MAKALAH
PENDEKATAN KEPEMIMPINAN
Dosen Pembimbing :
Vivin Maharani, M.Si
Disusun Oleh:
M. Adib Zen (09510135)
Siti Rohmawati (11510051)
Roro Suci Palasari (11510102)
Mohamad Bastomi (11510131)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2013
KATA PENGANTAR
Dengan
memanjatkan Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, karena berkat rahmat, taufik serta
hidayahnya kami masih diberi kesempatan dan kemampuan untuk menyusun
makalah dengan judul “PENDEKATAN
KEPEMIMPINAN guna memenuhi tugas Semester empat.
Tersusunnya makalah ini tidak lepas dari bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan banyak-banyak
terimakasih kepada:
- Ibu Vivin
Maharani, M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah TEORI DAN PERILAKU
ORGANISASI yang memberikan arahan dan masukan dalam makalah ini.
- Serta semua
pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini yang tidak
mingkin kami sebutkan satu persatu.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempuran. Demi tercapainya
suatu kesempurnaan kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Demikaian hal yang dapat kami sampaikan, kami
berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca.
Malang, 08 April 2013
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepemimpinan
adalah subyek yang telah lama menarik perhatian banyak orang. Istilah yang
mengkonotasikan citra individual yang kuat dan dinamis yang berhasil memimpin
di bidang kemiliteran, memimpin perusahaan yang sedang berada di puncak
kejayaan, atau memimpin negara.
Sehingga
berbagai pertanyaan pun muncul tentang kepemimpinan yang telah lama menjadi
sunyek spekulasi, tetapi penelitiannya sendiri secara ilmiah baru dimulai
setelah abad kedua puluh. Fokus perhatian dari para peneliti lebih banyak pada
aspek efektivitas kepemimpinan. Para ilmuwan sosial berusaha untuk mengetahui
ciri-ciri, kemampuan, perilaku, sumber-sumber kekuasaan atau aspek situasi yang
menentukan bagaimana pemimpin yang baik dapat mempengaruhi para pengikutnya dan
meyelesaikan masalah di dalam kelompoknya.
Suatu
organisasi akan berhasil atau bahkan gagal sebagian besar ditentukan oleh
kepemimpinan. Suatu ungkapan mengatakan bahwa pemimpinlah yang bertanggung
jawab atas kegagalan pelaksanaan suatu pekerjaan, merupakan ungkapan yang
mendukung posisi pemimpin dalam suatu organisasi pada posisi yang terpenting.
Sementara
itu seorang pemimpin juga digambarkan sebagai seorang pengembala, dan setiap
pengembla akan ditanyakan tentang perilaku penggembalaannya. Dimana
ungkapan ini membuktikan bahwa seorang
pemimpin apapun wujudnya, dimanapun letaknya akan selalu
mempunyai beban untuk mempertanggung jawabkan kepemimpinannya. Pemimpin seperti
ini lebih banyak bekerja dibandingkan berbicara, lebih banyak memberikan
contoh-contoh baik dalam kehidupannya dibandingkan berbicara besar tanpa bukti,
dan lebih banyak berorientasi pada bawahan dan kepentingan umum di bandingkan
dari orientasi dan kepentingan diri sendiri.
Membicarakan
kepemimpinan memang menarik dan dapat dimulai dari sudut mana saja. Dari waktu
ke waktu kepemimpinan kepemimpinan menjadi perhatian manusia. Ada yang
berpendapat masalah kepemimpinan itu sama tuanya dengan sejarah manusia.
Kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya suatu keterbatasan dan
kelebihan-kelebihan tertentu pada manusia. Disatu pihak manusia memilki
kemampuan terbatas untuk memimpin, di pihak lain ada orang yang mempunyai
kelebihan kemampuan untuk memimpin. Di sinilah timbul kebutuhan akan pemimpin
dan kepemimpinan.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa Defininisi dari sebuah kepemimpinan ?
2. Apa penyebab munculnya
kepemimpinan beserta teorinya ?
3. Apa perbedaan
kepemimpinan dengan managemen ?
4. Apa saja studi
kepemimpinan yang muncul ?
5. Teori apa saja yang masuk masuk pada teori kepemimpinan
tradisional ?
6. Teori apa saja yang masuk
pada teori kepemimpinan modern ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui dengan jelas definisi dan
pengertian kepemimpinan.
2. Mengetahui beberapa penyebab munculnya
seorang pemimpin berdasarkan teori yang ada.
3. Mengetahui dengan jelas perbedaan antara
kepemimpinan dan managemen.
4. Mengetahui studi kepemimpinan yang pernah
muncul beserta pengaruh yang timbul.
5. Mampu membedakan teori-teori yang masuk
pada teori kepemimpinan tradisional.
6. Mampu membedakan teori-teori yang masuk
pada teori kepemimpinan modern.
BAB II
PEMBAHASAN
Kepemimpinan adalah proses yang sangat penting dalam
setiap organisasi karena kepemimpinan inilah yang akan menentukan sukses atau
gagalnya sebuah organisasi. Salah satu elemen pokok yang menjadi perhatian
setiap organisasi adalah bagaimana caranya untuk menarik, melatih, dan
mempertahankan orang-orang yang akan menjadi pemimpin-pemimpin yang
efektif.
Para peneliti telah menentukan bahwa banyak
praktik-praktik kepemimpinan tipikal sekarang ini tidak akan bias berjalan
dengan baik pada masa mendatang, dan hal ini tidak diartikan akan terjadi dalam
rentang waktu yang lama, tetapi relative segera. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa beberapa cara dalam memimpin sekarang mungkin sebagian besar sudah tidak
efektif lagi karena prkembangan yang cepat dari tuntutan-tuntutan baru tentang
tenaga kerja, kualias dan kuantitas pekerjaan, dan kondisi tempat kerja.
Banyak studi yang menunjukkan bahwa variasi dalam
perilaku seorang pemimpin biasanya memiliki hubungan dengan variasi dalam moral
kelompok atau produkvitas kelompok. Oleh karena itu, yang perlu kita ketahui
adalah bagaimana untuk memilih orang-orang yang memiliki pendekatan yang baik
dan benar, bagaimana melatih mereka, dan di mana menempatkan mereka. Untuk
mengerjakan ini semua secara baik, dituntut suatu pengertian yang jelas dan
tepat tentang apa yang dimaksudkan dengan kepemimpinan.
2.1 Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan bukanlah suatu
watak yang secara umum diterima seperti “kharismatik”, sangat berpengaruh , atau sangat disukai,
situasi tertentu sesuatu yang berhubungan dengan produktivitas kelompok pada
situasi tertentu yang diberikan.([1]) Kepemimpinan
yang akan dianggap terbaik, tergantung adanya kombinasi yang tepat antara
karakteristik pribadi dengan situasi spesifik yang dihadapi di tempat kerja.
Miftha Thoha dalam bukunya Prilaku Organisasi (1983: 255). Pemimpin
adalah seseorang yang memiliki kemampuan memimpin, artinya memiliki kemampuan
untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok tanpa mengindahkan bentuk
alasannya.
Kartini Kartono (1994 : 33). Pemimpin adalah seorang pribadi yang
memiliki kecakapan dan kelebihan khususnya kecakapan dan kelebihan disatu
bidang, sehingga dia mampu mempengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama
melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, demi pencapaian satu atau beberapa tujuan.
Mantan presiden Soeharto menjelaskan pengertian kepemimpinan berdasarakan
asas kepemimpinan Hasta Brata (delapan laku kepemimpinan). Delapan laku
tersebut antara lain:
·
Lir Surya (matahari) Dengan lambang ini
diharapkan seorang pemimpin dapat berfungsi seperti matahari bagi yang
dipimpin. Dapat memberi semangat, memberi kekuatan dan daya hidup bagi
orang-orang yang dipimpinnya.
·
Lir Candra (bulan) Dengan lambang ini seorang
pemimpin hadaknya berfungsi sebagai bulan, yakni membuat senang bagi anggotanya
dan memberi terang pada waktu gelap. Ketika dalam keadaan sulit, Sang pemimpin
mampu tampil untuk memberi jalan terang atau jalan keluar dari kesulitan.
