinta
kasih. Cinta kasih anak didik terhadap pendidiknya menempati posisi kedua
setelah cinta kasih terhadap Allah.
Dari pandangan demikian, dapat
diambil suatu pemahaman bahwa guru yang tidak mencapai derajat seperti yang
dimaksudkan di atas dinilai sama oleh Ibnu Miskawaih dengan seorang teman atau
seorang saudara, karena dari mereka itu dapat juga diperoleh ilmu dan adab.
Menurutnya yang tergolong sebagai teman atau saudara adalah orang yang satu
keturunan atau lainnya, baik anak-anak maupun orang tua.
Ibnu Miskawaih juga menyatakan
bahwa cinta itu banyak jenis, sebab dan kualitasnya. Macam-macam cinta ini,
menurutnya sekadar cinta manusiawi. Ibnu Miskawaih sangat mengharapkan adanya
cinta selain itu semua. Cinta yang diharapkan adalah cinta yang didasarkan atas
semua jenis kebaikan itu, tetapi kualitasnya lebih lama, sehingga menjadi cinta
yang murni dan sempurna. Cinta demikian disebutnya dengan cinta Ilahi. Cinta
ini tidak memiliki cacat sedikitpun, karena ia muncul dari manusia yang suci
terlepas dari pengaruh kematerian. Pemikiran demikian sejalan dengan tujuan
pendidikan etika Islam di atas.
Adapun posisi teman atau saudara,
menurut Ibnu Miskawaih, paling tinggi hanya mungkin diletakkan di atas berbagai
hubungan cinta kasih tersebut, tetapi masih berada di bawah cinta murni. Dengan
demikian, maka cinta murid terhadap guru biasa, masih menempati posisi lebih
tinggi daripada cinta anak kepada orang tua, hanya saja tidak mencapai cinta
murid terhadap guru idealnya. Seperti halnya masalah yang lain, Ibnu Miskawaih
selalu berusaha mencari yang terbaik, dan yang terbaik sebagaimana telah
diuraikan adalah posisi pertengahan. Karena itu, posisi guru biasa, diletakkan
di antara posisi guru yang ideal dan posisi orang tua.
Adapun yang dimaksud dengan guru
biasa oleh Ibnu Miskawaih bukan dalam arti guru formal karena jabatan.
Menurutnya, guru biasa adalah mereka yang memiliki berbagai persyaratan, antara
lain:
a. Bisa dipercaya.
b. Pandai.
c. Dicintai.
d. Sejarah hidupnya jelas, dan
tidak tercemar di masyarakat.
Di samping itu, ia hendaknya
menjadi cermin atau panutan dan bahkan harus lebih mulia dari orang yang
dididiknya.
Perlunya hubungan yang didasarkan
pada cinta kasih antara guru dan murid tersebut dipandang demikian penting,
karena terkait dengan keberhasilan dalam kegiatan belajar-mengajar. Kegiatan
belajar-mengajar yang didasarkan atas dasar cinta kasih antara guru dan murid
dapat memberi dampak yang positif bagi keberhasilan pendidikan.
F. Lingkungan Pendidikan
Dalam usaha mencapai kebahagiaan (as-sa'adat),
menurut Ibnu Miskawaih tidak dapat dilakukan sendirian, tetapi harus
bersama-sama atas dasar saling menolong dan saling melengkapi. Kondisi demikian
akan tercipta, apabila sesama manusia saling mencintai. Setiap pribadi merasa
bahwa kesempurnaan dirinya akan terwujud karena kesempurnaan yang lainnya. Jika
tidak demikian, maka kebahagiaan tidak dapat diraih dengan sempurna. Asas dasar
itu, maka setiap individu mendapat posisi sebagai salah satu anggota badan.
Manusia menjadi kuat dikarenakan kesempurnaan anggota-anggota badannya.
Selanjutnya Ibnu Miskawaih berpendapat,
bahwa sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kondisi yang baik dari luar
dirinya. Selanjutnya ia menyatakan, bahwa sebaik-baik manusia adalah orang yang
berbuat baik terhadap keluarga dan orang-orang yang masih ada kaitan dengannya
mulai dari saudara, anak, atau orang yang masih ada hubungannya dengan saudara,
anak, kerabat, keturunan, rekan, tetangga, kawan, atau kekasih.
Selanjutnya, Ibnu Miskawaih
berpendapat bahwa salah satu tabiat manusia adalah memelihara diri. Karena itu
manusia selalu berusaha untuk memperolehnya bersama dengan makhluk sejenisnya.
