Fiqih
Akad
Makalah
Ini Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas
Mata Kuliah
Studi
Fiqih
Dosen
Pengampu :
H. Misbahul Munir, Lc., M.Ei
Disusun Oleh :
Dzaqila Zuardi (10510117)
Sulastri (11510003)
Ahmad Za’imuddin Faruq (11510009)
Eliyana Sinta Bawafi (11510015)
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK
IBRAHIM
MALANG
Tahun 2013/2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat
Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta hidayahnya,
sehingga penyusunan tugas ini dapat diselesaikan. Tugas ini disusun untuk
diajukan sebagai tugas matakuliah Studi Fiqih dengan judul “Fiqih Akad”
tepat pada waktuya.
Dengan
segala kerendahan hati dan sejujurnya penulis akui bahwa tanpa bantuan dan
kerjasama yang baik dari berbagai pihak, sudah tentu makalah ini tidak akan
pernah selesai sebagaimana yang diharapkan. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
- H. Misbahul Munir, Lc., M.Ei selaku dosen pengampu pada mata kuliah Studi Fiqih.
- Teman-teman seperjuangan di jurusan Manajemen yang telah mendukung dengan sepenuh hati.
- Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu, namun jasa mereka akan senantiasa penulis ingat.
Seperti
juga tidak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan tugas ini, masih
banyak kesalahan yang terjadi. Oleh karena itu, penulis memohon kesediaan
pembaca untuk menyampaikan kritik dan saran yang positif demi perbaikan dimasa
yang akan datang.
Penyusun
Malang, Maret 2012
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
konteks masalah muamalah berkaitan dengan berbagai aktivitas kehidupan
sehari-hari. Cakupan hukum muamalat sangat luas dan bervariasi, baik yang
bersifat perorangan maupun yang bersifat umum, seperti perkawinan, kontrak atau
perikatan, hukum pidana, peradilan dan sebagainya. Pembahasan muamalah terutama
dalam masalah ekonomi tentunya akan sering kali ditemui sebuah perjanjian atau
akad.
Akad
merupakan peristiwa hukum antara dua pihak yang berisi ijab dan kabul, secara
sah menurut syara dan menimbulkan akibat hukum. Akad menjadi hal yang terpenting hal ini terkait
dengan boleh atau tidaknya sesuatu dilakukan di dalam islam.
Fiqih
akad serta ruang lingkup di dalamnya yang dipergunakan dalam kehidupan
sehari-hari terlebih berkembanganya ekonomi islam. Tentunya ini adalah hal yang
berbeda dan pastilah dalam akad itu ada beberapa penjabaran dan penjelasan
bagaiman akad itu seharusnya bisa dilakukan. Dalam makalah ini akan dibahas
pengklasifikasian dari berbagai akad yang
digunakan dalam kegiatan ekonomi atau muamalah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian akad ?
2. Apa saja pembentukan Akad ?
3. Bagaimana pengertian Tasharruf ?
4. Bagaimana pengertian Ilzam ?
5. Bagaimana Pengertian Wa’ad (janji) ?
6. Bagaimana perbedaan akad, tasharruf,
Ilzam, dan wa’ad (janji) ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui dan dapat menjabarkan
Pengertian Akad
2. Untuk mengetahui dan dapat menjabarkan
Pembentukan Akad
3. Untuk mengetahui dan dapat menjabarkan
Pengertian Tasharruf
4. Untuk mengetahui dan dapat menjabarkan
Pengertian Ilzam
5. Untuk mengetahui dan dapat menjabarkan
Pengertian Wa’ad (janji)
6.
Untuk
mengetahui dan dapat menjabarkan perbedaan akad, tasharruf, Ilzam, dan wa’ad
(janji)
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Akad
Perikatan dan perjajanjian dalam konteks fiqh
mu’amalah dapat disebut dengan akad. Kata akad berasal dari bahasa Arab
al-‘aqad bentuk jamaknya al-‘uqud yang mempunyai arti antara lain:
1. Mengikat (al-rabith), yaitu:
“mengumpulkan dua ujung tali dan mengikat salah
satunya dengan yang lain sehingga bersambung, kemudian keduanya menjadi
sepotong benda.”
2. Sambungan (al-‘aqd), yaitu:
“sambungan
yang memegang kedua ujung itu dan mengikatnya.”
3. Janji (al-‘ahd), sebagaimana yang dijelaskan Al-Qur’an
dalam surat Ali Imran 76:
“(bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati
janji (yang dibuat) nya
dan bertaqwa. Maka sesungguhnya Allah menyukai oarang-orang yang bertaqwa.”
1.2 Pembentukan Akad
1. Rukun Akad
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa rukun akad adalah ijab dan qabul. Adapun orang yang
mengadakan akad atau hal-hal lainnya yang menunjang terjadinya akad tidak
dikategorikan rukun sebab keberadaannya sudah pasti.
Ulama
selain Hanafiyah, berpendapat bahwa akad memilki tiga rukun, yaitu :
a.
Orang
yang akad (’aqid), contoh : penjual dan pembeli
b.
Sesuatu
yang diakadkan (maqud alaih), contoh : harga atau yang dihargakan
c.
