MAKALAH
Tasawuf
Falsafi: Tokoh dan Pemikirannya
(Ibnu Arabi, al Hallaj, dan Abu
Yazid al Busthamy )
Dosen Pembimbing :
Dr.
H. Misbahul Munir, Lc, M.Ei
Disusun Oleh:
Ahmad Bahtiyar (09510123)
Nikita Desi A. (11510018)
Zariatul Khisan (11510127)
Mohamad Bastomi (11510131)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2013
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, karena berkat
rahmat, taufik serta hidayahnya kami masih diberi kesempatan dan kemampuan
untuk menyusun makalah dengan judul Tasawuf Falsafi: Tokoh dan Pemikirannya (Ibnu
Arabi, al Hallaj, dan Abu Yazid al Busthamy) guna memenuhi tugas Semester empat.
Tersusunnya makalah ini tidak lepas dari bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan banyak-banyak
terimakasih kepada:
- Bapak Dr. H. Misbahul Munir, Lc, M.Ei selaku dosen pengampu mata kuliah TASAWUF yang memberikan arahan dan masukan dalam makalah ini.
- Serta semua
pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini yang tidak
mingkin kami sebutkan satu persatu.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempuran. Demi tercapainya
suatu kesempurnaan kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Demikaian hal yang dapat kami sampaikan, kami
berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca.
Malang, 02 Mei 2013
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu
tasawuf yang berkembang di dunia Islam tidak dapat dinafikan sebagai
sumbangan-sumbangan pemikiran kefilsafatan. Ini dapat dilihat, misalnya dalam
kajian-kajian tasawuf yang berbicara tentang jiwa. Secara terminology jiwa dan
roh itu merupakan terminology yang banyak dikaji dalam pemikiran0pemikiran
filsafat.
Kajian-kajian
kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf.
Namun, istilah yang lebih banyak dikembangkan dalam tasawuf adalah istilah qalb (hati). Istilah qalb memang lebih spesifik dikembangkan
dalam tasawuf, namun tidak berarti bahwa istilah qalb tidak berpengaruh dengan jiwa dan roh.
Menurut
sebagian ahli tasawuf, an-nafs (jiwa)
adalah roh setelah bersatu dengan jasad. Penyatuan roh dengan jasa melahirkan
pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap roh. Pengaruh-pengaruh ini
akhirnya memunculkan kebutuhan-kebutuhan jasad yang dibangun roh. Jika jasad
tidak memiliki tuntutan-tuntutan yang tidak sehat dan disitu tidak terdapat
kerja pengekangan nafsu, sedangkan qalb
(hati) tetap sehat, tututan-tuntutan jiwa terus berkembang, sedangkan jasad
menjadi binasa karena melayani jiwa.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian tasawuf falsafi ?
2.
Bagaimanakah karakteristik dan obyek dari
tasawuf falsafi?
3.
Siapa saja tokoh ajaran tasawuf falasafi dan seperti apa pemikirannya?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui
pengertian tasawuf falsafi.
2.
Mengetahui karakteristik dan obyek tasawuf
falsafi secara benar.
3. Mengetahui para
tokoh tasawuf falsafi beserta ajaran-ajarannya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antar visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Tasawuf Falsafi
menggunakan terminology filosofis dalam pengungkapannya yang berasal dari
bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah
Islam sejak abad ke-enam hijriah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Adanya pemaduan antar tasawuf dan filsafat dalam ajaran
tasawuf falsafi ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis
ini bercampur denngan sejumlah ajaran filsafat diluar Islam, misalnya
filsafat Yunani, Persia, India, dan Kristen. Namun itu semua tak meniadakan
keotentikannya sendiri. Sebab para sufi yang menyerap budaya-budaya tersebut,
tetap menjaga independensi pemikiran mereka sebagai seorang muslim. Inilah yang
memberikan pengertian kepada kita tentang upaya mereka dalam menselaraskan
antara pemikiran-pemikiran yang asing dan mereka dengan islam. Upaya tersebut
tampak jelas dalam karya-karya mereka. Itulah yang telah memberikan pemahaman
kepada kita akan adanya terma-trma filsafat asing dalam karya-karya mereka,
yang mayoritasnya telah berubah dari arti semula, karena adanya upaya
penselarasan dengan aliran tasawuf islam mereka.
Menurut At-Taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah
ajarannya yang samar-samar akibatnya banyak istilah khusus yang hanya dapat
dipahami oleh siapa saja yang yang memahami ajaran jenis tersebut. Tasawuf
falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya
didasarkan pada rasa (dzauq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai
tasawuf dalam pengertian yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam
bahasa filsafat, dan mengarah pada pembentukan aliran pemikiran yang
terkonsentrasi dalam pembahasan tentang wujud.
Para sufi falsafi mngenal filsafat Yunani dan aliran-alirannya seperti aliran Socrates,
Plato, Aristoteles, Rowaqiyah, sebagaimana juga mengenal filsafat
Neoplatonisre, dan teori emanasinya, serta filsafat yang dikenal dengan sebutan
Hermeticisme dan buku-bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Mereka
juga mempelajari filsafat-filsafat muslim sendiri seperti al-farabi, Ibn Sina
dan lain sebagainya dan juga terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Syiah
ekstrim seperti Syiah Ismailiyah, Batiniyah, dan juga dengan risalah-risalah
Ihwan Shifa’. Disamping itu
pengetahuan mereka sangat luas tentang ilmu-ilmu syariat seperti fikih, kalam,
hadist, dan tafsir, sehingga mereka merupakan enyclopedia dan intelektualitas
mereka terbentuk dari berbagai macam pemikiran yan berbeda-beda.
2.2 Obyek Pembahasan Tasawuf Falsafi dan Karakteristiknya
Tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda
dengan tasawuf suni. Dalam hal ini, Ibnu Kholdun, sebagaimana yang dikutip oleh
At-Taftazani, dalam karyanya Al-Muqaddimah menyimpulkan ada 4 objek
utama yang menjadi perhatian para sufi filosof, antara lain sebagai berikut :
1. Mujahadah
(memerangi hawa nafsu) dan latihan
rohaniah dengan rasa, intuisi, serta intropeksi diri yang timbul darinya.
2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat
rabbani, ‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala
yang wujud, yang gaib maupun yang tampak dan susunan kosmos, terutama tentang
Penciptanya serta ciptaanya.
3. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap
berbagai bentuk kekeramatan (khawariqu Adah ) atau keluarbiasan (karamah).
4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannnya samar-samar (syathahat),
yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya, menyetujuinya,
ataupun mengintrepetasikannya dengan intrepetasi yang berbeda-beda.
Dari tinjauan mujahadah dan intuisi yang dihasilkan
darinya seperti magom (tingkatan) dan ahwa (kondisi), merupakan titik temu
antara mereka dengan sufi-sufi lainnya sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn
Khaldun: “Sesuatu yang tidak dipersoalkan oleh seorang pun. Intuisi mereka
dalam tasawuf adalah benar, dan menghasilkan sebuah kebahagiaan.
Sedangkan tentang keterkuatan (kasf) hakikat-hakikat wujud
yang ditemukan, Ibn Khaldun mengatakan bahwa : sufi-sufi falsafi melakukan olah
diri dengan cara mematikan kekuatan indera dan menyirami ruh yang berakal
dengan zikir, sehingga jiwa mampu menemukan hakikat-hakikat tersebut dari zat
jiwanya itu. Jika mampu
menemukan itu, mereka beranggapan bahwa segala wujud tercakup dalam temuannya
tersebut. Mereka telah menguak keseluruhan hakikat-hakikat wujud.” Kemudian
Ibnu Kholdun berkata: “kasf semacam itu muncul dari sebuah kelurusan, yang bagi
jiwa bagaikan keterbukaan cermin yang senantiasa selaras dengan berbagai macam
kondisi-kondisi.
Ibn Kholdun juga mengatakan bahwa
sufi-sufi falsafi sangat menseriusi model keterkuatan (kasf) semacam itu, dan
membicarakan hakikat-hakikat wujud di langit dan di Bumi. Namun mereka tidak
jelas dalam tujuan. Sebab perkataan-perkataan mereka berkaitan dengan intuisi
dan naluri sehingga orang-orang yang bukan kalangan mereka sendiri, tak akan
mampu memahami perkataan-perkataannya. Intuisi-intuisi tersebut tidak tunduk
pada dalil ataupun bukti. Ia adalah sebuah naluri. Di samping itu, mereka
sengaja berteka-teki dengan menggunakan terma-terma filsafat yang tidak
dipahami oleh luar kalangan mereka sendiri. Perkataan mereka secara umum “tak
bisa ditangkap oleh ahli fikir karena kesamaran dan ketertutupannya”. Ibn
Kholdun juga menyebutkan contoh-contoh pemikiran mereka tentang wujud dan
kemunculannya dari zat yang mewujudkannya serta urutan-urutannya, Hakikat
Muhammadiyah, wahdatul wujud Mutlak, dan terma-terma yang digunakan di dalamnya.
Ibn Kholdun membantah perkataan mereka tentang kesatuan
(wahdah), dengan menjelaskan bahwa diakibatkan oleh penafsiran yang salah
terhadap fana’. Ia berkata: “Dalam pemikirannya tersebut, mereka mengingkari
adanya ketersusunan dan banyak dari berbagai macam segi. Yang memunculkan pemikiran
tentang kesatuan mereka tersebut tak lain adalah sebuah khayalan dan imajinasi
belaka. Padahal sufi-sufi yang sesungguhnya pada masa terakhir malah mengatakan
bahwa seseorang murid saat mengalami kasf, harus menolak hayalan-khayalan
tentang kesatuan yang mereka katakan sebagai magom (tingkatan) penyatuan.