·
Lir Kartika (bintang) Bintang adalah sebagai
pedoman bagi pelaut atau pengarung samudra. Dengan lambang ini pemimpin
handaknya berteguh iman takwa, memiliki teguh pendirian sehingga menjadi
pedoman dan panutan bagi rakyatnya yang mungkin kehilagan arah.
·
Lir Samirana (angin) Dengan lambang ini,
diharapkan seorang pemimpin bersifat seperti angin, teliti, tidak mudah
dihasut. Dia harus “manjing ajur ajer” bergaul dengan rakyat lapisan manapun,
guna mencari masukan untuk menetapakan kebijakan dan keputusan.
·
Lir Mega mendung (awan hujan) Mendung memberi
kesan menakutkan, tapi apabila hujan turun akan bermanfaat bagi bumi. Dengan
lambang ini, pemimpin diharapkan dapat tampil berwibawa, namun keputusan dan
kebijakan yang diambilnya hemdaknya bermanfaat bagi yang dipimpinnya.
·
Lir Dahana (api) Dengan lambang ini,
diharapkan seorang pemimpin tegas dan keras seperti api dalam menegakkan
disiplin dan keadilan.
·
Lir Samudra (laut atau samudra) Dengan lambang
ini, diharapkan pemimpin berwawasan luas, sanggup menerima dan mendengar
persoalan, menyaringnya dan membuat suasana menjadi jernih
kembali tanpa ada rasa dendam.
·
Lir Bantala (bumi) Dengan lambang ini,
diharapkan pemimpin tidak hanya mau berada diatas, tetapi juga bersedia
dibawah. Sang pemimpin seolah-olah menjadi tempat pijakan, sentosa budinya,
jujur dan murah hati bagi anak buahnya.
Menurut Robbins (1993), kepemimpinan itu
didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi sebuah kelompok
menuju pencapaian tujuan kelompok. Sumber dari pengaruh ini bisa saja formal
seperti pengaruh yang diberikan oleh kedudukan manajerial tingkat tertentu
dalam organisasi/perusahaan. Karena posisi manajemen biasanya disertai
kewenangan tertentu yang secara resmi diberikan oleh organisasi, seseorang yang
menjalankan peran kepemimpinan tersebut hanya sebatas posisi yang dipegangnya
dalam organisasi itu. Tetapi, harus diingat bahwa tidak semua manajer adalah
pemimpin. Para pemimpin bisa muncul dari
dalam kelompoknya sendiri, tetapi juga bisa dengan penunjukan formal untuk memimpin
sebuah kelompok. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan merupakan pola hubungan,
kemampuan mengkoordinasi, memotivasi,
kemampuan mengajak, membujuk dan mempengaruhi orang lain.
2.2. Munculnya Kepemimpinan
Untuk mengetahui penyebab
munculnya pemimpin, sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu apa motivasi
seseorang muncul menjadi pemimpin dan apa yang harus ditempuh untuk mendapatkan
posisi tersebut. Sudah jelas bahwa posisi tersebut dapat memberikan keuntungan-keuntungan
ekonomis yang lumayan, penghargaan-penghargaan, penghormatan. Semakin menantang
jabatan seseorang, maka semakin semakin tinggi jabatan seseorang dalam
organisasi, makin banyak input atau dampak yang dimilikinya terhadap
kebijaksanaan organisasi. Jadi, banyak kemungkinan munculnya perasaan
keberhasilan dan kesuksesan yang lebih besar buat mereka ini.
Tetapi, harus diingat bahwa untuk menjadi pemimpin,
keinginan saja tidaklah cukup. Ada beberapa watak dan karakteristik yang lebih
memungkinkan seseorang untuk mencapai jabatan pimpinan. Stogdill (cit.
Mitchell, 1985) mengambil kesimpulan pertama dari bukti positif
penelitian-penelitian sebelumnya:
a) Umumnya orang yang menduduki jabatan
pimpinan melebihi rata-rata anggota kelompoknya, dalam hal-hal berikut ini:
·
Intelegensia
·
Tingkat pendidikan
·
Ketergantungan pada tangggung jawab yang dipikul
·
Aktivitas dan partisipasi sosialnya
·
Status sosioekonominya.
b) Kualitas, karaktristik, dan keterampilan
yang diperlukan seorang pemimpin ditentukan oleh besarnya tuntutan-tuntutan situasi yang
dihadapinya sebagai pemimpin.
Dari bukti-bukti penelitian lainnya, dapat ditarik kesimpulan
kedua bahwa rata-rata orang yang menduduki jabatan pemimpin melebihi rata-rata
anggota kelompoknya dalam hal-hal berikut ini : a) sosiabilitas, b) inisiatif,
c) ketegaran hati, d) mengetahui bagaimana pekerjaan-pekerjaan itu dan untuk
dilaksanakan orang-orang lain, e) percaya diri, f) kewaspadaan atau intropeksi
terhadap situasi-situasi tertentu, g) kooperatif, h) popularitas, i) kemampuan
adaptasi, dan j) fasilitas verbal.
Dalam hal ini, dua hal penting yang perlu dicatat.
Pertama, watak atau karakteristik tersebut adalah sesuatu yang secara esensial
diharapkan seseorang. Orang-orang yang
memperjuangkan posisi pimpinan sebaiknya memiliki karakteristik tertentu yang
dapat membantu penyesuaian dengan orang lain, tetapi masih mampu menyelesaikan
pekerjaan melalui orang-orang tersebut. Kedua, yang paling penting adalah
keterampilan dan kemampuan yang ditunjang dengan kebugaran, dan keindahan
fisik.
Pada kesimpulan studi Dipboye et al. (1977) tentang
prospektif para calon yang akan memegang posisi manajerial, disebutkan bahwa
kaum laki-laki lebih disukai daripada kaum wanita, calon-calon menarik secara
fisik lebih sering dipilih daripada calon-calon yang tidak menarik, dan
orang-orang yang berkualifikasi rendah. Jadi, jenis kelamin, daya tarik fisik
dan kompetisi merupakan factor-faktor yang penting dalam seleksi untuk posisi
manajerial. Selain itu, sejumlah karakteristik personal, interpersonal, dan situasional
berpengaruh terhadap seseorang yang akan menjadi pemimpin.
Teori Kelahiran Kepemimpinan
Para ahli teori kepemimpinan
telah mengemukakan beberapa teori tentang timbulnya Seorang Pemimpin. Dalam hal
ini terdapat 3 (tiga) teori yang menonjol (Sunindhia dan Ninik Widiyanti,
1988:18), yaitu:
a. Teori Genetik
Penganut
teori ini berpendapat bahwa, “pemimpin itu dilahirkan dan bukan dibentuk” [Leaders are born and not made]. Pandangan
terori ini bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin karena “keturunan” atau ia
telah dilahirkan dengan “membawa bakat” kepemimpinan. Teori keturunan ini, dapat saja terjadi, karena seseorang dilahirkan telah “memiliki potensi”
termasuk “memiliki potensi atau bakat” untuk memimpin dan inilah yang disebut
dengan faktor “dasar”. Dalam realitas,
teori keturunan ini biasanya dapat terjadi di kalangan bangsawan atau
keturunan raja-raja, karena orang tuanya menjadi raja maka seorang anak yang
lahir dalam keturunan tersebut akan diangkan menjadi raja.
b. Teori Sosial
Penganut teori ini berpendapat bahwa, seseorang yang menjadi pemimpin dibentuk dan
bukan dilahirkan (Leaders are made and not born). Penganut teori berkeyakinan bahwa semua orang
itu sama dan mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin. Tiap orang mempunyai potensi
atau bakat untuk menjadi pemimpin, hanya saja paktor lingkungan atau faktor
pendukung yang mengakibatkan potensi tersebut teraktualkan atau tersalurkan
dengan baik dan inilah yang disebut dengan faktor “ajar” atau “latihan”.