Sighat,
yaitu ijab dan qabul.
Menurut,
pendapat Ulama selain Hanafiyah berpendapat behwa Ijab adalah pernyataan yang
keluar dari orang yang menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama
atau kedua. Sedangkan qabul adalah pernyataan dari orang yang menerima barang .
pendapat ini merupakan pengertian umudipahami orang bahwa ijab adalah ucapan dari
orang yang menyerahkan barang (penjual dalam jual-beli), sedangkan qabul adalah
pernyataan dari penerima barang.
2. Unsur-unsur Akad
Unsur-unsur
akad adalah sesuatu yang merupakan pembentukan adanya akad, yaitu :
a.
Sighad
akad
Sighad
akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang
menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal
itu dapat diketahui dengan ucapan perbuatan, isyarat, dan tulsan. Sighat
tersebut biasa disebut Ijab dan Qabul.
1.
Metode
(uslub) Sighat Ijab dan Qabul
Uslub-uslub
sighat dalam akad dapat diungkapkan dengan beberapa cara, yaitu berikut ini :
a. Akad dengan Lafzh (Ucapan)
Sighat dengan ucapan adalah sighat
akad yang paling banyak digunakan orang sebab palng mudah digunakan dan cepat
dipahami. Tentu saja, kedua belah pihak harus mengerti ucapan masing-masing
serta menunjukkan keridaannya.
1)
Isi
Lafazh
Sighat
akad dengan ucapan tidak diisyaratkan untuk menyebutkan barang yang dijadikan
objek-objek akad, baik dalam jual-beli, hibah, sewa-menyewa, dan lain-lain. Hal
itu disepakati oleh jmhur ulama, kecuali dalam pernikahan.
2)
Lafazh
shighat dan tata kerja dalam sighat
Para
ulama sepakat bahwa fi’il madi (kata kerja yang menujukkan waktu lewat) boleh digunakan dalam akad
karena merupakan kata kerja yang paling mendekati makhsud akal.
Mereka
pun sepakat memperbolehkan penggunaan fi’il mudhari (kata kerja yang
menunjukkan waktu sedang atau akan datang). Tenu saja, dalam hati harus
diiringi niat bahwa akad tersebut dilakukan ketika itu. Oleh karena itu, akan
dianggap tidak sah jika menggunakan fi’il mudhari yang ditujukan untuk masa
yang akan datang.
Selain
itu, mereka juga memperbolehkan penggunaan jumlah ismiyah (kalimat yang di
dalamnya terdiri atas isim atau kata benda, seperti mub’tada dan khabar) dalam
sighat akad.
Mengenai sighat akad dengan mengunakan
fi’il amar (kata kerja yang menunjukkan perintah) di antara para ulama terjadi
perbedaan pendapat.
Ulama Hanafiyah, tidak membolehkan akad
dengan fi’il amr, kecuali dalam pernikahan. Adapun jumhur ulama membolehkannya,
baik dalam jual bel atau hal-hal lainnya, sebab yang terpenting menurut mereka
adalah landasan pengucapannya, yaitu keridaan.
Adapun mengenai shighat akad dengan
kalimat tanya, semula ulama sepakat untuk tidak mrmbolehkannya.
b. Akad dengan Perbuatan
Dalam
akad, terkadang tidak digunakan ucapan, tetapi cukup dengan perbuatan yang
menunjukkan saling meridai, misalnya penjual memberikan barang dan pembeli
memberikan uang. Hal ini sangat umum terjadi di zaman sekarang.
c. Akad dengan Isyarat
Bagi
orang yang mampu berbicara, tidak dibenarkan dengan isyarat, melainkan harus
menggunakan lisan atau tulisan. Adapun bagi mereka yang tidak dapat berbicara,
boleh menggunakan isyarat, tetapi jika tulisannya bagus dianjurkan menggunakan
tulisan. Hal itu dibolehkan apabila ia sudah cacat sejak lahir. Jika tidak
sejak lahir, ia harus berusaha untuk tidak mengunakan isyarat.
d. Akad dengan Tulisan
Dibolehkan
akad dengan tulisan, baik bagi orang yang mampu berbicara atau tidak, dengan
syarat tulisan tersebut harus jelas, tampak, dan dapat dipahami oleh keduanya.
Sebab tulisan sebagaimana dalam qaidah fiqhiyah: (Tulisan bagaikan perintah).
Namun
demikian, dalam akad nikah tidak boleh menggunakan tulisan jika kedua orang
yang akad itu hadir. Hal ini karena akad harus dihadiri oleh saksi, yang harus
mendengar ucapan orang yang akad, kecuali bagi orang yang tidak dapat
berbicara.
Ulama
Syafi’iyah dan Hanabillah berpendapat bahwa akad dengan tulisan adalah jika dua
orang yang akad tidak hadir. Akan tetapi, jika yang akad itu hadir, tidak
dibolehkan memakai tulisan sebab tulisan tidak dibuthkan.
2.
Syarat-syarat
Ijab dan Qabul
a.
