MAKALAH
STUDY FIQIH
SUMBER-SUMBER DAN DALIL FIQIH
Dosen
Pembimbing:
Drs. H. Sudirman, M.Ag
Disusun
Oleh:
M.
Khoirul Fadeli NIM :
11110044
Asrori NIM : 11110041
Ahmad
Multazam NIM : 11110042
JURUSAN PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum islam merupakan istilah khas di Indonesia,sebagai terjemahan dari al-fiqh al-islamy atau dalam keadaan
konteks tertentu dari as-syariah al
islamy.Istilah ini dalam wacana ahli Hukum Barat disebut Islamic Law.Dalam Al-Qur’an dan
Sunnah,istilah al-hukm al-Islam tidak
ditemukan.Namun yang digunakan adalah kata syari’at islam,yang kemudian dalam
penjabarannya disebut istilah fiqih.Uraian diatas memberi asumsi bahwa hukum
dimaksud adalah hukum islam.Sebab,kajiannya dalam perspektif hukum islam,maka
yang dimaksudkan pula adalah hukum
syara’ yang bertalian dengan akidah dan akhlak.
Penyebutan hukum
islam sering dipakai sebagai terjemahan dari syari’at islam atau fiqh
islam.Apabila syari’at islam diterjemahkan sebagai hukum islam,maka berarti
syari’at islam yang dipahami dalam makna yang sempit.Pada dimensi lain
penyebutan hukum islam selalu dihubungkan dengan legalitas formal suatu
Negara,baik yang sudah terdapat dalam kitab-kitab fiqh maupun yang
belum.Menurut T.M,Hasbi Ashshiddiqy mendefinisikan hukum islam adalah koleksi
daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan
masyarakat.Dalam khazanah ilmu hukum islam di Indonesia,istilah hukum islam
dipahami sebagai penggabungan dua kata,hukum dan islam.Hukum adalah seperangkat
peraturan tentang tindak tanduk atau tingkah laku yang diakui oleh suatu Negara
atau masyarakat yang berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.Kemudian
kata hukum disandarkan kepada kata islam.Jadi,dapat dipahami bahwa hukum islam
adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul
tentang tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang
diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk agama islam.
1.2 Rumusan Masalah
Ø Apa pengetian hukum
Islam ?
Ø Apa macam-macam sember
hukum Islam ?
Ø Apa sebab disepakatinya
sumber hukum Islam ?
Ø Apa dan bagaimana
fungsi hukum Islam ?
1.3 Tujuan
- Menjelaskan pengertian, fungsi dan kedudukan al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’, qiyas, sebagai sumber hukum yang disepakati.
- Menjelaskan macam-macam sumber hukum Islam.
- Menjelaskan bagaimana sumber hukum Islam itu disepakati.
1.4 Batasan Masalah
1. Karena banyaknya
permasalahan-permasalahan yang timbul, maka makalah ini hanya akan membahas
mengenai sumber-sumber dalil fiqih
( Al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas ).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
dan Macam-Macam Sumber Hukum Islam
Pengertian sumber hukum ialah segala sesuatu
yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat
mengikat,yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang
tegas dan nyata.Sumber Hukum Islam ialah segala sesuatu yang dijadikan pedoman
atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist Nabi
Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar pendapat ulama ilmu fiqih
sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum islam adalah Al-Qur’an dan
Hadist.Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian yang erat berkaitan dengan
sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab, istislah, istihsun,
maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.
A. Al
Qur’an
Allah
Swt, memilih beberapa nama bagi wahyu-Nya, yang berbeda sekali dari bahasa yang
biasa digunakan masyarakat arab untuk penamaan sesuatu. Nama-nama itu
mengandung makna yang berbias dan memiliki akar kata.[1]
Diantara
beberapa nama itu yang paling terkenal ialah al Kitab dan al Qur’an. yang
merupakan kumpulan huruf-huruf dan menggambarkan ucapan (lafadz) adapun
penamaan wahyu itu dengan al Qur’an memberikan pengertian bahwa wahyu itu
tersimpan didalam dada manusia mengingat nama al Qur’an sendiri berasal dari
kata qira’ah (bacaan) dan didalam qira’ah terkandung makna : agar selalu
diingat,. Wahyu yang diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas itu telah ditulis
dengan sangat hati-hati agar terpelihara secara ketat, serta untuk mencegah
kemungkinan terjadinya manipulasi oleh orang-orang yang hendak menyalah artikan
atau usaha mereka yang hendak mengubahnya. Tidak seperti kitab kitab suci lain
dimana wahyu hanya terhimpun dalam bentuk tulisan saja atau hanya dalam hafalan
saja, tetapi penulisan wahyu yang satu ini didasarkan pada isnad yang mutawatir
(sumber-sumber yang tidak diragukan kebenarannya) dan isnad yang mutawatir itu
mencatatnya dengan jujur dan cermat.[2]
Secara
etimologis, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”,
yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti
mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al dlammu) huruf-huruf
serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur.[3]
Dikatakan
Al Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari
ilmupengetahuan. Allah berfirman :“ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah
mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu
telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya”. (al Qiyamah
[75]:17-18).