Di antara cara untuk mencapainya adalah dengan sering bertemu. Manfaat dari
hasil dari pertemuan di antaranya adalah akan memperkuat akidah yang benar dan
kestabilan cinta kasih sesamanya. Upaya untuk ini, antara lain dengan
melaksanakan kewajiban syariat. Salat Jumat, salat berjamaah, salat hari raya,
dan haji, menurut Ibnu Miskawaih merupakan isyarat bagi adanya untuk saling
bertemu, sekurang-kurangnya satu minggu sekali. Pertemuan ini bukan saja dengan
orang-orang yang berada dalam lingkungan terdekat, tetapi sampai pada tingkat
yang paling jauh.
Untuk mencapai keadaan lingkungan
yang demikian, menurut Ibnu Miskawaih terkait dengan politik pemerintah. Kepala
negara berikut aparatnya mempunyai kewajiban untuk menciptakannya. Karena itu,
Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa agama dan negara ibarat dua saudara yang
saling melengkapi, satu dengan yang lainnya saling menyempurnakan. Cinta kasih
kepala negara (pemimpin) terhadap rakyatnya semisal cinta kasih orang tua
terhadap anak-anaknya, begitu juga sebaliknya yang harus dilakukan rakyatnya,
yaitu wajib mencintai pemimpinnya semisal cinta anak kepada orang tuanya.
Selanjutnya mengenai lingkungan
pendidikan, yang selama ini dikenal adanya tiga lingkungan pendidikan yaitu,
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Secara
eksplisit Ibnu Miskawaih tidak membicarakan ketiga masalah lingkungan tersebut.
lbnu Miskawaih membicarakan lingkungan pendidikan dengan cara yang bersifat
umum. Yaitu dengan membicarakan lingkungan masyarakat pada umumnya, mulai dari
lingkungan sekolah yang menyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan
pemerintah yang menyangkut hubungan rakyat dan pemimpinnya, sampai lingkungan
rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak dan anggota
lingkungan lainnya. Keseluruhan lingkungan ini, antara satu dan lainnya secara
akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan pendidikan.
G. Metodologi Pendidikan
Metodologi pendidikan dapat
diartikan sebagai cara-cara yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan yang ditetapkan, yaitu perubahan-perubahan kepada keadaan yang lebih
baik dari sebelumnya. Dengan demikian, metode ini terkait dengan perubahan dan
perbaikan. Jika sasarannya adalah perbaikan etika, maka metode pendidikan di
sini berkaitan dengan metode pendidikan etika. Dalam kaitan ini Ibnu Miskawaih
berpendirian bahwa etika seseorang dapat diusahakan atau menerima perubahan
yang diusahakan. Jika demikian halnya, maka usaha-usaha untuk mengubahnya diperlukan
adanya cara-cara yang efektif yang selanjutnya dikenal dengan istilah
metodologi.
Metodologi perbaikan etika
diartikan sebagai metode mencapai etika yang baik, dan metode memperbaiki etika
yang buruk. Walaupun demikian, pembahasannya disatukan karena antara satu
dengan lainnya saling melengkapi dan tidak dipisahkan secara ketat.
Terdapat beberapa metode yang telah
diajukan Ibnu Miskawaih dalam mencapai suatu etika yang baik, yaitu antara
lain:
a.
Pertama,
adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan menahan
diri (al-'adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan
yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Latihan ini terutama diarahkan
agar manusia tidak memperturutkan kemauan jiwa al-syahwaniyah dan al-ghadlabiyah.
Karena kedua jiwa ini sangat terkait dengan alat tubuh, maka wujud latihan dan
menahan diri dapat dilakukan antara lain dengan tidak makan dan tidak minum
yang membawa kerusakan tubuh, atau dengan melakukan puasa. Apabila kemalasan
muncul, maka latihan yang patut dilakukan antara lain adalah bekerja yang di
dalamnya mengandung unsur yang berat, seperti mengerjakan salat yang lima, atau
melakukan sebagian pekerjaan baik yang di dalamnya mengandung unsur yang
melelahkan. Latihan yang sungguh-sungguh seperti hal ini, oleh Ibnu Miskawaih
diumpamakan seperti persiapan raja yang akan menghadapi musuh. Persiapan yang
dimaksud mengandung pengertian harus dilakukan secara dini, terus-menerus dan
tidak menunggu waktu. Metode seperti ini ditemui pula dalam karya etika filsuf
lain, seperti halnya yang dilakukan Imam al-Ghazali, Ibnu 'Arabi, dan Ibnu
Sina. Metode semacam ini, termasuk metode yang paling efektif untuk memperoleh
keutamaan jiwa.
b.