Syarat
terjadinya ijab dan qabul
Para ulama menetapkan tiga syarat
dalam ijab dan qabul, yaitu :
· Ijab dan qabul harus jelas makhsudnya
sehingga dipahami oleh pihak yang melangsungkan akad. Namun demikian, tidak
diisyaratkan menggunakan bentuk tertentu.
· Antara ijab dan qabul harus sesuai
· Antara ijab dan wabul harus bersambung
dan berada di tempat yang sama jika kedua pihak yang melangsungkan akad,
seperti kehadiran keduanya di tempat yang sama atau berada di tempat berbeda,
tetapi dimaklumi oleh keduanya.
b.
Tempat
akad
Tempat akad adalah tempat
bertransaksi antara dua pihak yang sedang akad. Dengan kata lain, bersatunya ucapan
di tempat yang sama.
Untuk meyakinkan bahwa ijab dan
qabul bersambung harus dipenuhi tiga syarat :
1.
Harus
ditempat yang sama. Namun demikian diperbolehkan, dibolehkan di tempat yang
berbeda, tetapi sudah dimaklumi oleh keduanya sehingga keduanya saling
memahami. Oleh karena itu, dibolehkan ijab jika qabul dengan telepon, surat,
dan lain-lain. Qabul tidak diisyaratkan harus belangsung dengan tujuan untuk
memberikan kesempatan berfikir kepada yang akad. Begitu pula diperbolehkan
mengucapkan ijab dan qabul sambil berjalan.
2.
tidak
boleh tampak adanya penolakan dari salah seorang yang akad dan juga tidka boleh
ada ucapan lain ynag memisahkan di antara perkataan akad.
3.
Ijab
tidak boleh diulangi atau dibatalkan sebelum ada jawaban qabul. Begitu pula
dianggap tidak sah jika ijab dan qabul diucapkan dalam waktu bersamaan.
c.
Akad
yang tidak memerlukan persambungan tempat
Telah
dijelaskan bahwa semua ijab dan qabul harus berada dalam satu tempat, baik
kedua pihak hadir dalam tempat yang sma atau berada pada tempat yang berbeda
tetap dimaklumi kedua belah pihak. Akan tetapi, ada tiga alasan akad yang tidak
memerlukan persyaratan tersebut, yaitu :
· Wasiat yang harus dilakukan setelah
orang yang berwasiat meninggal
· Penitipan keturunan keluarga dengan cara
berwasiat kepada orang lain untuk memelihara keturunannya setelah ia meninggal
· Perwakilan, seperti mewakilkan kepada
orang yang tidak ada di tempat yang mewakilkan
d. Pembatalan Ijab
Ijab
dianggap batal dalam hal-hal berikut :
· Pengucapan ijab menarik pernyataannya
sebelum qabul
· Adanya penolakan dari salah satu yang
akad
· Berakhirnya tempat akad, yakni kedua
belah pihak yang akad berpisah
· Pengucapan ijab tidak menguasai lagi
hidupnya, seperti meninggal, gila, dan lain-lain sebelum adanya qabul
· Rusaknya sesuatu yang sedang dijadikan
akad, sepertim butanya hewan yang akan dijual atau terkelupasnya kulit anggur,
dan lain-lain.
b. Al-aqad (Orang yang Akad)
Al-Aqid adalah orang yang melakukan
akad. Keberadaannya sanga penting sebab tidak dapat dikatakan akad jika tidak
ada aqid. Begitu pula jika tidak akan terjadi ijab dan qabul tanpa adanya aqid.
Secara umum, aqid diisyaratkan harus
ahli dan memiliki kemampuan untuk melakukam untuk ,elakukan akad atau mampu
menjadi pengganti orang lain jika ia menjdai wakil
Ulama malikiyah dan Hanafiyah
mensyaratkan aqid harus berakal, yakni sudah mumayyiz, anak yang agak besar
yang pembicaraannnya dan jawaban yang di lontarkannya dapat dipahami, serta
berumur minimal 7 tahun. Oleh karena itu, dipandang tidak sah suatu akad yang
dilakukam oleh anak kecil yang belum mumayyiz, orang gila, dan lain-lain.
Adapun ulama Syafi’iyah dan
Hanabillah mensyaratkan aqidharus baligh (terkena perintah syara’), berakal, telah
mampu memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian ulama Hanabillah,
membolehkan seorang anak kecil membeli barang yang sederhana dan tasharruf atau
seizin walinya.
Di antara akad yang dipandang sah
dilakukan oleh mumayyiz menurut pandang ulam ahanafiyah dan malikiyyah adalah :
· Tasharruf (aktivitas atas benda) yang
bermanfaat bagi dirinya secara murni, yakni suatu akad tentangkepemilikin
sesuatu yang tidak memerlukan qabul, seperti berburu, menerima hibah, dan
lain-lain.
· Tasharruf yang mengandung kemadaratan
secara murni yakni pengeluaran barang miliknya tanpa memerlukan qabul seperti hibah, memberikan
pinjaman, dan lain-lain.
· Tasharruf yang berada antara manfaat dan
madarat, yang akad berdampak kepada untung dan rugi. Tasharruf ini tidak dapat
dilakukan oleh anak-anak mumayyiz , tanpa seizin walinya.