Pandangan penganut teori ini
bahwa, setiap orang dapat dididik, diajar, dan dilatih untuk menjadi
pemimpin. Intinya, bahwa setiap orang
memiliki potensi untuk menjadi pemimpin, meskipun dia bukan merupakan atau berasal
dari keturunan dari seorang pemimpin atau seorang raja, asalkan dapat dididik,
diajar dan dilatih untuk menjadi pemimpin.
c. Teori
Ekologik
Penganut teori ini berpendapat
bahwa, seseorang akan menjadi pemimpin
yang baik “manakala dilahirkan” telah memiliki bakat kepemimpinan. Kemudian bakat
tersebut dikembangkan melalui
pendidikan, latihan, dan pengalaman-pengalaman yang memungkinkan untuk
mengembangkan lebih lanjut bakat-bakat yang telah dimiliki.
Jadi, inti dari teori ini yaitu
seseorang yang akan menjadi pemimpin merupakan perpaduan antara faktor
keturunan, bakat, dan lingkungan yaitu faktor pendidikan, latihan dan
pengalaman-pengalaman yang memungkinkan bakat tersebut dapat teraktualisasi
dengan baik.
Selain ketiga teori tersebut,
muncul pula teori keempat yaitu Teori Kontigensi atau Teori Tiga Dimensi.
Penganut teori ini berpendapat bahwa,
ada tiga faktor yang turut berperan dalam proses perkembangan seseorang
menjadi pemimpin atau tidak, yaitu: (1) Bakat kepemimpinan yang dimilikinya.
(2) Pengalaman pendidikan, latihan kepemimpinan yang pernah diperolehnya, dan
(3) Kegiatan sendiri untuk mengembangkan bakat kepemimpinan tersebut.
Teori ini disebut dengan teori
serba kemungkinan dan bukan sesuatu yang pasti, artinya seseorang dapat menjadi
pemimpin jika memiliki bakat, lingkungan yang membentuknya, kesempatan dan
kepribadian, motivasi dan minat yang memungkinkan untuk menjadi pemimpin.
Menurut Ordway Tead, bahwa
timbulnya seorang pemimpin, karana : (1) Membentuk diri sendiri (self
constituded leader, self mademan, born leader). (2) Dipilih oleh golongan,
artinya ia menjadi pemimpin karena jasa-jasanya, karena kecakapannya,
keberaniannya dan sebagainya terhadap organisasi. (3) Ditunjuk dari atas,
artinya ia menjadi pemimpin karena dipercaya dan disetujui oleh pihak atasannya
(Imam Mujiono, 2002: 18)
2.3 Kepemimpinan
versus Manajemen
Menurut
Bernard Bass seorang ahli kepemimpinan menyimpulkan bahwa para pemimpin “memimpin”
dan para manajer “mengelola” dimana kedua aktivitas tersebut tidaklah sama. Bass
memberitahukan bahwa walaupun kepemimpina dan manajemen saling tumpang tindih,
masing-masing melibatkan sekelompok aktivitas atau fungsi yang unik. Secara
luas manajer biasanya melaksanakan fungsi-fungsi yang berkaitan dengan
perencanaan, penyelidikan, pengorganisasian, dan pengendalian. Sementara
pemimpin berurusan dengan aspek-aspek antar pribadi dari pekerjaan seorang
manajer. Pemimpin memberikan inspirasi kepada orang lain, memberikan dukungan
emosional dan mencoba untuk membuat para karyawan bergerak kearah tujuan umum.
Para pemimpin juga memainkan suatu peran kunci dalam menciptakan suatu visi dan
rencana strategis untuk suatu organisasi. Dan manajer bertugas untuk menerapkan
visi dan rencana strategis tersebut.
Berikut suatu kerangka kerja konseptual untuk memahami kepemimpinan
(perbedaan utama antara pemimpin dengan manajer: [2]
Karakteristik
/ ciri pemimpin :
·
Kebutuhan akan prestasi
·
Kebutuhan akan kekuasaan
·
Kemampuan kognitif
·
Ketrampilan interpersonal
·
Kepercayaan diri
·
Etika
|
Variable-variabel
situasional:
Tingkat individu
·
Kekuasaan posisi pemimpin
·
Motivasi pengikut
·
Kejelasan peran pengikut
·
Kemampuan pengikut
Tingkat
organisasi
·
Kecukupan sumber daya
·
Tugas/teknologi
·
Struktur organisasi
·
Lingkungan eksternal
|
Hasil
akhir yang diinginkan:
·
Kinerja unit
·
Profitabilitas
·
Pencapaian tujuan
·
Kepuasan kerja
·
Organisasi yang belajar
|
Perilaku
/ peran manajerial:
·
Peran interpersonal
·
Peran informasional
·
Peran pengambilan keputusan
|
Kotter (1990) juga membedakan antara manajemen dan
kepemimpinan dalam hal proses inti dan hasil yang diharapkan. Manajemen berusaha untuk membuat perkiraan
dan aturan dengan :
1. Menetapkan sasaran operasional, membuat
rencana tindakan berdasarkan jadwal dan menetapkan sumber daya
2. Mengorganisasi dan menugaskan (menentukan
struktur, menugaskan orang ke berbagai pekerjaan)
3. Memantau hasil dan menyelesaikan masalah
Sedangkan kepemimpinan berusaha untuk
membuat perubahan dalam organisasi dengan :
1. Menyusun visi masa depan dan strategi
untuk membuat perubahan yang dibutuhkan
2. Mengkomunikasikan dan menjelaskan visi
3. Memotivasi dan memberi inspirasi kepada
orang lain untuk mencapai visi itu
Baik manajemen maupun kepemimpinan keduanya
melibatkan keputusan apa yang harus dilakukan, menciptakan jaringna hubungan
untuk melakukanny, dan berusaha untuk memastikan hal tersebut terjadi. Nemun
kedua proses itu mempunyai elemen yang betentangan; kepemimpinan yang kuat
dapat mengacaukan aturan dan efisiensi, sementara manajemen yang kuat dapat
menghalangi pengambilan resiko dan inovasi.
Kedua proses ini sangat dibutuhkan dalam
keberhasilan organisasi. Karena jika hanya manajemennya saja yang kuat hanya
akan mencipyakan birokrasi tanpa tujuan begitupula jika hanya kepemimpinannya
yang kuat dapat membuat perubahan dengan cara yang tidak praktis.[3]
Sehingga kesimpulan menurut beberapa pakar sepaham
bahwa manajer yang sukses dalam orgaisasi modern adalah yang mampu memimpin.
Bagaimana menggabungkan dua proes itu telah menjadi masalah yang kompleks dan
penting dalam literature organisasi. Jawabannya tidak akan muncul dari
perdebatan untuk mencari definisi yang ideal. Pertanyaan apa saja yang menjadi wilayah
proses kepemimpinan yang esensial haruslah dicari dengan penelitian empiris,
tidak dengan memberikan penilaian subyektif.[4]
Secara garis besar berikut perbedaan antara Pemimpin dan Manajer :[5]
Pemimpin
|
Manajer
|
Melakukan inovasi
|
Mengurus
|
Mengembangkan
|
Mempertahankan
|
Memberikan inspirasi
|
Mengendalikan
|
Memiliki pandangan jangka panjang
|
Memiliki pandangan jangka pendek
|
Menanyakan apa dan mengapa
|
Menayakan bagaimana dan kapan
|
Memunculkan
|
Mengawali
|
Menantang status quo
|
Menerima status quo
|
Melakukan sesuatu yang benar
|
Melakukan sesuatu dengan benar
|
2.4 Studi
Kepemimpinan yang Penting secara Historis
Pembahsan studi klasik
dapat membantu penyusunan tahap teori kepemimpinan modern dan tradisional.([6])
Studi Kepemimpinan Iowa
Beberapa pionir studi
kepemimpinan di akhir tahun 1930-an yang dipelopori oleh Ronald Lippitt dan
Ralph K. White, di bawah kepemimpinan Kurt Lewin di University Iowa, memiliki dampak panjang.
Pada studi awal ini, dibentuklah beberapa klub hobi anak laki-laki berusia 10 tahun.