Kemudiian ia mendaki kembali hingga
akhirnya mampu membedakan kembali antar wujud-wujud, dan mereka namakan itu
sebagai magom pemisahan. Ini adalah magom seorang Arif yang sesungguhnya. Oleh
karena itu, seseorang murid harus menyingkirkan rintangan-rintangan penyatuan.
Hal ini merupakan sebuah rintangan yang amat susah, sebab ia merasa takut
seandainya berhenti dalam rintangan itu, sehingga sia-sialah apa yang telah
dilakukannya.
Tampak
sekali bahwa Ibn Khaldun sebagai Ahli Sunah, menyalahkan sufi-sufi yang
mengatakan tentang kesatuan. Karena mereka mengatakan hal itu beranjak dari
kondisi fana’ dan kesatuan. Maka kritikannya tersebut seirama
dengan kritikan al-Ghozali dan sufi-sufi ahli sunah lainnya.
Sedangkan apa ayang disebutkan
oleh-oleh sufi-sufi falsafi tentang karomah, Ibn Khaldun tidak mengingkarinya.
Karomah seperti berita tentang hari esok dan kemampuannya merubah ssesuatu,
adalah benar dan tidak diingkari. Sehingga sebagian ulama seperti Abu Ishak
al-Asfirayini yang mengingkari karomah tersebut, menuruut Ibn Khaldun adalah
tidak benar.
Namun para sufi falsafi beranggapan
bahwa kemampuan merubah-rubah alam adalah dibangun atas dasar sebuah ilmu
tersendiri, yaitu ilmu tentang nama-nama dan huruf-huruf. Ibn Arabi, Ibn Sab’in
dan selain keduanya telah menulis keilmuan semacam itu. Perbedaan antara mereka
dengan sufi-sufi suni yang semasa dengannya semisal Syadzaliyah adalah sangat
besar. Misalnya adalah Ibn Atha’illah al-Iskandan yang membangun sebuah
pemikiran tentang zuhud dan karomah, menganggap bahwa itu tidak menunjukkan
sebuah kesempurnaan tasawuf.
Oleh karena itu, kami menemukan Ibn
Khaldun sendiri memuji sufi-sufi yang ditulis dalam risalah Qusyairiyah yang
mempunyai kecendrungan Suni, karena pensuri tauladan mereka terhadap para
sahabat: “para sahabat dan pembesar-pembesar salaf banyak yang memiliki
karomah. Itu merupakan hal yang telah dikenal dalam kalangan memiliki karomah.
Itu merupakan hal yang telah dikenal dalam kalangan mereka.. para sufi terdahulu yang tertulis dalam kitab
Risalah Qusyairiyah merupakan pemuka-pemuka dalam agama ini.. mereka tidak
antusias untuk menguak sebuah hijab (tirai penghalang), dan juga untuk
mendapatkan Khawariqul Adah (kemampuan melampaui hukum-hukum alam). Konsentrasi
mereka adalah mengikuti dan mensuri tauladani semampu mungkin. Barang siapa
yang menawarkan Karomah dan Khawariqul Adah, maka mereka pastui menolak, dan
menghindarinya. Mereka menganggap bahwa itu merupakan salah satu dari
rintangan-rintangan dan cobaan.
Kemudian Ibn Khaldun mengomentari
ungkapan-ungkapan yanng bermasalah dari sufi-sufi falsafi: “sedangkan
perkataan-perkataan yang membingungkan, yang dikenal dengan sebutan Syathahat,
adalah salah menurut ahli syariat. Ketahuilah! Sebenarnya mereka adalah orang
yang absen dari indera, dan sesuatu yang datang telah menguasai mereka sehingga mengatakan perkataan-perkataan
tersebut tanpa sengaja. Orang-orang yang sedang absen tidak terkena khitab
(pesan tuhan), dan orang yang terpaksa adalah dimanfaatkan. Barang siapa yang
mengetahui keutamaannya dan juga mensuri tauladannya, akan berprasangka baik
terhadap perkataannya tersebut. Mengungkapkan apa yang ada dalam perasaan
adalah sangat susah, karena tidak ada tempatnya. Sebagaimana yang terjadi pada
diri Abu yazid dan semisalnya. Barang siapa yang tidak mengetahui keutamaannya
dan ketenarannya, pasti akan menyalahkan segala sesuatu yang keluar darinya.
Jika perkataannya tersebut kurang jelas, maka akan mendorong kita untuk
melakukan pentakwilan. Ketuka mengatakan perkataan-perkataan semacam itu,
dirinya sedang dalam keadaan sadar, dan tidak dikuasai oleh kondisinya, maka
itu harus disalahkan. Oleh karena itu para fuqaha’ dan pembesar sufi
mengeluarkan fatwa untuk membunuh al-Halaj karena ia mengatakan perkataan
tersebut dalam keadaan sadar. Ia adalah orang yang menguasai kondisinya, dan
Allah lebih tahu tentang hal itu.
Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya juga
melakukan perbandingan antara sufi-sufi falsafi masa terakhir dengan
Ismailiyah, salah satu sekte Syiah yang mengatakan tentang penitisan (bulul)
dan ketuhanan antara kedua aliran itu, terutama dalam masalah Quttub yang
dianggap sebagai pemimpin para Arifin, dan Abdl, adalah serupa dengan perkataan
Ismailiyah tentang Imam dan Nuqba’. Begitu pula pemakaian rumbai tasawuf yang
dijadikan simbol tasawuf dalam tarekat mereka, disandarkan pada Imam Ali,
sehingga menurut Ibn Khaldun itu juga salah satu dari pengaruh Syiah terhadap
mereka.
Dari perkataan Ibn Khaldun itu
tampak tasawuf falsafi mempunyai beberapa karakteristik tertentu. Salah satunya
adalah mereka senantiasa memerangi hawa nafsu sebagaimana sufi-sufi lainnya,
untuk melakukan peningkatan-peningkatan akhlak sehingga menimbulkan sebuah
kebahagiaan. Ia merupakan tasawuf yang
menjadikan Kasf sebagai metode untuk mengetahui hakikat. Orang-orangnya juga
merasakan kondisi fana’, sebagaimana mereka samar dalam mengungkapkan
hakikat-hakikat tasawuf tersebut. Terkadang mereka menggunakan bahasa-bahasa
simbolis untuk mengungkapkannya.
Karakteristik-karakteristik tersebut
merupakan karakteristik umum yang berlaku pada diri mereka dan sufi-sufi
selainnya. Namun para sufi falsafi mempunyai karakteristik lainnya yang tak
dimilki oleh sufi Suni. Pertama, mereka adalah pemilki teori wujud dan
menjelaskannya dalam kitab-kitab dan syair-syairnya. Ungkapan-ungkapan mereka
ini tidak bisa dikatakan sebagai sebuah Syathahat sehingga pengucapannya tidak
bisa dipertanyakan. Kedua, mereka sangat berlebih-lebihan dalam penggunaan bahasa-bahasa simbolis, sehingga
perkataan-perkataannya tidak bisa dipahami oleh orang
di luar kalangannya. Ketiga, perhitungannya yang sangat terhadap diri dan
ilmu-ilmu mereka. Walaupun itu tidak dilakukan oleh
keselurahan mereka, namun dilaksanakan oleh mayoritas.[1]
2.3 Tasawuf Falsafi Menurut Abu Yazid
Al-Busthamy
a). Biografi Abu Yazid Al-Busthamy
Abu Yazid Al-Busthamy
adalah seorang sufi terkemuka pada abad III H. Ia disebut sebagai sufi yang
memperkenalkan konsep fana, baqa, dan ittihad dalam pengertian tasawuf. Dalam
literatur-literatur tasawuf namanya sering ditulis Bayazid al-Bistami. Ia
dilahirkan di sebuah kota kecil bernama Bistam, daerah Timur Laut Persia pada
tahun 188 H/804 M.
Berbeda dengan sufi-sufi
terkemuka sebelumnya, Abu Yazid adalah orang Persia asli yang mempunyai nama
lengkap Taifur Ibn Isa Ibn Sarusyan al-Bustami. Mengenai penulisan namanya, terdapat berbagai variasi, seperti Bayazid,
Al-Bustami, Al-Bistomi, Al-Bastomi. Kakeknya Sarusyan pada mulanya adalah penganut zoroaster
yang kemudian masuk islam. Ayahnya termasuk pemuka masyarakat di Bistam dan
ibunya adalah seorang taat dan zuhud. Dua orang saudaranya Ali dan Adam
termasuk juga sufi yang banyak pengalaman meskipun tidak setenar Abu Yazid.
Abu Yazid dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang taat beragama. Ilmu yang menjadi kegemarannya pada
mulanya adalah ilmu fiqhi dalam madzhab Hanafi. Karena itu ia dikelompokkan
pada ashab al-ra’yi dalam memahami hukum islam. Sedangkan dalam ilmu tasawuf,
ia belajar dari orang sufi yang berasal dari Kurdi. Sebagian kehidupannya
dijalani sebagai seorang abd dan sufi di Bistam. Ia dipaksa meninggalkan kota
kelahirannya beberapa waktu lamanya untuk menghindari tekanan ulama
Mutakallimin yang memusuhinya.
Dari kehidupannya zuhud
yang dijalaninya, timbullah cinta atau mahabbah yang semakin meluas. Dan
mendalam hingga menghanyutkan dirinya tenggelam kedalam lautan zuhud. Ia
mengatakan pada suatu ketika: “Saya melakukan mujahadah selama tiga tahun,
tidak saya dapati sesuatu yang lebih berat kecuali ilmu dan mengikuti ilmu.
Seandainya tidak ada perbedaan ulama niscaya saya akan baqa’. Selanjutnya ia
melihat bahwa pengalaman tasawuf tidak dibenarkan untuk meninggalkan perintah
Tuhan. Seorang pengenal tasawuf haruslah memiliki pembimbing atau guru.
Barangsiapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya (imam) adalah setan. A.J Arberry menyebutnya sebagai first of the intoxicated sufis
(sufi yang mabuk kepayang pertama kali).
Abu Yazid digolongkan ke
dalam kelompok sufi malamatiyat yaitu sufi yang cenderung bersikap rendah diri
menghinakan serta mencercanya dalam rangka memurnikan pendekatan hubungan
kepada Tuhan. Ajaran tasawufnya di kemudian hari dikembangkan para pengikutnya
dengan membentuk suatu aliran tarekat yang bernama Taifuriyah yang dinisbatkan
kepada namanya. Pengaruh tarekat ini masih didapati di berbagai wilayah dunia
islam seperti di Zoustan, Maghrib yang meliputi Maroko, al-Jazair dan Tunisia,
juga tersebar sampai ke Chittagon, Bangladesh, berupa tempat-tempat suci yang
dibangun untuk memuliakannya.
Ia meninggal dunia di
Bistam pada tahun 261 H/784 M. makamnya bersebelahan dengan al-Hujwiri, Nashir
Kusrow dan Yakut. Pada tahun 713 H/1313 M dibangun sebuah kubah di atas
makamnya atas perintah Sultan Mongol Muhammad Khudabanda untuk memenuhi saran
penasehat agama Sultan yaitu Syekh Syarifuddin yang mengaku keturunan Abu
Yazid.
Hingga akhir hayatnya Abu
Yazid ternyata tidak meninggalkan karya tulis yang dapat dipelajari tetapi ia
mewariskan sejumlah ucapan yang diungkapkan mengenai pengalaman spiritualnya
yang disampaikan oleh murid-muridnya. Diantaranya pengalaman batiniyahnya
tercover dalam sejumlah karya tulis seperti al-Nur min Klaimati Abi Taifur oleh
al-Shalajji, ar-Risalah al-Qusyairiyyah fi ‘Ilm al-Tasawuf oleh al-Qusyairi,
Kasyf al-Mahjub, oleh al-Hujwiri, dan al-Luma oleh al-Tusi.
b). Pemikiran Abu Yazid Al-Busthamy
1. Fana dan Baqa’
Fana menurut pengertian bahasa berasal dari fana-yafni -fana’
yang berarti hilang hancur. Sedang baqa’ berasal dari baqiya-yabqa-baqa’ yang
berarti sifat al-dawam atau terus-menerus, ada terus, terus hidup, tidak lenyap
dan tidak hancur.[2]
Dalam pengertian tasawuf,
fana tidak dapat dipisahkan dari baqa’ sebab baqa’ merupakan sisi lain dari
fana. Fana dalam pengertian istilahnya adalah suatu tingkatan pengalaman
spiritual sufi dan Tuhan. Dalam pandangan sufi, fana tidak diartikan sebagai
kehancuran eksistensial melainkan sebagai hilangnya kesadaran tentang dirinya
dari seluruh makhluk di mana perhatian sufi terpusat hanya kepada Allah swt.
Ungkapan yang populer di kalangan sufi bahwa orang yang mengenal dirinya tiada
(‘adam) akan menyadari Tuhannya ada (wujud). Dalam pengalaman fana’, sufi tidak
lagi menyadari dirinya serta seluruh makhluk. Dalam kesadarannya, yang ada
hanyalah Allah.
Abu Bakal Al-Kaladzi (378 H/988 M) mendefinisikan fana’
sebagai, ‘hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari
segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat
membedakan sesuatu secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan
ketika berbuat sesuatu”.
Dalam pada itu Ibrahim Basyuni setelah mengemukakan
beberapa pernyataan tentang fana, dia
berkesimpulan bahwa fana adalah suatu keadaan mental di mana hubungan
manusia dengan alam dan dirinya sudah tiada tanpa hilang dari padanya nilai
kemanusiaan. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa dalam fana meskipun
kesadaran itu telah hilang namun nilai-nilai kemanusiaannya tetap ada, jadi
yang mengalami perubahan adalah akhlaqi yang telah didominasi oleh cahaya
hakekat. Dengan demikian apabila dikatakan bahwa seseorang telah mengalami fana
dari dirinya dan makhluk lain, maka sebenarnya dia dan makhluk lain itu masih ada hanya saja dia tidak lain menyadari dan
merasakannya. Kalangan sufi melihat bahwa fana adalah hilangnya kesadaran
pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada
diri. Sedangkan di lain pihak mengatkan bahwa fana merupakan bergantungnya sifat-sifat
kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan atau hilangnya sifat-sifat tercela.
Fana yang menjadi tujuan adalah fana ‘an nafs yang menyebabkan mereka mengalami
baqa pada diri Tuhan.
Kepribadian
serta paham dan ajarannya sangat mengesankan sekaligus membingungkan bagi orang
sezaman dan sesudahnya sehingga Al-Junaid memandang bahwa dia belum sampai pada
ujung pencariannya. Nicholson berpendapat bahwa paham al-fana’-Nya mungkin
diupengaruhi paham Hindu dari gurunya, Abu
Ali al-Sindi.
Schimmel
meragukan analisis itu sebab justru tampaknya Abu Yazid telah sampai diujung pencariannya
sendiri melalui pengalaman al-fana’-nya. Sebab, dengan kefanaannya itu, Abu
Yazid “pergi” meninggalkan dirinya menuju kepadanya-Nya. Kemudian muncul
melalui syatahat (theopathical satmmerings) darinya walaupun hal ini oleh
Al-Taftazani dipandang sebagai ungkapan yang berlebihan dari Abu Yazid.
Ungkapan-ungkapan yang menunjukkan ketuhanan dirinya itulah yang kemudian
disebutsebagai paham al-Ittihad (Nasution, hal. 84-85; Mahmud, t.t:310). Ketika
ditanya mengenai sunnah dan fardu, Abu Yazid menjawab, “sunnah ialah yang
meninggalkan dunia dengan segala isinya, dan fardu ialah bersahabat dengan
Allah. “ketika ditanya tentang umurnya, dia menjawab bahwa usianya baru empat
tahun sehingga membuat yang bertanya kaget. Dia menjawab, “aku telah tertabiri
dari tuhan oleh dunia selama tujuh puluh tahun, dan aku baru dapat melihatnya selama
empat tahun terakhir ini”.
Sedangkan baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan
sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya sifat-sifat basyariah
maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiyah. Fana dan baqa’ datang beriringan (اذا اشرق نور البقاء فيقسى من لم يكن من لم يزل) . Hal demikian merupakan pengalaman mistik tentang substansi
atau kehidupan bersama dengan Tuhan setelah terjadi fana dalam diri sufi.
Abu Yazid dengan fana meninggalkan dirinya dan
pergi ke hadirat Tuhan. Sedangkan dengan baqa’ ia tetap bersama Tuhan.
Pengalaman fana dan baqa’nya teraktualisasi dalam beberapa ucapan yang dilontarkannya seperti ; “aku tahu Tuhan
melalui diriku hingga aku fana kemudian aku tahu pada-Nya melalui
diri-Nya,maka akupun hidup”, Ia membuat
aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku gila pada-Nya
dan akupun hidup maka aku berkata, gla pada diriku adalah fana dan gila pada
diriku adalah baqa’. Aku mimpi melihat Tuhan lalu aku bertanya, tuhanku apa
jalannya untuk sampai kepada Mu? Ia menjawab, tinggalkan dirimu dan datanglah
kepadaKu”. Pada suatu kesempatan ketika Abu Yazid menunaikan ibadah haji
pertama mengatakan bahwa ia melihat ka’bah dan dirinya. Ketika menunaikan
ibadah haji yang kedua selain melihat Ka’bah dan dirinya, ia merasakan Tuhan
Ka’bah. Pada haji yang ketiga ia tidak lagi merasakan apa-apa kecuali Tuhan
ka’bah. Hari pertama aku zuhud terhadap dunia dan segala isinya, pada hari
kedua aku zuhud terhadap akhirat dan segala isinya, pada hari ketiga aku zuhud
terhadap apa saja selain Allah, pada hari keempat tidak ada yang tinggal bagi
lagi selain Allah. Gambaran kesadaran Abu Yazid seperti tu disebut fana.
Kemanapun ia menghadap mukanya, yang terlihat oleh mata hanyalah Allah, hatinya
yang menghadap ke wilayah empiris menjadi tertutup.
Hanya Allah yang berada
dalam kesadarannya. Dalam fananya yang lain ia berkata; yang ada di jubah ini
hanya Allah. Dengan terjadinya fana tersebut, terjadi pula baqa’. Kesadaran
tentang selain Allah sirna (fana) tetapi kesadaran tentang Allah terus-menerus
berlangsung (baqa’).
2. Ittihad
Kata “ittihad” mengandung
pengertian persatuan, pengalaman menyatu; atau kebersatuan. Dalam terminologi
tasawuf berarti suatu tingkatan di mana seorang sufi merasa dirinya bersama
dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana yang mencintai dan dicintai telah menjadi
satu. Sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan
kata-kata “hai aku”.