Untuk lebih jelas tentang
persyaratan aqid, berikut ini akan dijelaskan secara rinci.
1.
Ahli
akad
Secara bahasa, ahli adalah suatu
kepantasan atau kelayakan. Sedangkan ahli menurut istilah adalah kepantasan
seseorang untuk menetapkan hak yang telah ditetapkan baginya dan pantas untuk
beraktifitas atas barang tersebut.
Ahli
akad terbagi dua, yaitu ahli wujud dan ahli ‘ada (pemenuhan atau pelaksanaan
kewajiban).
a.
Ahli
wajib
Yaitu kepantasan atau
kelayakan seseorang untuk menetapkan suatu kemestian yang yang harus menjadi
haknya, seperyi pantas menetapkan harga yang harus diganti oleh orang yang
telah nerusak barangnya atau menetapkan harga. Bagian ini memiliki 2 unsur :
·
Unsur Ijabi, yakni kepuasan untuk mengambil haknya,
seperti menagih utang, dan lain-lain.
·
Unsur
salabi, yakni kepantasan untuk memenuhi kewajiban, seperti membayar utang dan
lain-lain.
Ahli
wajib terbagi dua, yaitu :
1.
Ahli
wajib kurang
Ahli
wajib kurang yaitu keoantasan untuk menerima hak bagi dirinya saja. Golongan
ini adalah anak yang masih berada dalam kandungan ibunya. Ia dipandang kurang
dari dua segi, termasuk yang terbebas dari ibunya sebab akan terpisah dari
ibunya sesudah tepat waktunya. Oleh karena itu, ia hanya berhak atas sesuatu
yang tidak memerlukan qaul. Antara lain :
a)
Nasab
dari bapaknya
b)
Menerima waris
dan keluarganya
c)
Menerima
wasiat
d)
Menerima
bagian wakaf
Hanya
saja untuk a) dan b) diisyaratkan waktu lahir harus dalam keadaan hidup, jika
meniggal, kadua hak itu, maka diberikan kepada saudara-saudara yang lain.
2.
Ahli
wajib sempurna
Ahli wajib sempurna, yaitu
kepantasan seseorang untuk menerima hak dan memenuhi kewajibannya, yakni sejak
bayi lahir. Hak yang dapat dikerjakan oleh anak dalam tsharruf adalah berbagai
hak yang memungkinkan untuk diwakili oleh para walinya, seperti menerima hibah
atau sesuatu yang dibeli untuk dirinya. Adapun kewajiban yang harus dipenuhi
oleh seorang anak, baik yang berhubungan dengan haknya sebagai hamba maupun hak
yang berhubungan dengan Allah adalah :
1.
Mengganti
harta yang rusak
2.
Membayar
hasil bumi untuk negara
3.
Memenuhi
berbagai hal yang berhubungan dengan kemasyarakatan, seperti membayar zakat
fitrah.
b.
Ahli
‘ada
Ahli
‘ada adalah kelayakan seseorang untuk memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan
syarat seperti shalat, puasa, dan haji. Landasan dalam pemenuhan kewajiban ini
adalah mumayyiz, berakal, dan mengetahui. Dengan demikian, tidak termasuk
kepada ahli ‘ada, seperti orang gila, anak dalam kandungan, anak yang belum
mumayyiz, dan lain-lain.
Ahli
‘ada terbagi dua, yaitu :
1.
Ahli
‘ada kurang, yaitu kepantasan seseorang untuk memenuhi sebagian kewajiban dan
tidak pantas untuk memenuhi kewajiban lainnya. Ahli yang termasuk dalam
golongan ini adalah anak yang berusia 7 tahun-sampai usia baligh. Anak seperti
ini hanya disebut mumayyiz. Sedikit pun, dikategorikan sah ibadahnya, belum
terkena kewajiban, melainkan hanya diwajibkan untuk berlatih saja.
2. Ahli ada sempurna, yakni orang yang
telah mencapai usai baligh
Hal-hal
yang menghalangi ahli terbagi atas dua, yaitu :
a)
Halangan
yang bersifat samawi, yakni halangan yang ada di luar kemampuan manusia,
seperti gila, ketiduran, dan lain-lain.
b) Halangan yang diusahakan oleh manusia,
seperti mabuk, utang, dan lain-lain.
2.Al-wilayah
(kekuasaan)
Wilayah menurut bahasa adalah
penggunaan terhadap suatu urusan dan kemampuan menegakkannya. Menurut istilah
wilayah adalah kekuasaan seseorang berdasarkan syara’ yang menjadikannya mampu
untuk melakukan akad dan tasharruf.
Perbedaan antara ahli dan wilayah,
antara lain ahli adalah kepantasan seseorang untuk berhubungan dengan akad,
sedangkan al-wilayah adalah kepantasan seseorang untuk melaksanakan akad.
Berdasarkan keberadaan ahli dan
al-wilayah, akad memliki tiga keadaan :
· Jika yang berakad termasuk ahli yang
sempurna dan memilki al-wilayah akad tersebut sahih
· Jika yang berakad tidak termasuk ahli
yang sempurna dan tidak memiliki wilayah, akad tersebut dipandang batal,
seperti akad orang gila.