Setiap klub memilki tiga gaya kepemimpinan yang berbeda, seperti otoriter,
demokratis, dan laissesz-faire. Pemimpin otoriter sangat suka memerintah dan
tidak mengizinkan partisipasi. Pemimpin ini memberikan perhatian individual hanya ketika memuji
dan mengkritik, tetapi mencoba bersikap ramah atau impersonal daripada bersikap
kejam secara terang-terangan. Pemimpin demokratis mendukung diskusi kelompok
dan pengambilan keputusan. Pemimpin ini mencoba bersikap “objektif” dalam
memberi pujian atau kritik dan memiliki semangat untuk menjadi satu dengan
kelompok. Pemimpin laisseez-faire memberi kebebasan penuh pada kelompok;
pemimpin ini tidak memiliki sikap pemimpin.
Sayangnya, efek gaya
kepemimpinan pada produktivitas tidak diteliti secara langsung. Penelitian ini
hanya didesain khusus untuk memeriksa pola perilaku agresif. Studi Lippitt dan
White tidak bisa digeneralisasikan secara luas. Dari sudut pandang metodologi
penelitian ilmu perilaku masa kini, banyak variable yang tidak dikontrol.
Namun, studi kepemimpinan ini memiliki signifikansi historis yang penting. Ini
adalah usaha pertama yang menentukan dan meneliti efek gaya kepemimpinan dalam
kelompok. Nilainya adalah karena studi ini yang pertama kali menganalisis
kepemimpinan dari sudut pandang metodologi ilmiah, dan terlebih penting, studi
tersebut menyatakan bahwa perbedaan gaya kepemimpinan menghasilkan reaksi yang
berbeda dan kompleks dari kelompok-kelompok yang sama atau serupa.
Studi Kepemimpinan Ohio State
Studi Ohio State dimulai dengan premis tidak ada
definisi kepuasan terhadap kepemimpinan. Kelompok ini memutuskan untuk
menganalisis bagaimana individu bertindak tatkala mereka tengah memimpin suatu
kelompok atau organisasi. Analisis dilakukan dengan menyuruh para bawahan
mengisi kuesioner yang berisi kesan-kesan mereka atas pimpinannya. Dalam
kuesioner, bawahan harus mengidentifikasi berapa kali pimpinan mereka melakukan
jenis perilaku tertentu. Studi ini dilakukan untuk mengidentifikasi
dimensi-dimensi yang independen dari perilaku kepemimpinan. Pada langkah
pertama, Leader Behavior Description Questionare diatur pada situasi yang luas
dan berbeda. Untuk mengetahui bagaimana gambaran seorang pemimpin, dilakukan
analisis factor terhadap jawaban kuesioner. Dua dimensi kepemimpinan muncul
secara konsisten dari data kuesioner. Data-data tersebut adalah pertimbangan
dan struktur inisiasi. Sederhananya, faktor Ohio State adalah orientasi tugas atau tujuan
(struktur inisiasi) dan penghargaan terhadap kebutuhan individu dan hubungan
(pertimbangan). Dua dimensi ini berbeda dan terpisah satu sama lain.
Ada dua dimensi yang dianggap penting, yaitu
struktur inisiatif (initiating structure) dan pertimbangan (concideration).
Yang dimaksud dengan struktur inisiatif
adalah sejarah mana seorang pemimpin mendefinisikan dan menstrukturisasi
peranannya dan peranan para bawahannya dalam usaha mengorganisasikan pekerjaan,
hubungan-hubungan kerja, dan tujuan-tujuan yang akan dicapai.
Pemimpin yang memiliki ciri struktur inisiatif yang
tinggi dapat digambarkan sebagai orang yang “memberikan tugas-tugas khusus
kepada para anggota kelompok”, “mengaharapkan para karyawan untuk
mempertahankan standar kinerja yang telah ditetapkan”, dan “menekankan
pentingnya batas waktu pertemuan”.
Yang di maksud dengan “pertimbangan” adalah sejauh
mana seorang pemimpin memiliki hubungan kerja dalam arti saling percaya,
menghormati pendapat dan mempertimbangkan perasaan para bawahan. Pemimpin yang
memiliki pertimbangan tinggi dapat digambarkan sebagai orang yang suka membantu
masalah para bawahan, bersahabat dan pendekatannya baik, dan memperlakukan sama
semua bawahan.
Jadi, studi kelompok Ohio State ini menyatakan bahwa
meskipun secara umum a high-high leader bersifat positif, cukup banyak
pengecualian yang menunjukkan pentingnya factor-faktor situasional yang perlu
diintegrasikan ke dalam teori ini.
Studi Kepemimpinan Michigan
Studi ini memiliki objektif penelitian yang hampir sama
dengan studi Ohio State, yaitu melokalisasi karakteristik perilaku para
pemimpin yang tampak berhubungan dengan efektifitas kerja. Titik tekan riset
di University of Michigan adalah eksplorasi perilaku kepemimpinan,
yang memberikan perhatian khusus utamanya pada dampak perilaku pemimpin atas
kinerja suatu kelompok kecil.([7])
Kelompok ini juga memunculkan dua dimensi perilaku
kepemimpinan yang mereka sebut orientasi karyawan (employee-oriented) dan
orientasi produksi (production-oriented). Para pemimpin yang berorientasi pada
karyawan memiliki kecenderungan pribadi pada pemenuhan kebutuhan para anggota
kelompok. Sebaliknya, para pemimpin yang berorientasikan pada produksi
cenderung mengutamakan aspek-aspek teknis dan tugas pekerjaan sehingga para anggota
kelompok dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Kesimpulan yang diambil oleh kelompok Michigan ini
sangat kuat mendukung para pemimpin yang memiliki perilaku yang berorientasikan
kepada karyawan. Mereka ini biasanya dihubungkan dengan produktivitas dan
kepuasan kelompok yang lebih tinggi. Di pihak lain, para pemimpin yang
berorientasikan pada produksi cenderung dihubungkan dengan produktivitas dan kepuasan
kelompok yang rendah.
2.5 Teori
kepemimpinan tradisional
Tiga penemuan yang disebutkan di muka, yakni Iowa,
Ohio, dan Michigan merupakan tonggak sejarah yang amat penting dari studi
kepemimpinan dengan penekanan pada ilmu perilaku organisasi. Sayangnya tiga penemuan tersebut masih terbatas, dan penelitian
kepemimpinan relative masihnmerupakan permulaan yang disini. Berikut ini akan
diuraikan beberapa teori yang tidak asing lagi bagi literature-literatur
kepemimpinan pada umumnya. Ciri-ciri praktik kepemimpinan tradisional yang
ditandai oleh :
·
Ruang-ruang kantor pribadi dan ruang-ruang kubus
·
Pergerakan karier seperti naik tangga ke atas
·
Para karyawan
·
Kedudukan-kedudukan dan pekerjaan-pekerjaan
·
Tim-tim fungsional
·
Kerja keras menghasilkan kesuksesan
·
Partisipasi yang absolut
·
Kantor-kantor, furniture sebagai symbol-simbol
kekuasaan/kekuatan
·
Kenaikan honorarium sebagai insentif
·
Seminar-seminar sebagai cara pelatihan standar
Teori Kepemimpinan Trait (Sifat)
Teori trait tentang kepemimpinan adalah usaha
identifikasi karakter khusus (fisik, mental, kepribadian) terkait kesuksesan
pemimpin. Pendekatan sifat termasuk
pendekatan kepemimpinan yang paling tua. Pendekatan sifat menganggap pemimpin itu dilahirkan
(given) bukan dilatih atau diasah. Kepemimpinan terdiri atas atribut tertentu
yang melekat pada diri pemimpin, atau sifat personal, yang membedakan pemimpin
dari pengikutnya. Sebab itu, pendekatan sifat juga disebut teori
kepemimpinan orang-orang besar. Teori the Great Man menyatakan bahwa
seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin akan menjadi pemimpin tanpa
memerhatikan apakah ia mempunyai sifat atau tidak mempunyai sifat sebagai
pemimpin.
Menyadari hal seperti ini, bahwa tidak ada korelasi
sebab akibat antara sifat dan keberhasilan manajer, maka keith Davis merumuskan
empat sifat umum yang tampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan
kepemimpinan organisasi.([8])
(1) Kecerdasan/ Intelijensi. Hasil penelitian
umumnya membuktikan bahwa pemimpin mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan yang dipimpinnya. Pemimpin cenderung punya
intelijensi dalam hal kemampuan bicara, menafsir, dan bernalar yang lebih kuat
ketimbang yang bukan pemimpin.
