KONSEP
MANUSIA DAN HARAPAN
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Ilmu Budaya Dasar
Hambali,
M.Ag
Subhan murtado
Ahmad fuad aufaz
Phaoshe hemboe
FAKULTAS
TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2011
BAB
I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Harapan
berasal dari kata harap yaitu keinginan supaya sesuatu terjadi atau suatu yang
belum terwujud. Kata orang manusia tanpa harapan adalah manusia yang mati
sebelum waktu-nya. Bisa jadi, karena harapan adalah sesuatu yang hendak kita
raih dan terpampang dimuka. Hampir sama dengan visi walau dalam spektrum
sederhana, harapan merupakan cita-cita yang kita buat sebagai sesuatu yang
hendak kita raih. Jadi hidup tanpa harapan adalah hidup tanpa visi dan tujuan.
Maka bila manusia yang hidup tanpa
harapan pada hakekatnya dia sudah mati. Harapan bukanlah sesuatu yang terucap
dimulut saja tetapi juga berangkat dari usaha. Dia adalah ke-cenderungan batin
untuk membuat sebuah rencana aksi, peristiwa, atau sesuatu menjadi lebih bagus.
Sederhananya, harapan membuat kita berpikir untuk melakukan sesuatu yang lebih
baik dan untuk meraih sesuatu yang lebih baik.
Harapan dan rasa optimis juga
memberikan kita kekuatan untuk melawan setiap hambatan. Seolah kita selalu
mendapatkan jalam keluar untuk setiap masalah. Seolah kita punya kekuatan yang
lebih untuk siap menghadapi resiko. Ini kita sebut sebagai perlawanan. Orang
yang hidup tanpa optimisme dan cenderung pasrah pada realita maka dia cenderung
untuk bersikap pasif, Oleh karena itu dalam makalah ini kita dapat mengetahui
lebih dalam tentang manusia dan harapan
II.
Rumusan Masalah
a.
Pangertian harapan
b.
Harapan sebuah fenomena nasional
c.
Kepercayaan
d.
Manusia dan harapan
III.
Tujuan Penulisan
a.
Mengetahui dan memahami makna harapan
b.
Menetahui harapan merupakan fenomena nasional
c.
Mengetahui dan memahami makna kepercayaan
d.
Mengetahui hubungan manusia dan harapan
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian harapan
Menurut arti katanya
“harapan” artinya keinginan supaya sesuatu itu menjadi kenyataan atau sersuatu itu menjadi kenyataan atau tercapai.
Kata “keinginan” menunjuk pada cita-cita manusia
yang realistis agar sesuatu itu menjadi kenyataan.
Dalam kata keinginan itu terdapat doa untuk sesuatu
yang masih akan datang agar terkabul ,atau tercapai, atau menjadi kenyataan.
Kata “sesuatu” menunjuk pada kebutuhan hidup
yang terdiri dari kebutuhan ekonomi,
kebutuhan biologis, dan kebutuhan rohani.
Agar keinginan itu tercapai atau menjadi kenyataan,
perlu ada usaha
yang diukur dengan kemampuan yang meyakinkan. Usaha itu sudah dirintis atau dijalankan,
tetapi belum tentu berhasil karena masih ada kekuasaan yang menentukan, yaitu tuhan yang mahakuasa[1].
Dalam konsep harapan dapat diinventarisasi beberapa unsur,
yaitu:
a)
Keinginan, yaitu cita-cita manusia
yang realistis.
b)
Kebutuhan hidup, yaitu segala keperluan manusia untuk dapat bertahan hidup.
c)
Dapat menjadi kenyataan,
yaitu mungkin tecapai,
terkabul, atau terpenuhi atas karunia tuhan yang mahakuasa.
d)
Usaha, yaitu kegiatan mewujudkan kebutuhan hidup,
sudah dirintis atau dijalankan.
e)
Kemamapuan,
yaitu kesanggupan fisik dan intelektual.
Apabila dirumuskan kembali berdasarkan unsur-unsur tersebut akan diperoleh konsep harapan yang lebih jelas terarah dan ralistis berupa cita-cita
yang bukan angan-angan belaka.
Tentu setiap manusia memiliki harapan didalam menjalani
kehidupan, karena saya seorang mahasiswa, maka saya mengambil contoh: saya
berharap mendapatkan nilai yang bagus di dalam senua mata kuliah yang saya
ambil, itu harapan saya dalam jangka pendek. Tetapi jika di runtut lebih dalam lagi
pastinya saya akan berharap menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara,
kelak harapan jangka panjang[3].