· Jika yang berakad termasuk ahli yang
semurna, tetapi tidak memiliki al-wilayah, akad tersebut dipandang al-fadhul
(didiamkan dan tidak memiliki hak). Contohnya seseorang yang akan malakukan
akad atas kepunyaan orang lain tanpa izin pemiliknya, atau orang yng menikah
tanpa seizin orang yang berhak menikahinya.
a. Pembagian al-wilayah terbagi atas dua
macam, yaitu :
1. Asli (as-aliyah) orang yang akad
memiliki kekuasaan berakad untuk dirinya. Orang ini diisyaratkan harus baligh,
berakal, dan normal
2. Pengganti (an-niyabah) seseorang
diberikan kekuasaan oleh orang lain atau menguruskan urusan orang lain.
Pengganti terbagi menjadi 2 :
a) Pilihan
b) Paksaan, penyerahan kekuasaan
berdasarkan ketentuan syarat tujuan untuk kemaslahtan seperti kekuasaan bapak,
kakaek, atau orang yang diberi wasiat untuk mengurus anak kecil.
c.
Mahal
aqad (Al-ma’qud Alaih)
Mahal akad (Al-ma’qud Alaih) adalah objek
akad atau benda-benda yang dijadikan akad dan bentuknya tampak dan membekas.
Barang tersebut dapat berbentuk harta benda, seperti barang dagangan, benda
bukan harta, seperti akad pernikahan dan dapat pula berbentuk suatu
kemanfaatan, seperti dalam upah-megupah dan lain-lain.
Fuqha
menetapkan 5 syarat dalam objek akad ini :
1.
Mahad
aqad ‘alaih (barang) harus ada ketika akad
Berdasarkan syarat ini,
barang yang tidak ada ketika akad tidak sah dijadikan objek akad, seperti
jual-beli sesuatu yang masih dalam tanah atau menjual anak kambing yang masih
dalam kandungaan.
2. Masqud ‘alaih harus masyru’ (sesuia
ketentuan syara’)
Ulama
fiqih sepakat bahwa barnag yang dijadikan akad harus sesuai dengan ketentuan
syara’. Oleh karena itu dipandang tidak sah, akad atas barang yang diharamkan
syara’ seperti bangkai, minuman keras, dll.
3. Dapat diberikan waktu akad
Disepakati
oleh ulama fiqih bahwa barang yang dijadikan akad harus dapat diserahkan ketika
akad. Dengan demikian. Ma’qud ‘alaih yang tidak diserahkan ketika ada akad,
seperti jual-beli burung di udara, harta
yang diwakafkan, dan lain-lain, tidak dipandang terjadi akal.
Akan tetapi dalam akad tabarru
(derma) menurut Imam Malik dibolehkan, seperti hibah atas barang yang kabur,
sebab pemberi telah berbuat kebaikan, sedangkan yang diberi tidak mengharuskan
untuk menggantinya, dengan sesuatu sehingga tidak terjadi percocokan.
4. Ma’qud alaih harus diketahui oleh kedua
belah pihak akad
Ulama
fiqih menetapkan bahwa ma’qud ‘alaih harus jelas diketahui oleh kedua belah
pihak akad. Larangan As-Sunnah sangat jelas dalam jual beli gharar (barang yang
samar yang mengandung penipuan), dan barang yang tidak diketahui oleh pihak
yang akad.
5. Ma’qud ‘alaih harus suci
Ulama
selain hanafiyah menerangkan bahwa ma’qud ‘alaih harus suci,tidak najis dan
mutanajis (terkena najis). Dengan kata lain, ma’qud ‘alaih yang dapat dijadikan
akad adala segala sesuatu yang suci yakni yang dapat dimanfaatkan menurut
syara’. Oleh karena itu anjng, bangkai, darah, dan lain-lain tidak boleh
diperjual-belikan.
d. Maudhu (tujuan) akad
Maudhu
akad adalah makhsud utama disyariatkan akad. Dalam syariat Islam, maudhu akad
ini harus benar dan sesuai dengan ketetuan syara’. Sebenarnya maudu’ akad
adalah sama meskipun berbeda-beda barang dan jenisnya. Pada akad jul-beli
misalnya, maudhu akal adalah perpindahan kepemilikan barang dari penjual dan
pembeli, sedangkan dalam sewa-menyewa adalah perpindahan dalam mengambil
manfaat disertai penggnti, dan lain-lain.
Maudhu
akad apda hakikatnya satu arti dengan makhsud asli akad dan hukum akad. Hanya
saja makhsud asli akad dipandang sebelum terwujudnya akad, hukum dipandang dari
segi stelah terjadinya akad atau akibat terjadinya akad, sedangkan maudhu akad
berada di anatra keduanya.
3. Syarat-syarat Akad
Berdasarkan
unsur akad yang telah dibahas diatas, ada beberapa macam syarat akad, yaitu
syarat terjadinya akad, syarat sah, syarat memberikan, dan syarat keharusan
(lujum).
1.