(2) Kedewasaan dan keluasan hubungan social.
Pemimpin cenderung menjadi matang dan mempunyai emosi yang stabil, karena
mempunyai perhatian yang luas terhadap aktivitas-aktivitas social. Dia
mempunyai keinginan menghargai dan dihargai.
(3) Motivasi diri dan dorongan berprestasi.
Para pemimpin secara relative mempunyai dorongan motivasi yang kuat untuk
berprestasi. Mereka berusaha mendapatkan penghargaan yang intrinsik
dibandingkan dari yang entrinsik.
(4) Sikap-sikap hubungan kemanusiaan.
Pemimpin-pemimpin yang berhasil mau mengakui harga diri dan kehormatan para
pengikutnya dan mampu berpihak kepadanya.
Peraga
merangkum trait kepemimpinan yang paling sering diteliti (trait yang mencirikan
seorang pemimpin yang sukses). Beberapa penelitian melaporkan bahwa trait-trait
ini memberikan kontribusi bagi kesuksesan kepemimpinan. Meskipun demikian,
kesuksesan dalam kepemimpinan bukan semata-mata dipengaruhi oleh trait-trait ini
saja atau trait lain. Masih ada banyak faktor yang mempengaruhi kesuksesan
kepemimpinan selain trait-trait di bawah ini.
Peraga Trait Terkait Keefektifan Pemimpin
Intelegensi
|
Kepribadian
|
Kemampuan
|
Pertimbangan
|
Kemampuan beradaptasi
|
Kemampuan menambahkan kerja sama
|
Ketegasan mengambil keputusan
|
Kesiagaan
|
Mampu bekerja sama
|
Pengetahuan
|
Kreativitas
|
Kepopuleran dan gengsi
|
Kefasihan berbicara
|
Integritas pribadi
|
Mudah bergaul (kemampuan interpersonal)
|
|
Kepercayaan diri
|
Partisipasi social
|
|
Control dan keseimbangan emosi
|
Taktik, diplomasi
|
|
Mandiri(tidak konformis)
|
|
Teori
kepemimpinan kelompok dan Teori Kepemimpinan Pertukaran
Teori kelompok dalam kepemimpinan ini memilki dasar
perkembangan yang berakar pada psikologi sosial. Teori pertukaran yang klasik
membantunya sebagai suatu dasar yang penting bagi pendekatan teori kelompok.
Teori kelompok ini beranggapan bahwa, supaya
kelompok bisa mencapai tujuan-tujuannya, harus terdapat suatu
pertukaran yang positif di antara pemimpin dan pengikut-pengikutnya.
Kepemimpinan yang ditekankan pada adanya suatu proses pertukaran antara
pemimpin dan pengikutnya ini, melibatkan pula konsep-konsep sosiologi tentang
keinginan-keinginan mengembangkan peranan.
Suatu hasil penelitian ulang yang sempurna menunjukkan
bahwa para pemimpin yang memperhitungkan dan membantu pengikut-pengikutnya
mempunyai pengaruh yang positif terhadap sikap, kepuasan, dan pelaksanaan
kerja.([9]) Sama pentingnya adalah hasil penemuan lainnya
yang lebih belakangan ini. Penelitian ini menyatakan bahwa para bawahan juga
dapat memengaruhi pengikut-pengikut/para bawahannya.
Barrow dalam studi laboratoriumnya menemukan bahwa
produktivitas kelompok mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap gaya
kepemimpinan dibandingkan dengan pengaruh gaya kepemimpinan terhadap
produktivitas. Dengan kata lain, beberapa penemuan tampaknya menunjukkan bahwa
para bawahan dapat memengaruhi pemimpin dengan perilakunya, sebanyak pemimpin
beserta perilakunya memengaruhi para bawahannya.
Pendekatan
Leader –Member Exchange (Pertukaran antara Pemimpin Anggota)
Pendekatan yang mengenali tidak adanya konsistensi
perilaku pemimpin kepada seluruh bawahannya. Pemimpin membina ikatan dan
hubungan pribadi terhadap masing-masing bawahannya. LMX tidak hanya mengenali,
tetapi menekankan perbedaan hubungan yang dikembangkan pemimpin dengan bawahan
yang berbeda dalam kelompok. Sebagai contoh, seorang pemimpin mungkin dapat
sangat bertoleransi pada seorang bawahan tetapi sangat kaku dan tegas pada
bawahan yang lain. Mungkin saja pemimpin denga 10 orang bawahan akan memiliki
10 hubungan pemimpin-bawahan yang berbeda untuk setiap bawahannya. Hubungan
satu lawan satu inilah yang menentukan perilaku bawahan.
Pendekatan LMX
menyatakan bahwa pemimpin mengklasifikasikan para bawahan menjadi anggota
in-group dan out-group. Anggota in-group memiliki ikatan yang sama dan juga
system nilai yang sama dalam berinteraksi dengan pemimpin. Anggota out-group
memiliki kesamaan yang lebih sedikit dan jarang berinteraksi dengan pemimpin.
Teori LMX menyatakan
bahwa anggota in-group akan lebih mungkin menerima penugasan yang menantang dan
menerima imbalan yang lebih bermakna. Sehingga anggota in-group akan memiliki sikap yang lebih
positif terhadap budaya perusahaan dan memiliki kinerja dan kepuasan kerja yang
lebih tinggi dibandingkan pegawa yang out-group. Anggota out-group dianggap
bukan orang yang diinginkan pemimpin untuk bekerja sama, dan hal ini sering
kali menjadi self-fulfilling prophecy. Anggota out-group menerima tugas yang
lebih tidak menantang, menerima imbalan yang lebih sedikit, menjadi bosan
dengan pekerjaannya, dan pada akhirnya akan memilih berhenti bekerja.
Teori Kepemimpinan Kontigensi (Ketidakpastian)
Teori Kontijensi dalam
kajian kepemimpinan fokus pada interaksi antara variabel-variabel yang terlibat
di dalam situasi serta pola-pola perilaku kepemimpinan. Teori Kontijensi didasarkan atas keyakinan bahwa tidak ada
satupun gaya kepemimpinan yang cocok bagi aneka situasi.
Beberapa pendekatan untuk mengisolasi
variable-variabel situasional yang penting telah menunjukkan adanya perbedaan,
yang satu lebih sukses daripada yang lain. Di bawah ini ada pendekatan-pendekatan
yang telah memperoleh pengakuan luas: model Fieldler, teori situasional dari
Hersey dan Blanchard, dan model partisipasi pemimpin.
(1) Model Fieldler
Model kontigensi dari Fred Fiedler (1976)
mengusulkan bahwa efektifitas kinerja sebuah kelompok tergantung pada adanya
kecocokan antara gaya seorang pemimpin di kala berinteraksi dengan bawahannya
dan tergantung pada derajat control dan pengaruh situasi pada si pemimpin.