Dalam ittihad yang dilihat
hanya satu wujud sungguh pun sebenarnya ada dua wujud yang terpisah satu sama
lain. Karena yang dilihat dan yang
dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad bisa terjadi pertukaran peranan
antara yang mencintai dan dicintai atau lebih tegasnya antara sufi dengan
Tuhan. Dalam ittihad, identitas telah hilang dari sufi dengan Tuhan. Dalam
ittihad, identitas telah hilang dari sufi yang bersangkutan karena fananya
telah tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan. Abu Yazid
dalam ittihadnya berbicara dengan nama Tuhan atau lebih tepat kalau dikatakan
Tuhan berbicara melalui lidah Abu Yazid. Melalui konsep fana dan baqa’, ia
telah meningkat ke maqam yang lebih tinggi lagi yang tidak ada lagi kecuali
al-Wahid al-Ahad, tenggelam dan meninggal untuk selanjutnya simak dalam
kesucian ilahi. Dalam keadaan demikian, Abu Yazid berkata: “Menjadilah sifatku
rububiyah lisanku lisan tauhid dan isyaratku adalah isyarat keabadian”. Penunggalan
Abu Yazid berarti menghilangkan kesadaran akan dirinya dan alam sekitar untuk
dikonsentrasikan kepada Tuhan. Proses demikian disebut tajrid atau fana bi
al-tauhid. Penuhanan (deification) tersebut pendek kata merupakan ultimate
thule dari mistik muslim. Pencapaian hingga mencapai tingkat persatuan tersebut
dilalui dengan latihan berat dan intensif selama bertahun-tahun.
Abu Yazid semakin jauh
tenggelam ke dalam lautan fana’ hingga menyatu dengan Tuhan dengan
kalimat-kalimat yang bersayap yang tidak dikenal sebelumnya atau dikenal oleh
kalangan sufi dengan istilah (escatic utterances) yaitu ucapan-ucapan sufi
ketika berada di pintu gerbang ittihad denga Tuhan. Sebagian dari sathahatnya
dipertanyakan kebenarannya dan sebagian cerita mengenai kekeramatannya dianggap
sebagai legenda.
Imam al-Ghazali di dalam
Ihya’ ‘Ulum al-Din mengatakan bahwa sathahat tersebut dibagi menjadi dua macam
yang keduanya dilontarkan oleh sebagian kaum sufi. Pertama berupa do’a panjang
lebar tentang serita ketuhanan, pertemuan dengan Tuhan, pengakuan akan
terungkapnya hijab dan lain sebagainya. Kedua, kata-kata yang sulit untuk
dipahami isinya. Secara sepintas kelihatan menarik dengan susunan kalimatnya
yang indah. Akan tetapi semua itu hanya merupakan omong kosong tanpa isi. Model
yang kedua inilah yang paling banyak ditemui. Al-Sirhindi melihat bahwa
sathahat merupakan serangkaian ucapan yang terlontar ketika dalam kedaan ekstase dimana para sufi tengah
tercengkram oleh kekuatan supra. Selanjutnya ia mengklasifikasikan macam-macam
sath kepada empat bagian.
Pengalaman Abu Yazid dalam
sathahatnya menimbulkan berbagai pendapat dari kalangan sufi. Satu, misalnya
dari ucapan yang kontroversial itu adalah ucapannya tentang tiada Tuhan selain
aku, Mahasuci Aku, Mahabesar Aku. Hal itu dianggap oleh Sumun al-Misri dengan
mengutus sahabatnya untuk menemui Abu Yazid maka diketuklah pintu rumahnya
sehingga terjadi dialog antara keduanya:
Abu Yazid : “siapa di luar?”
Tamu : “Kami hendak bertemu dengan Abu
Yazid”
Abu Yazid : “Abu Yazid siapa, di mana dia, sayapun
mencari Abu Yazid”.
Kemudian rombongan tamu
itupun pulang dan memberitahukan hal tersebut kepada Zumun. Mendengar
keterangan utusan tersebut Zumun berkata: “ Sahabatku Yazid telah pergi kepada
Allah dan dia sedand fana.”
Kalangan sufi berbeda
pendapat mengenai hal tersebut. Ada yang memberikan penafsiran hingga sesuai
dengan tasawuf yang lazim seperti Abdul Qadir Jailani, al-Tusi, serta
al-Junaid. Sementara yang lain tidak membenarkan hal itu seperti Ibnu al-Jauzi
dan Ibnu Salim. Di samping itu pula ada yang meragukan bahwa hal tersebut
berasal dari Abu Yazid, seperti Abdullah al-Anshari dan Imam Zahabi. Melihat
situasi semacam itu, al-Sahalji memperingatkan agar berhati-hati untuk tidak
mencampur adukkan antara pendapat Abu Yazid dengan pendapat lain yang
dinisbatkan kepadanya. Sedangkan al-Jurjani melarang untuk membicarakannya
kecuali bagi mereka yang sudah setarap tingkatannya dengan maqam Abu Yazid.
Tidak sampai di sini saja polemik itu bergulir bahakan kalangan ulama pun
menanggapi ucapan yang dilontarkan Abu Yazid yang memang belum pernah didengar
dari sufi sebelumnya. Mereka yang berpegang kepada syari’at secara lahiriyah
telah menuduhnya kafir karena telah menyamakan dirinya dengan Tuhan. Sedangkan
sebagian yang lain masih mentolelir ucapan tersebut dan menanggapi sebagai
penyelewengan (inhiraf) bukan kekufuran.
Namun yang perlu dicatat bahwa Al-Sulami dalam Tabaqat
al-Shufiyahh, Al-Tusi dalam al-Luma’, dan Al-Qusyairi dalam al-Risallah, telah
membahas ungkapan-ungkapan Abu Yazid, yang ternyata sejalan dengan Al-quran dan
sunnah, serta berpendapat bahwa tasawuf yang diajarkannya seiring dengan kedua
sumber ajaran islam tersebut.
2.4 Tasawuf Falsafi Menurut Al-Hallaj
a). Biografi Al-Hallaj
Nama
lengkap tokoh sufi legendaris ini adalah Abu al-Mughits al-Husain bin Mansyur
bin Muhammad al-Baidhawi, tetapi kemudian lebih dikenal sebagai Al-Hallaj. Ada
berbagai pendapat tentang gelar al—Hallaj ini. Al-Salma menyatakan gelar
Al-Hallaj diperoleh ketika Al-Manshur berada di Wasit menjumpai seorang penenun. Ia berkata, “pergilah engkau
untuk menggantikan kesibukanku, aku akan menggantikan kesibukanmu.” Ketika
penenun itu kembali lagi, ia telah mendapati kapas-kapasnya telah tersusun.
Sejak itu Al-Husain di gelar dengan Al-Hallaj. Menurut
Baghdadi seperti dikatakan anaknya sendiri, dia mampu menguraikan
rahasia-rahasia manusia sehingga digelari dan dipanggil dengan Hallaj al-anrar,
disingkat Al-Hallaj. Dikatakana pula karena ayahnya seorang penenun di Wasit
maka Al-Husain disebut dengan Al-Hallaj (Athar Abbas rivai, 1978:57). Sementara
itu menurut Al-Taftazani (hal.124), ia dinamai Al-Hallaj karena memang
pekerjaannya sebagai penenun.
Ia
lahir pada tahun 244 H/858 M di Thur, salah satu desa sebelah timur laut Baidha’
Persia, dimana Sibawaih pernah dilahirkan. Kakeknya, Muhammad adalah seorang
Majusi sebelum masuk Islam. Namun riwayat ini kurang begitu kuat. Adapun
yang banyak dipegangi oleh ahli sejarah sufi adalah yang menyatakan bahwa ia
keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah.[3]
Dia mulai dewasa di kota Wasit, dekat Baghdad. Dan ketika
berusia16 tahun yaitu tahun 260/873, dia pergi belajar pada seorang sufi besar
yang terkenal yaitu Sahl Ibn Abdullah at-Tusturi di negeri Ahwaz selama dua
tahun. Setelah belajar dengan
at-Tusturi, dia berangkat ke Basrah dan belajar kepada sufi ‘Amr al-Makki, dan
di tahun 264/878 dia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada al-Junaid. Untuk
menambah pengetahuan dan pengalamannya dalam ilmu tasawuf, dia pun mengembara
dari satu negeri ke negeri yang lain. Dikatakan, bahwa dia pernah berkunjung ke
Mekah tiga kali. Ketika tiba di Mekah untuk pertama kalinya tahun 897 M, dia
mencoba mencari jalan sendiri untuk bersatu dengan Tuhan. Namun setelah dia
menemukan jalannya sendiri dan disampaikannya kepada orang lain, justru
dianggap gila. Oleh karena itu, dia meninggalkan kota tersebut setelah bermukim
di sana sekitar setahun, dan kembali ke Baghdad.
Dalam semua perjalanan yang telah beliau lakukan
diberbagai kawasan Islam (Khurasan, Ahwaz, India Turkistan dan Makkah) telah
membuat beliau memiliki banyak pengikut. Pada tahun 296 H/909M beliau kembali ke baghdat dan
jumlah pengikutnya semakin banyak karena kebobrokan pemerintah yang berkuasa
saat itu. Beliau
bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nash Al-Qusyairi, yang
mengingatkan sistem tata usaha yang baik, pemerintahan yang bersih.
Al-Hallaj selalu medorong sahabatnya melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap
penyelewengan yang terjadi. Gagasan dari Al-Hallaj dan Al-Qusyairi mengenai
“pemerintah yang bersih” itu sangat berbahaya karena khalifah boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang
nyata dan hanya merupakan lambing. Pada waktu yang sama, aliran-aliran
keagamaan dan tasawuf tumbuh dengan subur yang membuat pemerintah sangat
khawatir terhadap kecaman keras dan pengaruh dalam stuktur politik.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya, ia pernah keluar
masuk penjara akibat konflik dengan ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawuf
yang agak ganjil sebagaimana akan dikemukakan di bawah ini menyebabkan seorang
ulama fikih bernama Ibnu Daud al-Isfahani mengeluarkan fatwa untuk membantah
dan memeberantas fahamnya. Al-Isfahani dikenal sebagai ulama fikih penganut
mazhab Zahiri, suatu mazhab yang mementingkan zahir nas belaka. Fatwa yang
menyesatkan yang dikeluarkan oleh Ibn Daud itu sangat besar pengaruhnya
terhadapdiri al-Hallaj, ucapan Al-Hallaj “ana al-haqq” yang tidak bisa
dimaafkan para ulama fiqh dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan, dijadikan
alasan untuk menangkapnya dan memenjarakannya. Sehingga al-Hallaj ditangkap dan
dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat meloloskan
diri berkat bantuan seorang sipir penjara.