Syarat
terjadinya Akad
Syarat
tertjadinya akad adalah segala sesuatu yang diisyaratkan untuk terjadinya akal
secara syara’. Jika tidak memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal. Syarat
ini terbagi atas dua bagian :
a)
Umum,
yakni syarat-syarat
yang harus ada pada setiap akad
b)
Khusus,
yakni syarat-syarat yang harus ada pada sebgaian akad, dan tidak menisyaratkan
pada bagian lainnya.
2.
Syarat
sah akad
Syarat
sah akad adalah segala sesuatu yang diisyaratkan syara’ untk menjamin dampak
keabsahan akad. Jika tidak terpenuhi akad tersebut rusak.
Ada
kekhususan sayarat sah akad ada setiap akad. Ulama hanafiyah mensyaratkan
terhindarnya seseorang dari enam kecacatan dalam jual-beli, yaitu kebodohan,
oaksaan, pembatasan waktu, perkiraan, ada unsur kemudaratan, dan syarat-syarat
jual beli rusak (fasid).
3.
Syarat
pelaksanaan Akad
Dalam
pelaksanaan akad, ada dua syarta, yaitu kepemilikand an kekuasaan. kepemilikan
adalah segala sesuatu yang dilmiki oleh seseorang sehingga ia bebas
beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara’.
Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam bertasharruf sesuai dengan
jketeapan syara; baik secara asli yakni dilakukan oleh doirinya sendiri, maupun
sebagai penggantian (mejadi wakill seseorang).
Dalam
hal ini, diisyaratkan antara lain :
1.
Barang
yang dijadikan akad harus kepunyaan orang yang akad, bisa dijadikan, maka
sangat bergantung kepada izin pemiliknya yang asli
2.
Barang
yang dijadikan tidak berkaitan dengan kepemilikan orang lain.
4.
Syarat
kepastian Hukum (Luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Di
antara syarat luzum dalam jual beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar
jual-beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum tampak,
maka akad batal atau dikembalikan.
5. Dampak Akad
Setiap
akad dipastikan memiliki dua dampak, yaitu :
1.
Dampak
khusus
Dampak
khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan suatu akad atau
mkahsud utama dilaksanakannya suatu akad, seperti pemindahan kepemilikan dalam
jual beli, hibah, wakaf, upah, dan lain-lain.
2.
Dampak
Umum
Segala
sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad, baik dari segi hukum
maupun hasil.
6. Pembagian dan Sifat Akad
Akad
dibagimenjadi beberapa macam, ayng setiap macam sangat bergantung pada sudut
pandangnya. Di antara bagian akad yang terpenting adalah sebagai berikut :
1.
Berdasarkan
ketentuan Syara’
a.
Akad
Sahih
Akad
sahih adalah akad yang memenuhi unsur dan yang telah ditetapkan oleh syara’.
Dalam istilah Ulama Hanafiyah akad Shai adalaha akad yang emenuhi syariah asal
dan sifatnya.
b.
Akad
tidak Sahih
Akad
tidak shahi adalah akad yang tidak memenuhi unusur dan syarat. Dengan demikian,
akad ini tidak berdampak hukum atau tidak sah. Jumhur ulama selain Hanafiyah
menetapkan bahwa akad yang batil atau fasid termasuk golongan ini, sedangkan
Ulama Hanafiyah membedakan antara fasid dan batal
Menurut
Ulam Hanafiyah, akad batal adlah tidak memenuhi rukun atau tidak ada barang
yang diakadkan seperti akad yang dilakukan oleh slah seorang yang bukan
golongna ahli akad, seperti gila, dan lain-lain. Adapun akad afasid adalah akad
yang memenuhi persyaratan dan rukun, tetapi dilarang syara’ seperti menjual
barang yang tidak diketahui sehingga dapat menimbulakan percekcokan.
2.
Berdasarkan
Penamaannya
a.
Akad
yang telah dinamai syara’, seperti jual beli, hibah, gadai, dan lain-lain.
b.
Akad
yang belum dinamai syara; tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.
3.
Berdasarkan
Makhsud dan Tujuan Akad
a.
Kepemilikan
b.
Menghilangkan
kepemilikan
c.
Kemutlakan,
yaitu seseorang mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya
d.
Perikatan,
yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktivitas, seperti orang gila
e.
Penjagaan
4.
Berdasarkan
Zatnya
a.
Benda
yang berwujud (al-ain)
b.
Benda
yang tidak berwujud (ghair al-ain)
Sedangkan
sifat-sifat akad memiliki keadaan dua umum
1.
Akad
Tanpa syarat (Akad Munjiz)
Akad
munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang, tanpa memberi batasan denga suatu
kaidah atau tanapa menetapkan suatu syarat. Akad seperti ini dihargai syara’
sehingga menimbulkan dampak hukum. Contoh, seseorang berkata, “saya membeli
rumah kepadamu lalu dikabulkan oleh seorang lagi. Maka berwujudlah akad, serta
berakibat pada hukum waktu itu juga, yakni pembeli memilki rumah dan penjual
memiliki uang.”
2.