Qur’anan
dalam hal ini berarti juga qira’atahu (bacaannya/cara
membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tasrif, konjugasi) “fu’lan”
dengan vocal “u” seperti “gufran” dan “syukran”. Kita dapat
mengatakan qara’tuhu, qur’an, qira’atan wa qur’anan,
artinya sama saja yakni maqru’ (apa yang dibaca) atau nama Qur’an (bacaan).[4]
Ø Alasan Al-Qur’an dijadikan Sumber Hukum
Umat islam
sepakat bahwa al-quran merupakan sumber hukum islam yang utama. Al-qur’an
merupakan pedoman paling otoritatif bagi mumat islam, sehingga
hukum-hukumnya adalah undang-undang
yang harus diikuti dan di taati. kewajiban menjadikan al-quran sebagai sumber hukum islam ditegaskan olehb
allah SWT. dalam surat annisa’ ayat 59.
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya”.
kemudian
disebutkan dalam hadist : Ali bin Abi Thalib berkata: Aku dengar
Rasulullah SAW bersabda: “Nanti akan terjadi fitnah (kekacauan, bencana)”
Bagaimana jalan keluar dari fitnah dan kekacauan itu Hai Rasulullah?
Rasul menjawab: “Kitab Allah, di dalamnya terdapat berita tentang orang-orang
sebelum kamu, dan berita umat sesudah kamu (yang akan datang), merupakan hukum diantaramu,
demikian tegas, barang siapa yang meninggalkan al-Qur’an dengan sengaja Allah
akan membinasakannya, dan barang siapa yang mencari petunjuk pada selainnya
Allah akan menyesatkannya, Al-Qur’an adalah tali Allah yang sangat kuat, cahaya
Allah yang sangat jelas, peringatan yang sangat bijak, jalan yang lurus, dengan
al-Qur’an hawa nafsu tidak akan melenceng, dengannya lidah tidak akan bercampur
dengan yang salah, pendapat manusia tidak akan bercabang, dan ulama tidak akan
merasa puas dan kenyang dengan al-Qur’an, orang-orang bertaqwa tidak akan bosan
dengannya, al-Qur’an tidak akan usang sekalipun banyak diulang, keajaibannya
tidak akan habis, ketika jin mendengarnya mereke berkomentar ‘Sungguh kami
mendengarkan al-Qur’an yang menakjubkan, barang siapa yang mengetahui ilmunya
dia akan sampai dengan cepat ke tempat tujuan, barang siapa berbicara dengan
landasannya selalu benar, barang siapa berhukum dengannya hukumnya adil, barang
siapa yang mengamalkan al-Qur’an dia akan mendapatkan pahala, barang siapa yang
mengajak kepada al-Qur’an dia diberikan petunjuk ke jalan yang lurus” (HR
Tirmidzi dari Ali r.a.)[5]
B. As - Sunnah
Secara
terminologi, pengertian sunah bisa dilihat dari tiga disiplin ilmu.
1. Ilmu
Hadis, para ahli hadis mengidentikkan sunah dengan hadis, yaitu segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan,
maupun ketetapannya.
2. Ilmu Ushul Fiqh,
menurut ulama’ ahli Usul fiqh, sunah adalah segala sesuatu yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan
yang berkaitan dengan hukum.