Dari Baghdad ia melarikan
diri ke Sus, suatu wilayah yang terletak di Ahwaz. Setelah bersembuyi empat
tahun lamanya di kota itu tetap tidak merubah pendiriannya, akhirnya ia
ditangkap kembali dan dimasukkan ke penjara selama delapan tahun. Lamanya di
penjara ini tidak menyebabkan ia luntur pendiriannya. Akhirnya pada tahun 309 H
(921 M) diadakan persidangan ulama pengawasan Bani Abbas, Khalifah al-Mu’tasim
Billah. Dan akhirnya pada tanggal 18 Zulkaiddah 309 (921 M) al-Hulluj dijatuhi
hukuman mati. Ia dihukum bunuh dengan terlebih dahulu dipukul dan dicambuk,
lalu disalib sesudah dipotong kedua tangan dan kakinya, lehernya dipenggal dan
dibiarkan tergantung di gerbang kota Baghdad kemudian dibakar dan abunya
dibuang ke sungai Tigris.[4]
Ada
beberapa tuduhan yang menyebabkan Al-Hallaj dihukum mati, disalib, dan
digantung yakni:
1.
Ia mempunyai hubungan dengan gerakan Qaramithah, suatu sekte Syi’ah
yang mempunyai paham komunis, yang pernah menyerang Makkah tahun 930 M,
merampas Hajar Aswad yang dikembalikan oleh kaum Fatimi tahun 951 M, dan
menentang pemerintahan Bani Abbas, mulai dari abad ke-10 sampai abad ke-11;
2.
Keyakinan para pengikutnya bahwa ia mempunyai sifat ketuhanan;
3.
Ucapanny, “Ana al-Haqq”,
4.
Ibadah haji secara fisik lahiriah tidak wajib (Harun nasution, hal.
87)
Akan tetapi penyebab yang paling jelas adalah faktor
politis, di mana kedudukan dan pandangan-pandangan Al-Hallaj yang Sunni waktu
itu dikhawatrikan mengancam gerakan penguasa dan pejabat Syi’ah yang sedang
melancarkan gerakan bahwa tanah merebut kekhalifahan Al-Muqtadirbillah, dibantu
oleh para fuqaha’ Sunni yang memiliki kepentingan politik ataupun berseteru
dengan Al-Hallaj , seperti Daud al-Dzahiri. Sementara dalih-dalih teologi
cenderung hanya sebagai kamuflase, serta lebih terkesan dicari-cari guna mendapatkan
fatwa dihalalkannya darah Al-Hallaj untuk kelancaran proses pengadilan hukuman
mati bagi sang Martir sufi ini (Mulyadi Kartanegara, dalam pengantar Gilani
Kamran, 2001:vii-xv, 15-18).
Pada riwayat lain disebutkan bahwa saat digantung, ia
dipecut 1000 kali tanpa mengeluh, saat
tangan dan kakinya dipotong juga tidak mengeluh, lalu kepalanya dipancung. Sebelumnya, ia sempat shalat sunnah dua rakaat dengan sejadah
Al-Syibli. Badannya kemudian digulung dengan tikar bambu, direndamkan ke Naftah
dan dibakar. Abunya dihanyutkan di sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke
Khurasan untuk selanjutnya dipersaksikan oleh umat Islam di sana (Ghazur
al-Ilahi, 1986).
Muhammad Ghallab menyatakan bahwa Al-Hallaj dinaikan oleh
para algojo keatas menara yang tinggi, di kerumuni oleh orang banyak, termaksuk
para murid dan pengikut setianya. Saat
itu dimana orang banyak diperintahkan untuk melemparinya dengan batu, dia
selalu mengulang-ulang kalimat yang membawanya ke hukuman mati, yakni “Ana
al-Haqq”. Ketika disuruh membaca syahadat, dia berteriak, “sesungguhnya wujud
Allah itu telah Jelas, tidak membutuhkan penguat semacam syahadat.” Menurut
Ghallab, kalimat ini merupakan pengulangan terhadap kalimat yanng pernah
diungkapkan oleh Al-Syibli (Muhammad Ghallab, t.t:95). Dia menerima semua
hukuman yang kejam itu dengan tersenyum, termasuk ketika para algojo memotong
lidah dan mencungkil kedua matanya. Pada saat itu, justru dia berisyarat
memintakan ampun bagi para algojo serta para pembantunya, dengan pernyataan
do’a’ yang terkenalnnya “ mereka semua adalah Hambamu mereka semua berkumpul
untuk membunuhku karena fanatik terhadap agama-Mu dan untuk mendekatkan diri
kepada-Mu. Maka ampunilah mereka. Andaikan kau singkapkan kepada mereka apa
yang kau singkapkan kepadaku, niscaya mereka tidak melakukan apa yang mereka
lakukan.” Di antara para muridnya yang dengan setia mengikuti perjalanan
gurunya hingga wafat adalah abuu Bakar al-syibli dan Abu Hasan al-Wasithi.
Al-junaidi juga ikut dalam kerumunan orang banyak tersebut, dan tidak lama
kemudian wafat.
Ibn
Suraij memberikan informasi bahwa Al-Hallaj adalah tipe sempurna ulama islam.
Ia hafal Al-quran dan syarat dengan pemahamannya, menguasai ilmu fikih dan
hadis, serta memiliki kemampuan tinggi dan sempurna dalam tasawuf. Pribadinya
pun dihiasi hampir dengan semua kesalehan (Ibnu Khalikan,t.t, II:144) sehingga
kepribadiannya ini mampu melahirkan karya-karya gemilang mengenai tasawuf.
b). Pemikiran A-Hallaj
1. Ajaran tentang al-Hulul
Menurut etimologi, kata
al-hulul adalah bentuk masdar dari fi’il: حل – يحل yang berarti “bertempat
di” atau “tinggal di”. Sedangkan kata adalah isim al-makan dari kata la di
atas, berarti tempat yang di tempati.[5]
Dikaitkan dengan konsep al-hulul (الحلول) di atas, maka tubuh
manusia dapat disebut mahall (المحل) .
Adapun
menurut terminologi, al-hulul adalah ajaran yang mengatakan bahwa Tuhan
memiliki tubuh manusia-manusia tertentu untuk bersemayam di dalamnya dengan
sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaannya yang ada dalam
tubuhnya dilenyapkan terlebih dahulu.[6]
Paham bahwa Allah dapat mengambil
tempat pada diri manusia, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang
mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu Lahut (ketuhanan)
dan nasut (kemanusiaan). Tuhan pun menurutnya, mempunyai sifat kemanusiaan di
samping sifat ketuhanan-Nya. Dengan dasar inilah maka persatuan antara Tuhan
dengan manusia bisa saja terjadi. Dan persatuan inilah, dalam ajaran al-Hallaj
disebut dengan al-hulul (mengambil tempat).
Paham
al-Hallaj di atas didasari oleh konsep penciptaan Adam. Menurutnya, sebelum
Tuhan menciptakan makhluk-Nya, Dia hanya melihat dirinya sendiri. Dalam
kesendirian-Nya itu terjadi dialog antara Dia dengan diri-Nya sendiri, dialog
yang di dalamnya tidak ada kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat-Nya hanyalah kemuliaan dan ketinggian
dzat-Nya. Dan Dia pun cinta terhadap dzat-Nya itu. Cinta yang tak dapat
disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab dari segala yang ada
(makhluk-Nya). Kemudian Dia pun
mengeluarkan dari yang tiada (العدم) bentuk dari diri-Nya dan
bentuk itu adalah Adam. Maka pada diri Adamlah, tuhan muncul dalam bentuk-Nya.
Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang
berasal dari Tuhan.
Dengan
cara demikian, maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam diri-Nya. Hal
tersebut didasarkan atas tafsiran-Nya terhadap firman Allah swt.:
واذ قلنا للملائكة
اسجدوا فسجدوا إلا ابليس أبى واستكبر وكلن من الكافرين.
Menurutnya,
ayat tersebut di pandang sebagai perintah kepada para malikat agar bersujud
kepada Nabi Adam, karena pada diri Adam Allah bersemayam atau menjelma
sebagaimana halnya dalam diri Isa a.s.
Paham
bahwa Allah menjadikan Adam menurut bentuk-Nya, dapat dipahami dari isyarat
yang terdapat dalam sebuah hadits yang sangat berpengaruh di kalangan sufi.
Hadits ini mengandung arti bahwa di dalam Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang
disebut Lahut manusia. Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan
itulah yang disebut Nasut Tuhan.[7]
Tentang sifat lhut dan nasut Tuhan, dapat dilihat dari syair al-Hallaj berikut:
سبحان من اظهر نسواه سرسنا لا هوته الشاقب تم
بدا المحلقة ظاهرا فى صورة الأكل والشباب........[8]
Mahasuci diri Yang sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum
Selanjutnya, menurut al-Hallaj untuk mencapai persatuan
dengan Tuhan dalam bentuk huful, maka sufi terlebih dahulu harus menghilagkan
nasutnya melalui alfana’. Jika sifat-sifat kemanusiaan telah hilang dan tinggal
hanyalah sifat ketuhanan (lahut) dalam diri manusia, maka pada saat itulah
Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam dirinya dan ketika itu pula roh
Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia (sufi).
Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut:
مزجت روحك فى روحى كما
تمزح الخمرة بالماء الزلال فاذا مسك شيئ مسنى فإذا انت فى كل حال
Jiwa-Mu disatukan
dengan jiwaku
Sebagaimana anggur
disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh,
aku disentuh pula
Maka, ketika itu dalam
tiap hal Engkau adalah aku
Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:
انا من اهوى انا نحن
روحنا حللنا بدنا فاذا ابصرتنى ابصرته واذا بصرته ابصرتنا
Aku adalah Dia Yang
kucintai,
Dan Dia yang kucintai
adalah ku,
Kami adalah dua jiwa
yang menempati satu tubuh,
Jika engkau melihat
aku, engkau lihat Dia,
Dan jika engkau lihat
Dia, Engkau lihat kami.
Ketika mengalami huful
yang digambarkan di atas itulah lidah al-Hallaj mengucapkan (Akulah yang Maha
Benar).[9]
Jika
demikian halnya, berarti al-Hallaj mengaku dirinya Tuhan. Tetapi sebagaimana
halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak mengandung arti pengakuan al-Hallaj
dirinya menjadi Tuhan. Sebab dalam syair lain dia mengatakan:
“Aku adalah rahasia Yang
Mahabesar”
Yang Mahabenar
bukanlah aku,
Aku hanya satu dari
yang benar,
Maka bedakanlah antara
kami.”
Dalam
syair diatas, al-Hallaj dengan jelas mengatakan bahwa dirinya bukanlah Yang
Mahabenar (Tuhan). Perkataan انا الحق haruslah dipahami sebagai kata-kata yang
keluar dari mulut seorang sufi dalam keadaan al-fana’ dalam keadaan tidak sadar
karena sedang mabuk bercinta dengan Tuhan. Kata menurut Harun Nasution,
bukanlah kata-kata al-Hallaj sendiri, akan tetapi dia adalah kata-kata Tuhan
yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj.
Ada
dua hal yang dapat dicatat dalam paham al-hulul yang dikemukakan oleh
al-Hallaj. Pertama, bahwa paham al-hulul merupakan pengembangan atau bentuk
lain dari mahabbah sebagaimana yang dibawa Rabi’ah al-Adawiyah. Hal ini
terlihat adanya kata-kata cinta yang dikemukakan al-Hallaj. Kedua, al-hulul
juga menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Namun
Harun Nasution membedakan persatuan rohaniah yang dialami oleh Abu Yazid dalam ittihad,
dengan kesatuan rohaniah yang dialami al-Hallaj melalui al-hulul. Dalam
persatuan melalui al-hulul ini, al-Hallaj kelihatannya tak hilang, sebagaimana
halnya dengan Abi Yazid dalam ittihad. Dalam ittihad, diri Abu Yazid hancur dan
yang ada hanya diri Tuhan. Dalam faham al-Hallaj, dirinya tak hancur sebagai
diungkapkan dalam syairnya tentang hulul di atas. Dengan kata lain, kalau dalam
ittihad, yang dilihat oleh Abu Yazid hanya satu wujud yaitu Tuhan, maka dalam
al-hulul ada dua wujud yang bersatu dalam satu tubuh manusia yang telah dipilih
Tuhan untuk ditempatinya.
2.5 Tasawuf Falsafi Ibn ‘Arabi
1). Biografi Ibn ‘Arabi
Biografi lengkap Ibnu ‘Arabi adalah Muhammad bin ‘Ali bin
Ahmad bin ‘Abdullah Ath-Tha’i Al-Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia
Tenggara, Spanyol, tahun 560 H., dari keluarga berpangkat, hartawan, dan
ilmuwan.[10]
Tahun 620 H., ia tinggal di Hijaz dan meningal di sana pada tahun 638 H.
Namanya biasa disebut tanpa “al” untuk membedakan dengan Abu Bakar Ibn
Al-‘Arabi, yaitu kakaknya yang menjabat qadhi dari Sevilla yang wafat tahun 543
H. Di Sevilla (Spanyol), ia mempelajari Al-Qur’an, hadist serta fiqh pada
sejumlah murid seorang faqih Andalusia terkenal, yakni Ibn Hazm Az-Zhahiri.
Di usia 6 tahun (568 H), karena situasi politik di Murcia
memburuk, keluarga Ibn ‘Arabi pindah ke Sevilla sebuah kota pendidikan sufi di
spanyol. Selain mendapat bimbingan ayahnya, di Sevilla ia juga dibimbing
beberapa guru dalam bidang tafsir, hadits, fiqih, teologi dan tasawuf. Bidang
tasawuf ia tekuni sejak ia berusia 20 tahun dengan mengunjungi beberapa tokoh
sufi di Andalusia. Setelah berusia 30 tahun, ia memulai berkelana ke berbagai
kawasan Andalusia dan kawasan islam bagian barat. Di antara deretan
guru-gurunya, tercatat nama-nama seperti Abu Madyan Al-Ghauts At-Talimsari[11]
dan Yasmin Musyaniyah (seorang wali dari kalangan wanita). Keduanya banyak
memengaruhi ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi.
Dikabarkan, ia pun pernah berjumpa dengan Ibn Rusyd, filosof muslim dan
tabib istana dinasti Barbar dari Alomohad, di Kordova. Ia pun dikabarkan
mengunjungi Al-Mariyyah yang menjadi pusat madrasah Ibn Masarrah, seorang sufi
falsafi yang cukup berpengaruh dan memperoleh banyak pengaruh di Andalusia. Di
tahun 598 H lawatannya dialihkan ke belahan timur yaitu Mesir, Hijaz, Irak dan
kemudia menetap di Damaskus hingga wafat di tahun 1240 M. (638 H).
Di antara karya
monumentalnya adalah Al-Futuhat
Al-Makiyyah yang ditulis pada tahun 1201 tatkala ia sedang menunaikan
ibadah haji. Karya lainnya adalah Tarjumn Al-Asywaq yang ditulisnya untuk
mengenang kecantikan, ketaqwaan dan kepintaran seorang gadis cantik dari
keluarga seorang sufi dari Persia. Karya lainnya, sebagaimana dilaporkan oleh
Muolvi, adalah Masyahid Al-Asrar, Mathali’ Al-Anwar Al-ilahiyyah, Hilyat
Al-Abdal, Kimiya’ As-Sa’adat, Muhadharat Al-Abrar Kitab Al-Akhlaq, Majmu’
Ar-Rasa’il Al-Ilahiyah, Mawaqi’ An-Nujum, Al-Jam’ wa At-Tafshil fi Haqa’iq
At-Tanzil, Al-Ma’rifah Al-Ilahiyah, dan Al-Isra’ ila Maqam Al-Atsna.[12]
Sebagai seorang sufi yang bertanggung jawab membimbing
umat, Ibn ‘Arabi banyak menuliskan nasihat dan wasiat yang sebagian besar
terangkum dalam kitab al-wasaya li Ibn ‘Arabi. Di antara wasiatnya adalah
mengenai salat witir sebelum tidur, ia menuturkan; hendaknya engkau
berhati-hati, jangan sampai tidur kecuali setelah menunaikan salat witir. Sebab
Allah menggenggam ruh manusia ketika sedang tidur dalam bentuk Dia melihat
diri-Nya pada ruh itu jika Dia melihat. Jika Dia berkehendak, dikembalikan-Nya
pada ruh itu dan jika Dia ingin menahannya maka akan Dia tahan meski ajalnya
telah tiba.
Setelah mengemukakan beberapa wasiatnya, Ibn ‘Arabi
menegaskan bahwa barang siapa memahami wasiat ini, maka ia akan mengetahui
kejadian manusia dan malaikat. Prinsipnya adalah satu, sebagimana halnya Tuhan
kitapun satu. Bagi-Nya adalah persamaan (al-asma) yang saling berlawanan karena
itu wujud pun berupa bentuk nama-nama itu.
Tasawuf yang dianut Ibn
‘Arabi adalah tasawuf falsafati yang oleh sebagian ulama ditantang keras,
karena tasawufnya dipandang mengandung ajaran yang menyimpang dari kebenaran,
namun demikian tidak sedikit pula kaum sufi menghormati dan menyanjungnya
sebagi sufi besar, ajarannya cukup bergema pada tarekat-tarekat yang berkembang
luas pada abad-abad sesudahnya. Salah satu faham yang dikembangkannya dalam
bidang tasawuf adalah faham wahdat al-wujud.
2). Pemikiran Ibn ‘Arabi
a.
Wahdat Al Wujud
Ajaran sentral Ibn ‘Arabi adalah tentang wahdat al-wujud
(kesatuan wujud). Meskipun demikian, istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk
menyebut ajaran sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dar
Ibn Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengecam dan mengkritik ajaran
sentral tersebut, atau setidak-tidaknya, Ibn Taimiyah yang telah berjasa dalam
memopulerkannya ke tengah masyarakat islam, meskipun tujuannya adalah negatif.
Di samping itu, meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdat
al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn ‘Arabi, mereka berbeda pendapat
dalam memformulasikan pengertian wahdat al-wujud.
Menurut Ibn Taimiyah, wahdat al-wujud adalah penyamaan
Tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham
wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib
al-wujud yang dimiliki oleh khaliq juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk.
Selain itu, orang-orang yang mempunyai paham wahdat al-wujud itu juga
mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud Tuhan, tidak ada perbedaan.[13]
Dari pengertian tersebut, Ibn Taimiyah telah menilai
ajaran sentral Ibn ‘Arabi dari aspek tasybih-nya (penyerupaan khaliq dengan
makhluk) saja, tetapi belum menilainya dari aspek tanzih-nya (penyucian
khaliq). Sebab kedua aspek itu terdapat dalam ajaran Ibn ‘Arabi. Akan tetapi,
perlu pula disadari bahwa kata-kata Ibn ‘Arabi pun banyak yang membawa pada pengertian
seperti yang dipahami oleh Ibn Taimiyah meskipun di tempat lain terdapat
kata-kata Ibn ‘Arabi yang membedakan antara Kahliq dengan makhluk dan antara
Tuhan dengan alam.