Akad
bersyarat (akad ghair Munjiz)
Akad
ghair munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang dan dikaitkan dengan sesuatu,
yakni apabila syarat atau kaitan itu tidak ada akad pun tidak jadi, baik
dikaitkan dengan wujud sesuatu tersebut atau ditangguhkan pelaksanaanya.
Contohnya
seorang berkata “saja jual mobil ini dengan harga Rp. 40.000.000,- jika
disetujui oleh atasan saya.” Atau berkata, “saya jual mobil ini dengan syarat
saya boleh memakainya selam sebulan, sesudah itu saya serahkan kepadamu.”
Akad
ghair munjiz ada tiga macam :
a.
Ta’liq
syarat
Ta’liq
syarat adalah lawan dari tanjiz, yaitu :
ربط
حصول امر بحصول امر اخر.
Artinya:
“menautkan
hasil sesuatu urusan dengan urusan yang lain”
Yakni terjadinya suatu akad
bergantung pada urusan lain. Jika urusan lain tidka terjadi atau tidaka da,
akad pun tidak ada, seeperti perkataan seorang, “jika orang yang berutang
kepada Anda sya pergi, saya menajmin utangnya”.
Orang
yang akan menanggung utang (kalfi) meyangkutkan kesanggupannyanua untuk
melunasi utang pada perginya orang yang berutang tersebut.
Ta’liq
syarat ini memerlukan dua ungkapan. Ungkapan pertama mengharuskan adanya
syarat, seperti dengan kata jika dan kalu, yang dinamkan dengan ungkapan
syarat. Adapun ungkapan kedua dinamakan ungkapan jaza (balazan).
Dua
ungkapan ini boleh didahulukan yang mana saja.
b.
Taqyid
syarat
Pengertian
taqyid syarat adalah:
“pemenuhan hukum dalam tasharruf ucapan yang
sebenarnya tidak menjadi lazim (wajib) tasharruf dalam keadaan mutlak.” Yaitu
syarat pada suatu akad dan tasharruf yang hanya berupa ucapan saja sebab pada
hakiktnya tidak ada atau tdiak mesri dilakukan.
Contoh
taqyid syara’ seperti orang yang
menjuual barang dengan syarat ongkos pengangkutannya ditanggung pejual. Penjual
mengaku atau berjanji memenuhi persyaratan etrsebut, yaitu memiliki ongkos.
Sebenarnya iltijam tersebut tidak bersyarat karena akad yang mutlak tidak
mengharuskan ongkos angkutan itu dipikul oleh si penjual.
c.
Syaraf
Idhafah
Maknanya
menyandarkan kepada suatu masa yang akad datang.”
Seperti
dikatakan, “saya menjadikan Anda sebagai wakil saya mulai awal tahun depan.”
Ini contoh syarat yang di-idhafahkan ke masa yang akan datang.”
Zaman
mutaqbal ini ada kalanya madhudh dapat dirasakan sendiri dari akad, seperti
pada wasiat. Wasiat memberi pengertian bahwa wasiat itu berlaku sesudah yang
berwasiat wafat.
Adapun
tabarru’ (derma) munjiz yang berlangsung berlaku ialah seperti hibah dan
sedekah.
2.3 Pengertian Tasharruf
Tasaharruf
menurut fiqih, ialah :
“segala sesuatu yang
dilakukan dari seorang dengan iradatnya (kehendaknya), dan syara’ menetapkan
kepada orang tersebut beberapa natijah hak”.
Tasharruf terbagi dua, yaitu:
a.
Tasharruf
fi’li ialah usaha yang dilakukan mausia dengan tenaga dan badannya, selain
lidah.
b.
Tasharruf
qauli ialah tasharruf yang keluar dari lidah manusia.
Tasharruf qauli ada dua
macam :
1. ‘Aqdy
“sesuatu
yang berdasar persetujuan dua pihak yang mengikat keduanya ”
Seperti jual beli,
ijarah (sewa-menyewa) syirkah (perkongsian).
2. Ghairu ‘Aqdy
Ada 2 macam pula :
a) “merupakan pernyataan mengadakan suatu
hak atau menggugurkan suatu hak, seperti wakaf, talak, ‘itq (memerdekan
budak)”. Macam ini, kadang dinamakan juga akad oleh segolonganm fuqaha.
b) “tidak menyatakan sesuatu kehendak,
tetapi dia menibulkan tuntutan-tuntutan hak”.
Umpamanya
: gugatan, iqrar, sumpah untuk menolak gugatan. Ini semuanya merupakan
pernyataan-pernyataan yang ada efeknya.
2.4 Pengertian Ilzam
Ilzam
dalam istilah ahli fiqih (istilah nadhzariyatul aqli) dipakai untuk dua arti :
Pertama
: akad yang menimbulkan iltizam bagi aqid (aqad mulzim)
Kedua
: tidak mungkin lagi si aqid mencabut akadnya
dengan kehendak sendiri.
Dikatakan
akad mulzim adalah karena salah satu pihak membatalkan akad yang telah
dilakukan itu, kecuali dengan persetujuan pihak lain. Sebagaimana tidak terjadi
suatu akad perikatan melainkan dengan persetujuan kedua belah pihak, begitu
juga tidak boleh dipaksakan sesuatu, mealinkan dengan persetujuan kedua belah
pihak pula.