Fiedler kemudian mengembangkan kuesioner
LPC (Least Preferred Co-Worker) di mana responden diminta untuk memikirkan atau
membayangkan seorang teman sekerjanya yang paling menjengkelkan atau paling
sulit diajak bekerja sama. Kemudian, responden diminta menggambarkan
sifat-sifat tertentu dari teman kerjanya tersebut dengan memberikan skor tertentu. Kuesioner
ini untuk mengukur apakah seseorang itu (responden) lebih mengutamakan
orientasi tugas atau orientasi hubungan antar manusia. Selanjutnya, Fiedler
mengisolasikan tiga kriteria situasional-hubungan pimpinan-bawahan, struktur
tugas, dan kekuatan posisi yang dipercayainya dapat dimanipulasi sedemikian
rupa agar bias cocok dengan orientasi perilaku si pemimpin. Dari sini akan
dapat diramalkan efektivitas kepemimpinan seseorang.
a) Mengidentifikasi Gaya Kepemimpinan
Menurut Fiedler, factor kunci keberhasilan
kepemimpinan sesorang adalah gaya kepemimpinannya yang bias diukur dengan LPC
di atas tersebut.([10]) Jika skor LPC-nya tinggi (penilaian positif),
responden dapat dikatan lebih mengutamakan hubungan baik dengan teman-teman
sekerjanya, responden semacam ini dapat dikategorikan sebagai orang yang
berorientasikan hubungan antar manusia. Sebaliknya, jika skor LPC-nya rendah
(penilaian cenderung negative), responden dapat dikategorikan sebagai orang
yang mengutamakan produktivitas, sehingga dapat dikatakan sebagai orang yang
berorientasikan tugas. Fiedler berargumentasi bahwa gaya kepemimpinan sudah
merupakan bawaan seseorang dan akan sulit sekali mengubahnya untuk menyesuaikan
situasi-situasi yang berubah.
b) Mendefinisikan Situasi
Ada tiga dimensi situasional yang dapat menjadi
factor kunci untuk menetapkan efektivitas kepemimpinan: hubungan
pimpinan-bawahan, struktur tugas, dan kekuatan posisi, yang bias didefinisikan
sebagai berikut:
o Hubungan pimpinan-bawahan: derajat
kepercayaan diri, kepercayaan, dan hormat yang dimiliki bawahan terhadap
atasannya.
o Struktur tugas: sejauh mana prosedur
penugasan pekerjaan itu ditetapkan (pekerjaan itu terstruktur atau tidak
terstruktur).
o Kekuatan posisi: dearajat pengaruh yang
dimiliki seorang pemimpin diukur dari variable-variabel kekuatan seperti
mempekerjakan, memecat, medisiplinkan, mempromosikan, dan menaikkan gaji.
Semakin baik hubungan pimpinan-bawahan, makin
terstruktur pekerjaan itu dan makin kuat kekuatan posisinya, akan semakin besar
pula kontrol atau pengaruh yang dimiliki seorang pemimpin. Pada sisi lain, sebuah situasi yang tidak
baik menggambarkan pimpinan yang tidak disukai, di mana pimpinan ini sedikit
sekali memiliki kontrol.
c) Mencocokkan Pemimpin dengan Situasi
Dengan diketahuinya gaya kepemimpinan seseorang
melalui LPC dan dengan penetapan ketiga variable situasional tersebut di atas,
model Fiedler ini mengusulkan penyesuaian secara keseluruhan agar dapat dicapai efektivitas kepemimpinan
yang maksimal. Skor LPC seseorang akan menentukan tipe situasi yang mana yang
paling cocok untuk gaya kepemimpinannya. Tetapi, harus diingat bahwa gaya
kepemimpinan seseorang itu bersifat menetap. Jadi, hanya ada dua cara untuk
meningkatkan efektivitas kepemimpinan:
1. Menggantikan si pemimpin untuk bisa cocok dengan situasinya. Sebagai contoh,
jika situasi yang dihadapi oleh sebuah kelompok kerja itu sangat tidak nyaman
dan sedang dipimpin oleh seorang manajer yang berorientasi pada hubungan sesame
manusia, kinerja kelompok tersebut bias ditingkatkan dengan cara menggantikan
manajernya dengan orang yang berorientasi pada tugas.
2. Mengantikan situasi untuk bisa cocok
dengan si pemimpin. Hal ini bias dilakukan dengan restrukturisasi tugas-tugas
atau dengan meningkatkan atau menurunkan kekuatan yang dimiliki si pemimpin
dalam melakukan kontrol misalnya dalam menaikkan gaji, promosi, dan
tindakan-tindakan pendisiplinan lainnya.
Model
Fiedler ini umumnya diterima oleh kalangan luas, meskipun ada celah yang
menimbulkan kritik. Umpamanya, logika yang melatarbelakangi LPC kurang bias
dimengerti sepenuhnya dan beberapa bukti menunjukkan bahwa skor LPC seseorang
itu tidak selalu stabil (Rice, 1978). Di samping itu, ternyata bahwa
variable-variabel situasional itu bersifat kompleks, yang sukar ditetapkan
secara valid oleh para praktisi. Dalam praktik, sering pula dirasakan sukar
untuk menentukan hubungan pimpinan bawahan, menentukan struktur tugas yang
jelas, dan menentukan kekuatan posisi yang dimiliki seorang pemimpin. Sekalipun
begitu, model Fiedler ini telah memberikan sumbangan yang berharga untuk
pengetahuan tentang efektivitas kepemimpinan.
d) Teori Sumber Kognitif: Perbaikan dari
Model Fiedler
Untuk mendapatkan kinerja kelompok yang efektif, maka terapat perbaikan
asumsi. Teori ini kemudian menunjukkan bagaimana sumber-sumber stress dan
kognitif seperti pengalaman, lama kerja, dan kecerdasan dapat berpengaruh
banyak terhadap efektivitas kepemimpinan (Vecchio, 1990). Sedangkan inti dari
teori ini dapat disimpulkan dalam tiga prediksi:
·
Perilaku direktif ini hanya dapat menghasilkan
kinerja yang baik jika dihubungkan dengan intelegensi yang tinggi dalam
lingkungan kepemimpinanyang suportif dan tanpa stress.
·
Pada situasi-situasi yang rawan stress, ada hubungan
positif antara pengalaman kerja dan kinerja.
·
Kemampuan intelektual para pemimpin memiliki
hubungan dengan kinerja kelompok dalam situasi-situasi yang dianggap tanpa
stres.
(2) Teori Situasional dari Hersey dan
Blancard
Kepemimpinan
situasional ini merupakan teori kontigensi yang focus pada para
pengikut/bawahan. Kepemimpinan yang sukses bias dicapai melalui pemilihan gaya
kepemimpinan yang benar, dalam pengertian disesuaikan dengan tingkat maturitas
bawahan. Penekanan pada pentingnya bawahan dalam kepemimpinan efektif
menggambarkan suatu kenyataan bahwa merekalah, para bawahan, yang akan menerima
atau menolak seorang pemimpin.
Yang dimaksud dengan “maturitas” di sini adalah
adanya kemampuan dan kemauan dari orang-orang untuk bertanggung jawab dalam
mengaahkan perilaku mereka sendiri. Ada dua komponen maturitas, yaitu maturitas
kerja dan maturitas psikologis. Yang
pertama hubungannya dengan pengetahuan, kemampuan, dan pengalaman untuk
memperlihatkan tugas-tugas kerjanya tanpa petunjuk/arahan dari orang lain.
Maturitas psikologis berhubungan dengan
kemauan dan motivasi untuk melakukan sesuatu sehingga tidak memerlukan dorongan
dari luar, mereka telah termotivasi secara instrinsik.
Kepemimpinan situasional juga menggunakan dua
dimensi kepemimpinan yang sama dengan dimensi yang telah diidentifikasikan oleh
Fiedler, yaitu perilaku yang berkaitan dengan tugas dan perilaku yang berkaitan
dengan hubungan sesama. Hanya disini dilakukan elaborasi lebih jauh dengan
mempertimbangkan tinggi rendahnya masing-masing dimensi, yang kemudian, yang
kemudian digabung ke dalam empat gaya kepemimpinan khusus: memerintah,
menawarkan, meminta partisipasi, dan mendelegasikan. Berikut ini penjelasan
masing-masing gaya tersebut:
·
Memerintahkan (banyak detail tugas, sedikit hubungan
sesama). Seorang pemimpin yang akan menentukan peranan para bawahan dan
memerintahkan mereka untuk mengerjakan tugas-tugas apa, bagaimana, kapan, dan
di mana. Jadi, peilaku direktif lebih ditekankan.
·
Menawarkan (banyak detail tugas, banyak hubungan
sesama). Seorang pemimpin tidak hanya memberikan perilaku direktif, tetapi juga
perilaku suportif.
·
Meminta partisipasi (sedikit detail tugas, banyak
hubungan sesama). Seorang pemimpin dan bawahannya saling berbagi dalam
pengambilan keputusan di mana peran utama si pemimpin dikomunikasikan dan difasilitasi.
·
Mendelegasikan (sedikit detail tugas, sedikit
hubungan sesama). Seorang pemimpin hanya memberikan sedikit arahan dan
dorongan.