Menurut
kodratnya dalam diri manusia terdapat 2 dorongan,yaitu dorongan kodrat serta dorongan
kebutuhan hidup. Terkait dengan kebutuhan manusia tersebut , abraham maslow
mengkategorikan kebutuhan manusia menjadi 5 macam atau disebut juga 5 harapan
manusia, yaitu;
1.
Harapan untuk memperoleh kelangsungan hidup.
2.
Harapan untuk memperoleh keaamanan.
3.
Hak untuk mencintai dan di cintai.
4.
Harapan diterima lingkungan.
5.
Harapan memperoleh cita-cita[4].
Contoh;
Budi seorang
mahasiswa universitas terbuka,ia belajar dengan rajin dengan harapan agar
nantinya sewaktu ujian semester ia memperoleh nilai A.
2.
Harapan
sebagai fenomena nasional
Harapan adalah suatu keinginan yang
mungkin tercapai dengan usaha yang sudah dimulai (sudah dirintis) karena telah
didukung oleh kemampuan. Keinginan disini sudah lebih realistis dari cita-cita.
Apabila cita-cita masih dalam pikiran, harapan sudah diwujudkan /dimulai dengan
usaha yang dirintis. Usaha ini didukung oleh kemampuan, sehingga kemungkinan
berhasil lebih realitas dan mendekati kenyataan.
Artinya harapan ialah sesuatu yang
wajar berkembang pada diri manusia dimana pun berada. Mengutip pandangan A.F.C.
Wallace dalam bukunya culture and personality, mas abhoe dhari menegaskan bahwa
kebutuhan merupakan salah satu isi pokok dari unsur kepribadian yang merupakan
sasaran dari kehendak, harapan, keinginan, serta emosi seseorang. Kebutuhan
individu dapat dijabarkan lebih lanjut menjadi:
a)
Kebutuhan
organik individu.
·
Kebutuhan
individu bernilai positif.
·
Kebutuhan
individu bernilai negatif.
b)
Kebutuhan
psikologi individu.
·
Kebutuhan
psikologi individu bersifat positif[5].
3.
Kepercayaan
Kepercayaan berasal dari kata percaya,artinya mengakui atau meyakini
akan sesuatu kebenaran. Kepercayaan ialah hal-hal yang berhubungan dengan
pengakuan atau keyakinan akan kebenaran. Kebenaran menurut Peodjawiyatna adalah
merupakan cita – cita orang yang tahu, dalam hal ini kebenaran merupakan
kebenaran logis, sehingga manusia selalu memilih sebelum melakukan tindakan
apakah tindakan ini salah atau benar menurut keyakinannya.
Dalam bidang logika kebenaran ialah persesuaian antara tahu dan objek
yang diketahui (kebenaran logis). kebenaran logis disebut juga kebenaran
objektif dan kebenaran etis juga disebut kebenaran subjektif. Jika tidak ada
persesuaian antara putusan dan objeknya yang diketahui, maka terdapat dua
kemungkinan, yaitu:
1.
orang yang
mengutarakan putusan keliru
2.
orang yang
mengutarakan putusan sengaja mengutarakan tidak sesuai dengan realita yang
diketahuinya[6].
Dasar kepercayaan ialah kebenaran dan sumber kebenaran adalah manusia,
oleh karena itu keepercayaan dibedakan atas:
1.
kepercayaan
pada diri sendiri, yaitu kepercayaan yang harus ditanamkan pada setiap pribadi
manusia. hakikatnya kepercayaan kepada tuhan Yang Maha Esa.
2.
Kepercayaan
pada orang lain, yaitu percaya pada kata hatinya yang berbentuk pada perbuatan
kebenaran kepada orang lain. Misalnya pada saudara, teman, orang tua atau siapa
saja.
3.
Kepercayaan
pada pemerintah.
4.
kepercayaan
kepada tuhan, yaitu meyakini bahwa manusia diciptakan oleh tuhan dan manusia
harus bertakwa pada tuhannya. Salah satu cara bertakwa adalah mengukuhkan
imannya bahwa tuhan merupakan zat yang merupakan kebenaran mutlak[7].