Kedua,
dengan menjadikan semua pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin
bagi dirinya. Adapun pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud adalah
pengetahuan dan pengalaman yang berkenaan dengan hukum-hukum etika yang berlaku
bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini
seseorang tidak akan hanyut dalam perbuatan yang tidak baik, karena ia
bercermin kepada perbuatan buruk dan akibatnya dialami orang lain. Manakala ia
mengukur kejelekan atau keburukan orang lain, ia kemudian mencurigai dirinya,
bahwa dirinya juga sedikit banyak memiliki kekurangan seperti orang tersebut,
lalu menyelidiki dirinya. Dengan demikian, maka setiap malam dan siang ia akan
selalu meninjau kembali semua perbuatannya, sehingga tidak satu pun
perbuatannya terhindar dari pengamatannya.[5]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
IbnuMaskawaihadalahseorangfilsufmuslim
yang memusatkanperhatiannyapadaetikaislam. Namalengkapnyaadalah Abu Ali al-khazin
Ahmad ibn Muhammad ibnYa’qub.Sebutannamanya yang
lebihMasyhuradalahMiskawaih,IbnuMiskawaihatauIbnuMaskawaih. Parapenulismenyebuttahunkelehirannyaberbeda-beda.Salah satudiantaranyaM.M
Syarifmenyebutkantahun 320 H/932 M.
Karia akademisnyadiawalidenganmenimbailmupengetahuan
di Bagdad
dalambidangsastra.Setelahmenjelajahibanyakcabangilmupengetahuandanfilsafat, akhirnyaIbnuMaskawaihlebihmemusatkanperhatiannyapadabidangsejarahdanetika.IbnuMaskawaihbelajarsejarah,
terutamaTarikh al-Tabari(sejarah yang
ditulis at-Tabari), pada Abu Bakar Ahmad bin Kamil al-Qadipadatahun 350 H/960
M.
Konseppendidikanetika
Islam dariIbnuMiskawaih yang telah di
kemukakanmemilikifungsipendidikanuntukmemenusiakanmanusia, menenemkan rasa
malu, danhidupbersosial.Adapuntujuanpendidikanetika yang di
rumuskanolehIbnuMiskawaihadalahterwujudnyasikapbatin yang
mampumendorongsecaraspontanuntukmelahirkansemuaperbuatan yang bernilaibaik,
sehinggamencapaikesempurnaandanmemperolehkebahagiaansejatidansempurna.
Secara
global Ibnu miskawaih membagi materi pendidikan etika sebagai berikut: a. hal-hal yang
wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, b. hal-hal yang wajib bagi jiwa, dan c.
hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia.
SedangkanIlmu yang
dipelajariibnuMiskawaihmembagiIlmumenjadiduagolonganyaitu :PertamaIlmu-ilmu yang mulia ( al-ulumulsyarifah ), KeduaIlmu-ilmu yang hina ( al-ulumulradli’ah )
Metode yang diajukan ibnu Miskawaih dalam mencapai etika yang baik.Pertama, adanya
kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri (al-adat
wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya
sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua pengetahuan
dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya, adapun pengetahuan dan
pengalaman yang dimaksud dalam pernyataan ini adalah pengetahuan dan pengalaman
yang berkenaan dengan hukum-hukum akhlaq yang berlaku bagi sebab munculnya
kebaikan dan keburukan bagi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Istighfarotur
Rahmaniyah, 2010,Pendidikan Etika,
Konsep Jiwa dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih dalam Kontribusinya di Bidang
Pendidikan. Malang : UIN-MALIKI PRESS.
Muhaimin, JusufMudzakkir, Abdul Mujib, 2007, KawasandanWawasanStudi Islam, Jakarta:
Prenada Media
[1]Istighfarotur
Rahmaniyah, Pendidikan Etika, Konsep Jiwa
dan Etika Perspektif Ibnu Miskawaih dalam Kontribusinya di Bidang Pendidikan (Malang:
UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 105
[2]Muhaimin, JusufMudzakkir, Abdul Mujib, KawasandanWawasanStudi Islam (Jakarta: Prenada Media), hlm. 327
[3]IstighfaroturRahmaniyah, Op.Cit, hlm.107-108
[4]IstighfaroturRahmaniyah, Op.Cit,
hlm. 111-114
[5]stighfaroturRahmaniyah, Op.Cit, hlm. 147-168
No comments:
Post a Comment