(3) Model Partisipasi Pemimpin
Model kepemimpinan ini dikembangkan oleh Victor
Vroom dan Philip Yetton, mencoba menghubungkan perilaku kepemimpinan dan
partisipasi dalam pengambilan keputusan. Model ini bersifat normative, yaitu
memberikan satu set aturan yang beruntutan, yang sebaiknya diikuti untuk
menetapkan bentuk dan banyaknya partsipasi yang diinginkan dalam pengambilan
keputusan seperti yang dituntut oleh berbagai situasi yang berbeda.
Model kepemimpinan ini dapat dibuatkan diagram, di
mana perilaku kepemimpinan tertentu disesuaikan dengan situasi tertentu pula.
Model ini juga mendukung pendapat bahwa perilaku pemimpin itu fleksibel, di
mana seorang pemimpin dapat menyesuaikan gaya kepemimpinannya pada
situasi-situasi yang berbeda. Dengan memberikan jawabannya dari variable-variabel
situasional tersebut di atas, dapat dipilih salah satu perilaku kepemimpinan
dalam pengambilan keputusan yang paling mendekati situasi yang dihadapi.
Teori
kepemimpinan Path-Goal (Jalan Mencapai Tujuan)
Sekarang ini, salah satu pendekatan tentang
kepemimpinan yang memperoleh penghargaan adalah teori jalan mencapai tujuan
(Path Goal Theory), teori ini merupakan sebuah model kepemimpinan yang bersifat
kontigensi, yang merupakan ekstraksi elemen-elemen kunci dari penelitian Ohio
State tentang kepemimpinan (struktur inisiatif dan struktur konsideratif) dan
teori ekspektasi tentang motivasi.
Penekanan teori ini adalah bahwa menjadi pekerjaan
pemimpin untuk membantu para pengikut/bawahannya untuk mencapai tujuan mereka
dan memberikan arahan dan dorongan yang diperlukan untuk meyakinkan tujuan
mereka tidak bertentangan dengan objektif kelompok atau organisasinya. Istilah
Path-goal di sini dikembangkan dari sebuah kepercayaan bahwa para pemimpin yang
efektif selalu melicinkan jalan untuk membantu para bawahan memperoleh sesuatu;
mulai dari mereka sekarang sampai dengan pencapain tujuan kerja, dan membuat
perjalanan mereka itu lebih mudah dengan mengurangi berbagai sandungan dan
hambatan.
House bertetangan pendapat dengan Fiedler tentang
perilaku pemimpin, House berasumsi bahwa para pemimpin itu bersifat fleksibel.
Menurut teori ini, seorang pemimpin yang sama dapat mendemonstrasikan salah
satu atau semua perilaku kepemimpinan di atas tergantung tergantung pada
situasi yang dihadapinya. Teori ini mengusulkan bahwa perilaku seorang pemimpin
dapat menjadi inefektif jika bersifat berlebihan terhadap struktur lingkungan
atau tidak sejalan dengan karakteristik pribadi bawahan. Di bawah ini diberikan beberapa contoh
hipotesis yang berhubungan dengan teori jalan menuju tujuan versi Robert House([11])
·
Kepemimpinan direktif bisa menuju pada kepuasan yang lebih besar jika
tugas-tugas yang dihadapi bawahan itu lebih membingungkan atau banyak stress
daripada kalau tugas-tugas tersebut sudah terstruktur atau sudah jelas.
·
Kepemimpinan suportif bias menghasilkan kinerja dan
kepuasan karyawan yang tinggi jika bawahan sedang melaksanakan tugas-tugas yang
terstruktur.
·
Kepemimpinan direktif bias dipersepsikan sebagai
sesuatu yang berlebihan oleh para bawahan yang telah memiliki kemampuan pribadi
yang tinggi atau telah memiliki banyak pengalaman.
·
Makin jelas, hubungan kewenangan formal atau makin
birokratis, para pemimpin makin dianjurkan untuk memperlihatkan perilaku
suportif dan tidak menekankan pada perilaku direktif.
·
Kepemimpinan direktif akan menuju pada kepuasan
karyawan yang lebih tinggi jika terjadi konflik substansi di dalam kelompok
kerja.
·
Para bawahan yang pusat kontrol pribadinya bersifat
internal-percaya diri dan mengontrol tujuan hidup mereka sendiri-akan lebih
merasa puas dengan gaya kepemimpinan partisipatif.
·
Para bawahan yang pusat kontrol pribadinya bersifat
eksternal akan merasa puas dengan gaya kepemimpian direktif.
·
Kepemimpinan dengan orientasi keberhasilan akan
meningkatkan ekspektasi bawahan bahwa usahanya akan menuju prestasi kerja yang
tinggi jika tugas-tugasnya terstruktur secara “ambiguous” (derajat kesukarannya
50%).
Dengan kata lain, dengan cara-cara seperti yang
diuraikan di atas, pemimpin berusaha membuat jalan kecil (path) untuk
pencapaian tujuan-tujuan (goals) para bawahannya sebaik mungkin. Tetapi,
untuk mewujudkan fasilitas path-goals
ini, pemimpin harus menggunakan gaya
yang paling sesuai terhadap variable-variabel lingkungan yang ada. Berikut
gambar yang menyimpulkan pendekatan teori path-goals tersebut:
Karakteristik Bawahan
|
Perilaku/Gaya
Kepemimpinan:
·
Direktif
·
Supportif
·
Partisipatif
·
prestasi
|
Hasil
·
Keputusan
·
Kejelasan peranan
·
Kejelasan tujuan
·
Pelaksanaan kerja
|
Bawahan
·
Persepsi
·
Motivasi
|
Kekuatan-kekuatan Lingkungan
·
Karakteristik tugas
·
Sistem otoritas formal
·
Kerja utama group
|
2.6 Teori
kepemimpinan Modern
Pada konsep kepemimpinan ke depan mulai dipikirkan
bentuk-bentuk pendekatan kepemimpinan yang baru. Untuk mngerti lebih baik apa
saja yang dikerjakan para pemimpin sekarang terhadap posisinya sendiri dan
organisasinya supaya sukses berkelanjutan, perlu dilakukan pendekatan sebagai
berikut :
·
Diskusi-diskusi dengan para pemimpin inovatif di
seluruh Indonesia, bahkan dunia untuk perubahan.
·
Penelitian tentang praktik-praktik kepemimpinan yang
berlaku dan yang diantisipasikan.
·
Wawancara-wawancara dengan para pemimpin sukses ke
seluruh Indonesia, bahkan dunia tentang organisasi-organisasi yang inovatif.
Konsep kepemimpinan yang baru ini secara tepat
mengklarifikasi praktik-praktik apa yang sebaiknya di
pertimbangkan secara serius untuk mengeliminasi
pengulangan-pengulangan/rutinitas yang selayaknya sudah diganti. Ada tujuh
usulan perubahan yang diperoleh dari pengalaman belajar:
·
Pertukaran komunikasi : terbatas dan informatif
untuk saling berbagi dan saling meyakinkan.
·
Pertukaran tenaga kerja : tenaga-tenaga inti (core)
dan tenaga-tenaga non-inti (non-core) serta kontrak yang bersifat permanen.
·
Pertukaran pengakuan : berfokus dari
single-generational kepada multi-generational.
·
Pertukaran tim : penyebaran tim yang menetap dan
bersifat local menjadi penyebaran tim yang mengalir dan menyesuaikan kondisi
geografis.
·
Pertukaran pengembangan : pembentukan tim yang
eksesif menjadi penghargaan kepada kepeloporan individual (maverick).
·
Pertukaran kondisi tempat kerja :
perkantoran-perkantoran yang stasionair menjadi lingkungan-lingkungan yang baik
dan mobil (mudah dipindahkan).
·
Pertukaran struktur : dari berfokus internal menjadi
kemitraan eksternal.
Sangat diharapkan agar Anda mulai
memikirkan dan mencoba untuk membuat pertukaran-pertukaran tersebut sebelum terlambat, sebelum para
pemimpin lain meninggalkan Anda dengan praktik –praktif inovatif mereka, yang
akan mencampakkan Anda ke pinggiran (Essex & Kusy, 1999).