Kepercayaan bukan hanya wujud rasa takut, namun kepercayaan adalah juga
ketidak-tahuan. Bila orang terjerat dalam kepercayaan, maka dia terjerat dalam
ketakutan dan sekaligus terjerat oleh KETIDAK-TAHUAN (avidya). Bila kita menghayati SANATANA DHARMA (eternal cosmic law), kitapun
melihat hidup ini seperti matematika. Seumpama kita masuk ruang ujian
matematika; kita akan merasa takut apabila tak paham 2×2=2+2. Dan kita akan
mempercayai siapapun yang memberi kita jawaban; apakah jawaban itu benar
ataupun salah. Hanya orang-orang dungulah yang terjerat dalam percaya dan tidak
percaya.
Apabila orang sungguh paham 2×2=2+2, diapun telah melihat jawabannya, maka
tiadalah berguna untuk mempercayai apapun, siapapun. Perlukah orang percaya
bahwa dirinya hidup? Hanya orang yang tidak memahami dirinya, merasa perlu percaya
bahwa dia hidup dan akhirnya TERJERAT dalam KEPERCAYAAN. Bila orang
sungguh-sungguh paham, termasuk segala masalah yang terjadi dalam DIRINYA,
dalam kehidupan ini; maka dia berhenti mempercayai apapun; termasuk omongan
para pakar, para pemimpin, para kiyai, para guru
dan tuhan sekalipun. Karena dia melihat apa adanya/senyatanya. Ini bagaikan melihat sekuntum bunga dihalaman rumah kita. demikianlah adanya, kita tak perlu berdebat, mempercayai bahwa itu adalah
bunga atau itu adalah buah. Dan kita tidak mesti takut bahwa bunga itu akan murka bila kita tidak
mempercayainya, bila kita tidak memuja dan, bersujud kepadanya.
Bagaimana kepercayaan ini bermula dalam diri manusia? Cobalah kita amati;
kenapa ada kepercayaan dalam diri kita, kenapa
kita percaya? Kenapa kita percaya TUHAN, atau apapun kita menyebutnya? Tanyakan pertanyaan ini dengan sungguh kepada
diri kita. Ketika pertama kali kita hadir di Bumi ini, diri kita
dalam keadaan kosong, murni,
tak ada kepercayaan apapun. Secara bertahap, ketika kita bertumbuh, otak kita
mulai diisi, dicekoki oleh segala macam pengaruh dari lingkungan dimana kita
hidup. Bila kita tumbuh dalam keluarga muslim, maka otak kita dibeban-pengaruhi
oleh segala doktrin dan tradisi islam. Demikianlah keterkondisian otak kita
berbeda-beda sesuai dengan beban-pengaruh lingkungan dimana kita dilahirkan.
Inilah awal terbentuknya kepercayaan kita, yang merupakan bagian melekat dari
si Ego. Semakin kuat kita mempercayai, semakin terjerat kita disana, dan batin
kita semakin tertutup, dengan demikian kita tak’an dapat terbuka bagi ruang
kehidupan yang maha luas yang tak terbatas ini. Dapatkah kita melihat hal ini?
Bukankah ini adalah fakta kehidupan, yang terjadi pada diri kita.
Dalam proses penerimaan kepercayaan ini,
tanpa disadari terbentuklah jaring-jaring rasa tersamar yang halus, rumit dan
alot yang menjadikan permasalahan hidup bertambah komplek. Maka hal ini menjadi
bertambah sulit dipahami, dan kebanyakan dari kita semakin terjerat dan
berakhir disini. Permasalahan hidup yang komplek ini bagaikan benang kusut, manusia berkubang, terjerat dan berputar-putar terus
didalam kepercayaan, harapan, dan ketakutannya.
Marilah kita amati secara perlahan dan seksama. Ambilah suatu contoh; aku
hidup dalam kepercayaanku Hindu. Dalam perjalanan hidupku, aku terjerat dalam
banyak bentuk kesenangan. Untuk memuaskan diri dalam kesenangan-kesenangan ini,
aku mestilah banyak uang. Karena dengan uang aku akan dapat membeli banyak
sekali kenikmatan. Semakin aku memuaskan keinginanku, semakin bergeloralah
nafsuku, demikianlah aku menjadi sangat serakah. Dan untuk memperoleh banyak
uang, aku mau tak mau akan berbuat apapun, termasuk mencuri, korupsi dan
sebagainya. Untuk dapat mempertahankan dan meraih lebih banyak kenikmatan yang
telah kulekati, maka akupun berdoa, memohon kepada dewa-dewaku, agar aku diberi lebih banyak rejeki dan lebih banyak
kesehatan. Karena hanya dengan kesehatan dan uang yang banyaklah aku akan dapat
meraup dan merengguk lebih banyak kenikmatan.