Ilzam
sendiri adalah pengaruh yang umum bagi segala akad, tanpa kecuali. Setiap akad yang
shahih menimbulkan iltizam (ewajiban tertentu atas salah seorang aqid atau
salah satu pihak ataupun objek masing-masing dan syarat-syarat yang disepakati
untuk berakad dalam batas bekasan (atsar) dari akad yang ilzam (tak dapat dibatalkan
oleh pihak-pihak).
2.5 Pengertian Wa’ad (Janji)
Wa’ad
adalah janji antara satu pihak kepada pihak lainnya, pihak yang diberi janji
tidak memikul kewajiban apa-apa terhadap pihak lainnya atau Keinginan
yang dibahasakan seseorang untuk bertanggung jawab akan sesuatu dalam rangka
memberikan keuntungan bagi pihak lain Dalam Wa’ad
bentuk dan kondisinya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik. Bila pihak
yang berjanji tidak dapat memenuhi janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih
merupakan sanksi moral. Hal ini berbeda dengan akad yang mengikat kedua belah
pihak yang saling bersepakat yaitu pihak-pihak terikat untuk melaksanakan
kewajiban mereka masing-masing yang telah disepakati terlebih dahulu.
Dalam wa’ad,
terms and condition nya belum ditetapkan secara rinci dan spesifik
(belum well defined). Bila pihak yang berjanji tidak dapat memenuhi
janjinya, maka sanksi yang diterimanya lebih merupakan sanksi moral. Dilain
pihak, akad mengikat kedua belah pihak yang saling bersepakat yakni
masing-masing pihak terikat untuk melaksanakan kewajiban mereka masing-masing
yang telah disepakati terlebih dahulu.
Dalam akad,
terms and condition sudah ditetapkan secara rinci dan spesifik (sudah well
defined). Bila salah satu atau kedua belah pihak yang terikat dalam kontrak
itu sudah tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka ia/mereka menerima sanksi
seperti yang disepakati dalam akad.
2.6 Perbedaan akad, tasharruf, Ilzam, dan
wa’ad (janji)
No
|
Nama
|
Pengertian
|
Persamaan
|
Perbedaan
|
Sumber
|
|
1.
|
Akad
|
Suatu hubungan hukum antara dua belah pihak atau
lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
|
Menyebabkan timbulnya hak untuk tuntut menuntuk
antara kedua belah pihak.
|
Sebagai sebab timbulnya Iltizam. Berbentuk
pernyataan- pernyataan.
|
Ijab dan Kabul
|
|
2.
|
Tasharruf
|
Semua bentuk hubungan interpersonal yang mengandung
unsure ijab dan Kabul.
|
|
|
Ittifaaq
|
|
3.
|
Ilzam
|
pengaruh yang umum bagi segala akad, tanpa
kecuali. Setiap akad yang shahih menimbulkan iltizam (kewajiban tertentu atas
salah seorang aqid atau salah satu pihak ataupun objek masing-masing dan
syarat-syarat yang disepakati untuk berakad dalam batas bekasan (atsar) dari
akad yang ilzam (tak dapat dibatlkan oleh pihak-pihak).
|
|
Setiap akad yang shahih menimbulkan iltizam
(kewajiban)
|
|
|
4.
|
Wa’ad (janji)
|
Keinginan yang dibahasakan seseorang untuk
bertanggung jawab akan sesuatu dalam rangka memberikan keuntungan bagi pihak
lain
|
|
|
|
|
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Dalam
pembahasan fiqih muamalah ada istilah akad yaitu Segala
sesuatu yang dikerjaka oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti
wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan
keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.
Akad
dikatakan sah apabila telah memenuhi ketentuan pembentukan akad yaitu rukun dan
syarat akad.
Diantara akad, tasharruf, ilzan dan wa’ad
terdapat perbedaan yaitu:
Akad:
Sebagai
sebab timbulnya Iltizam. Berbentuk pernyataan- pernyataan
Tasharruf:
Semua bentuk
hubungan interpersonal yang mengandung unsure ijab dan Kabul. Sedangkan Ilzam
: Setiap akad yang shahih menimbulkan iltizam (kewajiban). Sedangkan Wa’ad :
1.
Janji (Promise)
antara satu pihak dengan pihak lainnya (hanya mengikat satu pihak)
2.
Pihak yg
diberi janji tidak memikul kewajiban apapun kepada pihak pemberi janji
3.
Terms and conditionnya tidak well defined atau
4.
Belum ada
kewajiban yang ditunaikan oleh pihak manapun, walaupun terms dan conditionsnya
sudah well defined
5.
Bila janji
tidak terpenuhi maka sanksi yang
diterima adalah sanksi moral
DAFTAR
PUSTAKA
Syafei. Rachmat. 2001. Fiqih
Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia.
Ash Shiddieqi. 2001. Pengantar
Fikih Muamalah. Semarang: PT Pustaka Rizqi Putra.
Azhar Basyir Ahmad.
2000. Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam). Yogyakarta: UII
Press.
No comments:
Post a Comment