3. Ilmu Fiqih, pengertian
sunah menurut ahli fiqih hampir sama dengan pengertian yang dikemukakan oleh
para ahli Usul Fiqh. Akan tetapi, istilah sunnah dalam fiqih juga
dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu
perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa
apabila ditinggalkan.[6]
Ø Alasan As Sunah dijadikan Sumber Hukum
Islam
Sunnah
adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah
Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber
hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan
sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber
hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat
Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran
Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara
lain sebagai berikut:[7]
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan janganlah kamu berpaling dari pada-Nya, sedang kamu mendengar
(perintah-perintah-Nya),”(
QS. Al-Anfal : 20 )
`¨B ÆìÏÜã tAqߧ9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøn=tæ $ZàÏÿym ÇÑÉÈ
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah
mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami
tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. ( QS. An Nisa’ : 80 )
“(Ketentuan) yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka
menentang Allah dan Rasul-Nya; dan Barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya,
Maka Sesungguhnya Allah Amat keras siksaan-Nya”. ( QS. Al-Anfal : 13 )
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. ( QS. An Nisa’ : 65 )
Alasan lain
mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan
oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu
perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan
di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi
sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan
dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara
haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut
hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci
justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran
dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal
(mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan
Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya
didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan
melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
C. Al Ijma’
Ijma’
menurut ulama Ushul Fiqih adalah kesepakatan semua mujtahid muslim pada suatu
masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Atas hukum syara’ mengenai suatu
kejadian.
Apabila
ada suatu peristiwa yang pada saat terjadinya diketahui oleh semua mujtahid
kemudian mereka sepakat memutuskan hukum atas peristiwa tersebut, maka
kesepakatan mereka mengenai peristiwa tersebut digunakan sebagai dalil bahwa
hukum itu adalah hukum syara’ atas suatu kejadian. Dalam definisi disebutkan “
setelah wafatnya Rasulullah ”, karena semasa hidupnya, beliau sendiri adalah
sebagai rujukan hukum syara’, sehingga tidak mungkin ada perbedaan hukum syara’
juga tidak ada kesepakatan. Karena kesepakatannya hanya bisa terwujud dari
beberapa orang.[8]
Ø Alasan Ijma’ dijadikan Sumber Hukum Islam
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”
( QS. An Nisa’ : 59 ).
Ayat ini
menjelaskan bahwasanya apa-apa yang telah mereka sepakati adalah benar.
kemudian Nabi muhammad saw bersabda yang artinya:
“Umatku tidak akan bersepakat diatas kesesatan”
Kami mengatakan : Ijma’ umat atas sesuatu bisa jadi benar dan bisa jadi
salah, jika benar maka ia adalah hujjah, dan jika salah maka bagaimana mungkin
umat yang merupakan umat yang paling mulia disisi Allah sejak zaman Nabinya
sampai hari kiamat bersepakat terhadap suatu perkara yang batil yang tidak
diridhoi oleh Allah? Ini merupakan suatu kemustahilan yang paling besar.[9]
D.
Pengertian Qiyas
Secara bahasa qiyas berarti
ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan
yang lain, misalnya yang berarti “saya mengukur baju dengan
hasta”.[10]
Pengertian qiyas secara
terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh,
sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama.
a.
Sadr al-Syari’ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan
bahwa qiyas adalah :
“Memberlakukan hukum asal kepada hukum
furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan
bahasa saja”.
Maksudnya, illat yang ada
pada satu nash sama dengan illat yang ada pada kasus yang
sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan illat ini,
maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan
oleh nash tersebut.
b.
Mayoritas ulama Syafi’iyyah[11] mendefinisikan qiyas dengan
:
“Membawa (hukum) yang (belum) di
ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi
keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.”
c.
DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan[12] :
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan
sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara
keduanya”.
Sekalipun terdapat
perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul
fiqih klasik dan kontemporer diatas tentang qiyas tetapi
mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah
menetapkan hukum dari awal (istinbath al-hukm wa insya’uhu) melainkan
hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-Kasyf wa al-Izhhar li al-Hukm)
yang apa pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya[13]. Penyingkapan dan
penjelasan ini di lakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari
suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illatnya sama
dengan illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum
terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nash
tersebut.
Misalnya, seorang mujtahid ingin
mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan
penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan,
seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan inilah yang
menjadi penyebab di haramkannya khamr. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat al-Maidah 5 : 90 – 91. Dengan demikian, mujtahid
tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan
hukum khamr, karena illat keduanya adalah sama.
Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada nash-nya
dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan hukum.
Adapun rukun qiyas itu
ada 4 :
· Ashl
· Far’u
· Illat
· Hukum ashl
Ø Alasan Qiyas dijadikan Sumber Hukum Islam
Qiyas
digunakan sebagai sumber dalil syar’i karena dalam qiyas yang menjadi
dasar pengambilan hukum adalah nash-nash syar’i yang memiliki kesamaan illat.
Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar keberadaan hukum adalah illatnya,
maka apabila ada kesamaan illat antara suatu masalah baru dengan masalah
yang sudah ada hukumnya, maka hukum masalah yang baru tersebut menjadi sama
Disamping itu ada beberapa hadits Rasulullah
yang mengisyaratkan penggunaan qiyas sebagai dalil syara’. Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas:
“Seorang wanita kepada Rasulullah dan berkata: ‘Ya
Rasulullah, Ibuku telah meninggal, sedang ia belum menunaikan puasa nadzar,
apakah aku harus menggantinya?’ Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Bagaimana jika
ibumu mempunyai hutang, sedang ia belum membayarnya, apakah kamu akan membayar
hutangnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka bersabda Rasulullah saw: ‘Maka puasalah
untuk (memenuhi) nadzar ibumu’.”
Dan Imam Daruquthny meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:
“Seorang
laki-laki datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa bapaknya meninggal,
sedangkan ia berkewajiban menunaikan ibadah haji. Dia bertanya: ‘Apakah aku
harus menghajikan bapakku?’ Maka Rasulullah berkata: ‘Bagaimana jika bapakmu
punya hutang, apakah kamu harus membayarnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka
Rasulullah berkata ‘Berhajilah untuknya’.”
Dalam dua hadits tersebut Rasulullah
mengumpamakan atau mensejajarkan persoalan nadzar, haji, dengan hutang, yang
sama-sama harus dipenuhi.[14]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
sumber hukum ialah
segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai kekuatan
yang bersifat mengikat,yaitu peraturan yang apabila dilanggar akan menimbulkan
sanksi yang tegas dan nyata.Sumber Hukum Islam ialah segala
sesuatu yang dijadikan pedoman atau yang menjadi sumber syari’at islam yaitu
Al-Qur’an dan Hadist Nabi Muhammad (Sunnah Rasulullah SAW).Sebagian besar
pendapat ulama ilmu fiqih sepakat bahwa pada prinsipnya sumber utama hukum
islam adalah Al-Qur’an dan Hadist.Disamping itu terdapat beberapa bidang kajian
yang erat berkaitan dengan sumber hukum islam yaitu : ijma’, ijtihad, istishab,
istislah, istihsun, maslahat mursalah, qiyas,ray’yu, dan ‘urf.
DAFTAR PUSTAKA
Subhi as shalih, Dr. “Mabahis fi Ulumil-Qur’an”, Darul- Ilm
Lil-Malayin, Beirut, Libanon.
Muhaimin, Drs, MA, “Dimensi-dimensi Studi Islam”, Karya Abditama,
Surabaya, 1994:86.
Manna’ Khalil al Qattan, “Mabahis fi Ulumil Qur’an”
Syafe’i Rahmat, Ilmu Usul Fiqih, Setia Bandung, 2010, Hal 60.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Amani, 2003, Hal 54.
Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad al-Syaukani, hlm. 173.
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasyfa fi Ilm
al-Ushul, (Beirut : Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah), hlm.54
Dari Internet :
[1] Subhi as shalih, Dr. “Mabahis fi Ulumil-Qur’an”, Darul- Ilm
Lil-Malayin, Beirut, Libanon.
[2] Ibid, Subhi as shalih, “Mabahis fi Ulumil-Qur’an”, hal.9
[3] Muhaimin, Drs, MA, “Dimensi-dimensi Studi Islam”, Karya Abditama,
Surabaya, 1994:86.
[4] Manna’ Khalil al Qattan, “Mabahis fi Ulumil Qur’an”
[6] Syafe’i Rahmat, Ilmu Usul Fiqih, Setia Bandung, 2010, Hal 60.
[11] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasyfa fi Ilm al-Ushul, (Beirut :
Dar al-Kutub al- Ilmiyyah), hlm.54
[14] http://teknologi.ee.itb.ac.id/node/74
No comments:
Post a Comment