Bila suatu saat aku gagal dalam meraih apapun; atau ada berita bahwa akan
terjadi musibah, bencana tsunami; atau kesehatan diriku terganggu, maka aku
merasa cemas dan takut. Dari ketakutan diriku, aku pun lebih banyak berdoa dan
memohon kepada dewa-dewaku dengan penuh harap dan juga rasa cemas kalau
harapanku tak menjadi kenyataan. Demikianlah kepercayaanKu semakin kuat, atas
dorongan dari harapanku yang selalu merasa takut kehilangan kenikmatan,
kesehatan dan rejeki. Semua proses ini terjadi dalam ruang batinku yang dipicu
oleh diri atau pikiranku yang
menginginkan, yang penuh ambisi, penuh harapan, dan sekaligus ketakutan.
Hal inilah yang terus-menerus beroperasi dalam diriku. Aku akan puas dan
bangga bila aku berhasil, dan merasa kecewa bila aku gagal. Diantara rasa puas
dan kecewa ini selalu ada harapan dan ketakutan. Dari harapan dan ketakutan ini
aku berdoa dan memohon kepada tuhan, dewa
khayalanku, dan ini memperkuat kepercayaanKu. Inilah hal yang
mesti aku pahami. Untuk melihat hal ini lebih jelas, aku mestilah diam dan mengamati secara seksama. Bila aku
dapat melihat dengan detail, keseluruhan dari keterkondisian diriku, maka aku pastilah paham dengan sumber
penderitaanKu yaitu ketakutan dalam diriku. Namun pada umumnya orang merasa
takut melihat atau menghadapi rasa takut itu; dan berpaling sehingga dia tak
dapat memahami rasa takutnya.
Bila kita berpaling, untuk sementara rasa takut itu sepertinya menghilang.
Kita berpaling dengan bermacam-macam cara; lewat doa, lewat kepercayaan, lewat
hiburan, lewat konsep, lewat suatu metode, lewat suatu latihan, lewat tradisi,
lewat buku-buku, lewat guru-guru dan lain sebagainya. Demikianlah kita dapat
melupakan atau berpaling untuk sementara dari ketakutan ataupun masalah-masalah
diri kita yang lainnya. Dapatkah kita melihat dengan jujur, bahwa inilah
kondisi diri kita umumnya. Inilah trik-trik yang selama ini kita lakukan untuk
menanggulangan segala permasalahan hidup kita. Dan cara-cara ini sama sekali
tak dapat menyelesaikan masalah-masalah hidup kita.
Cobalah renungkan dan amati..! Dapatkah kita menghadapi masalah diri kita secara langsung? Menghadapi
ketakutan dan segala ikhwal yang terkait, tanpa berpaling lewat trik-trik
pikiran kita yang cerdik dan licik ini? Hadapilah diri ini seutuhnya,
senyatanya, sejujurnya. Maka kita akan melihatnya. Disitu ada harapan, ketakutan dan kepercayaan
yang mencakup keseluruhan permasalahan hidup kita. Bila kita tak menghindar,
tak berpaling, barangkali rasa takut yang menggiris itu semakin
mencekik. Hadapilah.! Jangan menghindar.! Jangan sekali-kali berpaling.! Jangan
menolak ataupun menerima.! Jangan
berkomentar apapun.! Hadapilah, tataplah, dan pandanglah, itulah
adanya diri kita. Ketika kita menghadapi diri kita dengan seluruh diri kita, yaitu
dengan seluruh pikiran, kemauan, semangat, rasa, dan hati-nurani kita, disitu
ada akumulasi energi yang membakar habis semua rasa takut. Disini hadir
PEMAHAMAN total. Dalam pemahaman total ada kebebasan. Dan orang tidak akan
pernah terjerat dalam kepercayaan maupun ketidakpercayaan. Bebas dari rasa
takut maupun berani. Dalam batin seperti ini ada keheningan dari kejernihan
pemahaman[8].