Menurut Ibn ‘Arabi, wujud
semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikaktnya adalah wujud
Khaliq pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (Khaliq dan makhluk) dari segi
hakikatnya. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud Khaliq dan makhluk
ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang panca indra lahir dan akal
yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada apa Dzat-Nya
dari kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul
dalam ucapan Ibn ‘Arabi berikut ini:
سبحان من أظهر الشياء وهو عينها.
Artinya: “Mahasuci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia
sendiri adalah hakikat segala sesuatu itu.”[14]
Menurut Ibn ‘Arabi, wujud
alam pada hakikat alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang
disebut Khaliq dengan wujud yang baru yang disebut makhluk. Tidak ada perbedaan
antara ‘abid (menyembah) dengan ma’bud (yang disembah). Bahkan, antara yang menyembah
dan yang disembah adalah satu. Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari
hakikat yang satu. Untuk pernyataan tersebut, Ibn ‘Arabi mengemukakannya lewat
sya’irnya berikut.
العبد رب والرب عبد # ياليت شعوري من المكلف
إن قلت عبد فذاك رب # أو قلت رب أنى يكلف
Artinya: “Hamba adalah Tuhan, dan Tuhan adalah hamba.
Demi syu’ur (perasaan) ku, siapakah yang mukallaf?
Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga.
Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibekali taktid?[15]
Kalau antara Khaliq dan
makhluk bersatu dalam wujudnya, mengapa terlihat dua? Ibn ‘Arabi menjawab,
sebabnya adalah manusia tidak memandangnya dari sisi yang satu, tetapi
memandang keduanya dengan pandangan bahwa keduanya adalah Khaliq dari sisi yang
lain. Jika mereka memandang keduanya,
yakni dzatnya satu yang tidak terbilang dan berpisah.
Sehubungan dengan hal tersebut, Ibn ‘Arabi pun menyatakan
dalam sya’irnya sebagi berikut:
فلحق خلق بهذا الوجه
فاعتنبوا
وليس خلقا بذاك الوجه فاذكروا
من يدرما قلت لهم تخذل
بصيرته
وليس يدريه إلا من له بصر
جمع وفرق فإن العين
واحد
وهي الكثيرة لا تبقى ولا تذر
Artinya: “Pada satu sisi, Al-Haq adalah makhluk,
maka pikirkanlah.
Pada sisi lain, Dia bukanlah makhluk, maka
renungkanlah.
Siapa saja yang menagkap apa yang aku katakan,
penglihatannya tidak akan pernah kabur.
Tidak ada yang akan dapat menangkapnya, kecuali
orang yang memiliki penglihatan.
Satukan dan pisahkan (bedakan), sebab ‘ain
(hakikat) itu sesungguhnya hanya satu.
Hakikatnya itu adalah yang banyak, yang tidak kekal
(tetap) dan yang tidak pula buyar.”
Dari
keterangan di atas terkesan bahwa wujud Tuhan adalah juga wujud alam dan wujud
Tuhan adalah juga wujud alam dan wujud Tuhan bersatu dengan wujud alam yang
dalam istilah Barat disebut Panteisme dan didefinisikan Henry.
Apabila dilihat dari segi adanya
kesamaan antara wujud Tuhan dan wujud alam dan wujud alam, kemudian
dibandingkan dengan pengertian panteisme, pemahaman Ibn Taimiyah tetntang
wahdat al-wujud ada benarnya. Panteisme adalah teori yang berpendapat bahwa
segala sesuatu yang terbatas adalah aspek modifikasi atau bagian belaka dari
satu wujud yang kekal dan ada dengan sendirinya.
Ajaran wahdat al-wujud ini
mirip (dan mungin pengembangan diri) ajaran al-hulul yang dibawa al-Hallaj.
Kalau dalam al-hulul Allah yang menempatkan diri dalam tubuh manusia dinamakan
lahut, sedangkan dalam wahdat al-wujud disebut al-haq, demikian pula kalau
hakikatnya hanya satu sebagai wujud mutlak dan karena adanya kesatuan wujud
inilah maka paham yang dikembangkan Ibn ‘Arabi disebut wahdat al-wujud.
Dalam kitabnya al-futuhat al-Makkiyah dapat ditemukan
beberapa statemen Ibn ‘Arabi yang berkaitan dengan doktrin wahdat al-wujud
misalnya wujud tiada lain dari al-Haqq, karena tidak ada sesuatu pun dalam
wujud, selain Dia. Tiada yang tampak dalam wujud melalui wujud kecuali al-Haqq,
karena wujud adalah al-haqq dan Dia adalah satu. Tidak ada keserupaan dalam
wuud dan tidak ada pertentangan dalam wujud, karena sesungguhnya wujud adalah
satu realitas dan sesutau tidak bertentang dengan diri-Nya sendiri.[16]
Meski
demikian, perlu diingat bahwa apabila Ibn ‘Arabi menyebut wujud, maksudnya
adalah wujud yang mutlak, yaitu wujud Tuhan. Satu-satunya wujud, menurut Ibn
‘Arabi adalah wujud Tuhan. Tidak ada wujud selain wujud-Nya. Ini berarti, apa
pun selainTuhan, baik berupa alam maupun apa saja yang ada di alam dan tidak
memiliki wujud. Kesimpulannya, kata wujud tidak diberikan kepada selain Tuhan.
Akan tetapi, kenyataannya, Ibn ‘Arabi juga menggunakan kata wujud untuk
menyebut sesuatu selain Tuhan. Namun, ia mengatakan bahwa wujud itu hanya
kepunyaan Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam, hakikatnya adalah wujud
Tuhan yang dipinjamkan kepadanya. Untuk memperjelas uraianya, Ibn ‘Arabi
memberikan contoh berupa cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan
kepada para penghuni bumi.
Dalam
bentuk lain, dapat dijelaskan bahwa makhluk diciptakan oleh Khaliq (Tuhan) dan
wujudnya bergantung pada wujud Tuhan sebagai sebab dari segala yang berwujud
selain Tuhan. Yang berwujud selain Tuhan
tidak akan mempunyai wujud, seandainya Tuhan tidak ada. Oleh karena itu,
Tuhanlah sebenarnya yang mempunyai wujud hakiki, sedangkan yang diciptakan
hanya mempunyai yang bergantung pada wujud luar dirinya, yaitu wujud Tuhan.
Selanjutnya,
Ibn ‘Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dengan alam. Menurutnya, alam
adalah bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam tidak mempunyai
wujud yang sebenarnya. Oleh karena itu, alam merupakan tempat tajali dan mazhar
(penampakan) Tuhan.
Menurut
Ibn ‘Arabi, ketika Allah menciptakan alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat
ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti
badan yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia untuk memperjelas
cermin itu. Dengan pernyataan lain, alam ini merupakan mazhar (penampakan) dari
asma dan sifat Allah yang terus-menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya itu
akan kehilangan makna dan senantiasa dalam bentuk dzat yang tinggal dalam
ke-mujarrad-an (kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapa pun.
Pandangan Ibn ‘Arabi tentang proses penciptaan alam tidak terlepas dari pandangan tentang alam
semesta yang merupakan tajalli, Tuhan lewat asma dan sifat-Nya. Sehingga proses
penciptaan menurut Ibn ‘Arabi dipandang sebagai luapan dari nilai-nilai samawi
dalam artian wujud alam ini dikeluarkan dan diwujudkan dari keadaan tiada
(al-‘adam) menjadi ada, sebagai diutarakan Ibn ‘Arabi:
الحمد لله الذى أوجد
الأهيا من مدم وعدمه
Maksudnya: Segala puji bagi Allah yang telah
mewujudkan sesuatu dari tiada dan ketiadaan.
Menurut Ibn ‘Arabi, al-‘adam
dalam kaitannya dengan proses penciptaan adalah ketiadaan wujud di luar
diri-Nya. Segala yang ada pastilah bersumber dari dzat-Nya, sehingga al-‘adaam
itu berarti ketiadaan wuud empirik, namun nyata dalam hakikatnya dan kekal dalm
ilmu pengetahuan, sebab setiap saat akan menjadi wujud yang konfkrit di saat
Tuhan menghendakinya.
Dalam Fushush Al-Hikam, Ibn
‘Arabi menjelaskan hal tersebut dengan ungkapan sya’irnya:
وما الوجه إلا واحد,
غير انه إذا أنت أعددت امرايا تعددا.
Artinya: “Wajah itu sebenarnya hanya satu,
tetapi jika anda perbanyak cermin, ia pun menjadi banyak.”
Untuk memperkuat pendiriannya
itu, Ibn ‘Arabi merujuk sebuah hadis Qudsi:
كنت كنزا مخفيا فأ حببت
أن أعرف فخلقت الخلق فبه عرفوني.
Artinya: “Aku pada mulanya adalah perbendaharaan
yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Ku ciptakan makhluk. Lalu,
dengan itulah mereka mengenal aku”.
Diilhami oleh riwayat di atas, Ibn ‘Arabi mengemukakan
statemen bahwa keberadaan realitas sebagai suatu yang tidak akan dapat
diketahui wujudnya tanpa ia ada dan diketahui keberadaanya. Oleh karena itu keberadaan realitas tidaklah
mungkin ada dengan sendirinya tanpa ada yang mewujudkan, sebaliknya yang
mewujudkan juga tidak akan mungkin dapat diketahui tanpa ada sesuatu yang ia
wujudkan punya keterikatan yang tak terpisahkan.
Selanjutnya, Ibn ‘Arabi
menjelaskan bahwa firman Allah, ليس كمثله شيء mengandung pengertian,
“Tanzihkan-lah Dia”, sedangkan firman-Nya, وهو السميع البصير mengandung pengertian,
“Tasybihkan-lah Dia”. Dengan
demikian, firman Allah, ليس كمثله شيء وهو
السميع البصير mengandung pengertian, “Tasybih-kanlah Dia
dan jadilah dualistis, dan Tanzih-kanlah Dia dan jadilah monistis.
Dari
kutipan-kutipan di atas, jelas sekali bahwa Ibn ‘Arabi masih membedakan antara
Tuhan dan alam, dan wujud Tuhan itu tidak sama dengan wujud alam. Meskipun di
satu sisi terkesan menyamakan Tuhan dengan alam, di sisi lain ia menyucikan
Tuhan dari apa adanya persamaaan. Di samping itu, jika merujuk pada definisi
panteisme yang telah dirumuskan oleh Norman L. Geisler yang menyatakan tidak
ada pencipta di luar alam, wahdat al-wujud menurut konsep Ibn ‘Arabi masih
mengakui bahwa alam ini diciptakan Tuhan dan Tuhan itu di luar alam, sedangkan
alam hanya merupakan mazhar-Nya, mazhar asma dan sifat-sifat-Nya, sebab Ibn
‘Arabi memandang ajarannya sebagai ajaran tauhid yang mensucikan dzat Tuhan
dari persamaan dan persekutuan dengan segala makhluk-Nya, tidak ada maujud yang
hakiki kecuali dzat yang mahakuasa.
b. Haqiqah Muhammadiyah
Tuhan Allah adalah suatu dan
satu. Dialah Wujud Yang Mutlak. Maka Nur (cahaya) Allah itu sebagian dari
dirinya. Itulah Hakikat Muhammadiyah. Dari padanyalah terjadi segala alam dalam
setiap tingkatnya. Seumpama alam jabarut, alam malakut, alam mitsal, alam
ajsam, dan alam arwah. Dia segenap kesempurnaan ilmu dan amal, yang terdapat
pada Nabi sejak Adam sampai Muhammad dan sampai kepada wali-wali.
Menurut
Ibn ‘Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaannya
adalah sebagai berikut:
1. Tajalli dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah.
2.
Tanazul dzat Tuhan
dari alam ma’ani ke alam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah, yaitu alam
arwah yang mujarrad.
3.
Tanazul kepada
realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir.
4.
Tanazul Tuhan dalam
bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide) atau khayal.
5. Alam materi, yaitu alam indrawi.
Selain itu, Ibn ‘Arabi
menjelaskan bahwa terjadinya alam ini tidak bisa dipindahkan dari ajaran
Haqiqah Muhammadiyyah atau Nur Muhammad.
Dia tetap ada, Hakikat Muhammadiyah
itulah yang memenuhi tubuh Adam dan Muhammad. Dan apabila Muhammad telah mati
sebagai tubuh namun Nur Muhammad atau Hakikat Muhammadiyyah itu tetaplah ada,
sebab dia sebagian dari Tuhan. Jadi: Allah, Adam, Muhammad adalah satu.
Menurutnya, tahapan-tahapan
kejadian proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat
dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, wujud Tuhan sebagai
wujud mutlak, yaitu dzat yang mandiri dan tidak berhajat kepada suatu apa pun.
Kedua, wujud Haqiqah
Muhammadiyyah sebagai emanasi (pelimpahan) pertama dari wujud Tuhan dan dari
sini muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-tahapannya sebagimana yang
dikemukakan di atas.
Dengan demikian, Ibn ‘Arabi
menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini diciptakan dari tiada
(cretio ex nihilio) akan tetapi berawal dari wujud potensial yang menjadi inti
dari segala yang ada. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa Nur Muhammad itu qadim
dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan
amaliah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak adam sampai Muhammad
dan kalangan para wali dan person-person insan kamil (manusia sempurna). Ibn
‘Arabi kadang-kadang menyebut hakikat Muhammadiyyah tersebut dengan quthb dan
kadang-kadang pula dengan ruh al-khatam.[17]
Demikianlah kumpulan faham ini
yang telah dipopulerkan. Kalau kita selidiki ke dalam kitab-kitab Ibnu ‘Arabi
sendiri, bila kita hendak menangkap kesimpulan itu, kita akan bertemu dengan
berbagai “jalan keluar” yang telah disediakannya, yaitu kata-kata rumus dan
isyarat.
c. Wahdatul Adyan (kesatuan agama)
Adapun yang berkenan dengan konsepnya
wahdat al-adyan (kesatuan agama), Ibn ‘Arabi memandang bahwa sumber agama
adalah satu, yaitu hakikat Muhammadiyah. Konsekuensinya, semua agama adalah
tunggal dan semua itu kepunyaan Allah. Seorang yang benar-benar arif adalah
orang yang menyembah Allah dalam setiap bidang kehidupannya. Dengan kata lain,
dapat dinyatakan bahwa ibadah yang benar hendaknya seorang abid memandang semua
apa saja sebagai bagian dari ruang lingkup realitas dzat Tuhan yang tunggal
sebagaimana yang dikemukakannya dalam sya’irnya:
“kini kalbuku bisa
menampung semua
Ilalang perburuan
kijang atau biara pendeta
Kuil pemuja berhala
atau ka’bah
Lauh Taurah dan mashaf
Al-Quran
Aku hanya memeluk
agama cinta ke mana pun kendaraan-kendaraanku mengahadap. Karena cinta adalah
agamaku dan imanku.”
Jadi agama itu semuanya, walaupun
beragam bagi namanya tuuan atau isisnya hanya satu. Tidaklah patut ada
perselisihan di antara satu dengan yang lain. Faham kesatuan agama ini amat
besar pengaruhnya. Jika dahulu oleh al-Hallaj hanya sebagian pancaran perasaan,
bagi Ibnu ‘Arabi adalah satu filsafat pandangan hidup. Orang-orang yang
mempercayai dan penuh iman dalam agamanya dengan sendirinya harus timbul rasa
kesatuan agama itu dalam hatinya.
Apabila
agama telah diiringkan oleh keluasan pengetahuan dan dihindarkan segala fanatik
dan taklid, lalu kembali kepada kemurnian fitrah insani, dengan sendirinya akan
timbullah kesatuan inti-sari agama, walaupun tempat manusia tegak itu
berlain-lain. Menurut para penulis, pernyataan Ibn ‘arabi ini terlalu
berlebihan dan tidak punya landasan yang kuat sebab agama-agama berbeda-beda
satu sama lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Tasawuf Falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya
memadukan antar visi mistis dan visi rasional pengasasnya. Tasawuf Falsafi
menggunakan terminology filosofis dalam pengungkapannya yang berasal dari
bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang
mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju
ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah)
melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan
pemikiran-pemikiran filsafat.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka. 1993. Tasauf, Perkembangan dan Pemurnianya.
Jakarta: PT Pustaka Panjimas
Suryadilaga, M. Alfatih. 2008. Miftahus Sufi.
Yogyakarta: Penerbit Teras
Mufid, Husnu. 2009. Tokoh Wahdatul Wujud. Bantul:
Kreasi Wacana Offset
Sholikin, Muhammad. 2008. Tradisi Sufi dari Nabi. Yogyakarta: Cakrawala
Solihin & Anwar, Rosihan. 2008. Ilmu Tasawuf.
Bandung: Pustaka Setia.
[1]
Abu wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani. Tasawuf islam. Jakarta: 233-235
[2] Abu Hussein Ahmad bin Faris bin Zakariya,
mu’jam Maqdiyis al-Lughah (Kairo Mustafa al-Halabi, 1969), h. 276.
[3]
K.H. Muhammad Sholikin. Tradisi sufi dari nabi.Yogyakarta. hal: 179
[4]
Ibid, hal: 180
[5] Ibn Manzur, Lisan al-Arab, jilid IX
(Beirut; Dar al-Fikr, t.th.), h. 163.
[6] Abu Nasr al-Tusi, al-Luma’ (Mesir: Dar
al-Kutub al-Hadisat, 1960), h. 541.
[7] Harun Nasution, Konstektualisasi, 174.
[8] Ibrahim Basyuni, Nasy’at al-Tasawuf
al-Islami, (Mesir: Dar al-Ma’arif, t.th).
[9] Harun Nasution, Konstektualisasi, 175.
dalam istilah para sufi, kata-kata seoerti al-Haqq, yang berarti Yang Maha
Benar digunakan dalam arti Tuhan sang Pencipta, sebagai lawan dari al-Khalaq
(ciptaan) lihat R. Nicolson, The Idea a of Personality in Sufisme (Delhi:
Idarah-i Adabiyat-i Delhi 1976), h. 29.
[10] Ahmad Mubarok, “Tasawuf dan Psikologi
Islam”, dalam Jurnal Refleksi, vol. Vi, no. 1, 2004, Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2004, h. 193
[11] Ibid., h. 201
[12] Maolavi S.A.Q. Husaini, Ibn Al-‘Arabi,
Muhammad ashraf Lahore, t.t., h. 34-36
[13] Muhammad Mahdi Al-Istanbuli, Ibn Taimiyah:
Bathal Al-Ishlah Ad-Diniy, Dar Al-Ma’rifah, Damaskus, 1397 H/1977, h. 59.
[14] Ibn ‘Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyyah jilid
II, Dar Shadir, Beirut, t.t., h. 604
[15] Ibn ‘Arabi, Fushush Al-Hikam wa
At-Ta’limat ‘alaih, Ed. Abu Al-‘Ala ‘Afifi, Dar al-Fikt, Beirut, t.t., h. 92.
[16] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat, vol. IV, 216-219;
dan Fusus al-Hikam, vol II (Beirut: Dar al-Kitab al’Arabi, 1980), h. 90.
[17] Muhammad Yasir Syaraf, Harakat At-Tasawuf Al-Islami,
Al-Hai’at Al-Mishriyyah Al-‘Ammah li Al-Kitab, Mesir, 1987, h. 211-222.
No comments:
Post a Comment