4. Manusia
dan harapan
Manusia
merupakan makhluk tuhan yang paling sempurna, karena tuhan menciptakan manusia
disertai dengan akal. Beda dengan makhluk yang lainnya, misalnya hewan, tuhan
menciptakan hewan tidak menyertakan akal baginya. Hewan hanya mempunyai
insting, insting yaitu pola tingkah laku yang bersifat turun-temurun yang
dibawakan sejak lahir, naluri, garizah. Hal ini sangat berbeda dengan manusia
yang memiliki akal, dengan akal manusia bisa merubah pola pikirnya. Karena pola
akal manusia bisa berubah sesuai dengan keadaan, sehingga pemikiran manusia
sangat luas dan bermacam-macam. Sedangkan hewan hanya memiliki insting yang
sudah terkonsep sejak dia dilahirkan[9].
Dengan
insting itu hewan bisa melakukan beberapa tindakan yang sudah di wariskan atau
dicontohkan oleh induknya misalnya pembuatan
tempat tinggal yang khas, mendapatkan dan menyimpan serta mencernakan
makanannya yang mungkin dapat dimanfaatkan pada musim hujan. Hewan hanya
memiliki insting yang terbatas, sehingga hanya memiliki keterampilan yang
terbatas juga. Beda dengan akal manusia yang dapat berkembang, sehingga dapat
melakukan apapun yang pernah dilihatnya.
Dengan akal itu juga dalam pikiran
manusia terjadi banyak pemikiran-pemikiran dalam kehidupannya. Diantaranya pemikiran tentang rencana-rencana yang akan
datang, yang belum diketahuinya. Setiap manusia pasti mempunyai rencana yang
baik untuk dirinya untuk mencapai rencana yang diharapkan pasti manusia
mempunyai usaha / kiat-kiat kusus untuk mencapainya.
Harapan itu bersifat manusiawi dan
dimiliki semua orang. Dalam hubungannya dengan pendidikan moral, untuk
mewujudkan harapan perlu di wujudkan hal – hal sebagai berikut:
a. harapan apa
yang baik
b. bagaimana mencapai
harapan itu
c. bagaimana bila
harapan itu tidak tercapai.
Jika manusia mengingat bahwa
kehidupan tidak hanya di dunia saja namun di akhirat juga, maka sudah
selayaknya “harapan” manusia untuk hidup di kedua tempat tersebut bahagia.
Dengan begitu manusia dapat menyelaraskan kehidupan antara dunia dan akhirat
dan selalu berharap bahwa hari esok lebih baik dari pada hari ini, namun kita
harus sadar bahwa harapan tidak selamanya menjadi kenyataan[10].
BAB III
KESIMPULAN
Harapan berasal dari kata harap
yaitu keinginan supaya sesuatu terjadi atau suatu yang belum terwujud. Manusia
tanpa harapan adalah manusia yang mati sebelum waktunya. Bisa jadi, karena
harapan adalah sesuatu yang hendak kita raih dan terpampang dimuka. Hampir sama
dengan visi walau dalam spektrum sederhana, harapan merupakan cita-cita yang
kita buat sebagai sesuatu yang hendak kita raih. Jadi hidup tanpa harapan
adalah hidup tanpa visi dan tujuan.
Apabila cita-cita masih dalam
pikiran, harapan sudah diwujudkan /dimulai dengan usaha yang dirintis. Usaha
ini didukung oleh kemampuan, sehingga kemungkinan berhasil lebih realitas dan
mendekati kenyataan.
Kepercayaan ialah hal-hal yang
berhubungan dengan pengakuan atau keyakinan akan kebenaran. Kebenaran menurut
Peodjawiyatna adalah merupakan cita – cita orang yang tahu, dalam hal ini
kebenaran merupakan kebenaran logis, sehingga manusia selalu memilih sebelum
melakukan tindakan apakah tindakan ini salah atau benar menurut keyakinannya.
[2] Ridwan efendi,ilmu
sosial budaya dasar,rajawali pers,jakarta,2002,hlm.67.
[4] Arifin noor,ilmu
alamiah dasar,pustaka setia,bandung,1997
[5] Kama abdul hakam,manusia dan lingkungan sosial budayanya,Dikti Depdiknas,batam
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Puspoprodjo,filsafat
manusia,pustaka grafika,bandung.
No comments:
Post a Comment