Ikhtisar menguasai setiap gaya kepemimpinan tersebut
memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai proses kepemimpinan kompleks. Belakangan muncul beberapa teori
kepemimpinan yang disesuaikan dengan tipe pemimpin yang muncul.
Teori kepemimpinan Karismatik
Kepemimpinan
karismatik adalah warisan dari konsepsi kepemimpinan lama seperti yang “dengan
kekuatan kemampuan personalnya, mampu memiliki efek yang luar biasa terhadap
pengikutnya”.([12]) Teori ini merupakan perluasan dari teori
atributif di mana para bawahan/pengikut membuat karakteristik-karakteristik
tertentu untuk kemampuan kepemimpinan yang luar biasa atau “heroik” setelah
mereka mengobservasi perilaku pemimpin yang bersangkutan. Beberapa karakteristik yang dapat
disimpulkan dari kepemimpinan kharismatik:
·
Percaya diri. Mereka memiliki kepercayaan diri yang
penuh dalam penilaian dan kemampuan.
·
Memiliki visi. Tujuan ideal yang harus dicapai
daripada “status quo”, makin besarlah persepsi bawahan/pengikut bahwa pemimpin
ini memiliki visi yang luar biasa.
·
Kemampuan untuk meyakinkan visinya. Mereka ini mampu
menyatakan dan menjelaskan visinya yang mudah dimengerti oleh orang lain.
Kemampuan meyakinkan orang ini diperkuat oleh pemihakan kepad kebutuhan
bawahan, jadi bias berlaku sebagai kekuatan motivasi.
·
Keyakinan kuat terhadap kebenaran visinya. Para
pemimpin kharismatik dipersepsikan sangat bertanggung jawab dan bersedia
mengambil risiko pribadi yang tinggi, meskipun dengan ongkos tinggi dan
pengorbanan diri, untuk keberhasilan misinya.
·
Perilaku-perilaku yang tergolong luar biasa. Para
pemimpin ini terlibat dalam perilaku-perilaku yang dipersepsikan baru, tidak
konvensional, kadang-kadang berlawanan dengan norma. Jika berhasil,
perilaku-perilaku serupa ini kemudian memperoleh kekaguman dan pujian dari
bawahan.
·
Dipersepsikan sebagai agen perubahan. Para pemimpin
kharismatik ini lebih dipersepsikan sebagai agen perubahan radikal daripada
sebagai pemegang jabatan untuk “status quo”.
·
Sensitive terhadap lingkungan. Para pemimpin ini
mampu membuat perkiraan realistic terhadap sumber-sumber dan hambatan
lingkungan, yang diperlukan untuk merealisasikan perubahan.
Konsekuensi dari Kepemimpinan Karismatik
Sisi Gelap dari
Karisma
Sebuah pendekatan yang lebih baik untuk membedakan
antara karismatik positif dan negatif
adalah dalam hal nilai dan kepribadian mereka (House dan Howell, 1992;
Howell, 1998; Musser, 1987). Karismatik negatif memiliki orientasi kekuasaan
secara pribadi. Mereka menekankan identifikasi pribadi daripada internalisasi. Secara
sengaja mereka berusaha untuk lebih menanamkan kesetiaan kepada diri mereka
sendiri daripada idealisme.
Para pemimipin karismatik
cenderung untuk membuat keputusan yang berisiko yang dapat mengakibatkan
kegagalan serius, dan mereka cenderung untuk membuat musuh yang lebih kuat yang
akan menggunakan kegagalan demikian sebagai kesempatan untuk memindahkan
pemimpin dari kantornya. Berikut
beberapa konsekuensi dari pemimpin karismatik:
·
Keinginan akan penerimaan oleh pemimpin menghambat
kecaman dari pengikut
·
Pemujaan dari pengikut menciptakan khayalan akan
tidak dapat berbuat kesalahan
·
Keyakinan dan optimisme berlebihan membutakan
pemimpin dari bahaya nyata
·
Penolakan akan masalah dan kegagalan mengurangi
pembelajaran organisasi.
·
Proyek berisiko yang terlalu besar akan besar
kemungkinannya untuk gagal
·
Mengambil pijian sepenuhnya atas keberhasilan akan
mengasingkan beberapa pengikut yang penting
·
Perilaku impulsif yang tidak tradisional menciptakan
musuh dan juga orang-orang yang percaya
·
Ketergantungan terhadap pemimpin akan menghambat
perkembangan penerus yang kompeten
·
Kegagalan untuk mengembangkan penerus menciptakan
krisis kepemimpinan pada akhirnya
Optimisme dan keyakinan diri amat penting untuk
mempengaruhi orang lain agar mendukung visi pemimpin, tetapi optimisme
berlebihan membuat makin sulit bagi pemimpin untuk mengenali kekurangan dalam
visi itu. Terlalu mengenali visi tersebut akan merendahkan kapasitas untuk
mengevaluasinya secara objektif. Pengalaman dari dari keberhasilan sebelumnya
dan pemujaan bawahan dapat menyebabkan pemimpin percaya bahwa penilaiannya
tidak bisa salah. Dalam pencarian yang tekun untuk mencapai visi itu, seorang
[emimpin yang karismatik dapat mengabaikan atau menolak bukti bahwa visinya
tidak realistis dan mangarah kepada kegagalan. Para pengikut yang percaya pada
pemimpin itu akan terhalang untuk menunjukkan kekurangan atau menyajikan
perbaikan, yang membuat sebuah keputusan yang buruk menjadi makin mungkin
terjadi.
Bass (1985) menyebutkan bahwa respons dari orang
terhadap pemimpin yang karismatik akan lebih besar penghormatan luar biasa oleh
beberapa orang dan kebencian luar biasa oleh beberapa orang lainnya. Jadi,
keuntungan memiliki beberapa pengikut yang berdedikasi yang mengenali pemimpin
akan diimbangi kerugiannya dengan memilki beberapa musuh yang kuat, kemungkinan
meliputi anggota yang berkuasa dari organisasi itu yang dapat merendahkan
program pemimpin tersebut atau berkonspirasi untuk menggeser pemimpin dari
kedudukannya.
Pengaruh dari
Karismatik Positif
Sebaliknya, karismatik positif memliki orientasi
kekuasaan sosial. Para pemimpin ini menekankan internalisasi dari nilai-nilai
bukannya identifikasi pribadi. Mereka berusaha untuk menanamkan kesetiaan
kepada ideologi lebih dari pada kesetiaan kepada diri mereka sendiri.
Para pengikut akan jauh lebih baik bila bersama
dengan pemimpin yang karismatik positif daripada dengan pemimpin karismatik
negatif. Mereka lebih besar kemungkinannya akan mengalami pertumbuhan
psikologis dan perkembangan kemampuan mereka dan organisasi akan lebih dapat
beradaptasi pada sebuah lingkungan yang dinamis, bermusuhan dan kompetitif.
Pemimpin yang karismatik positif biasanya menciptakan sebuah budaya yang “berorientasi
keberhasilan” (Harrison, 1987) “sistem kinerja tinggi” (Vaill, 1978), atau
organisasi yang “dipicu oleh nilai secara langsung” (Peters & Waterman,
1982). Organisasi jelas telah memahami misi yang mewujudkan nilai-nilai sosial
bukannya hanya keuntungan atau pertumbuhan, para anggota dari semua tingkatan
diberikan kewenangan untuk membuat keputusan penting tentang bagaimana
menerapkan strategis dan melakukan pekerjaan mereka, komunikasinya terbuka dan
informasi dibagikan, struktur dan sistem organisasi mendukung misinya. Otoritas
didelegasikan hingga batas yang cukup besar, informasi dibagikan secara
terbuka, didorongnya partisipasi dalam kepurtusan, dan penghargaan digunakan
untuk menguatkan perilaku yang konsisten dengan misi dan sasaran dari organisasi.
Hasilnya adalah kepemimpinan mereka akan makin menguntungkan bagi pengikut walaupun
kosekuensi yang mendukung tidak dapat dihindari jika stategi yang didorong oleh
pemimpin tidak tepat.
Teori
kepemimpinan Transformasional
Beberapa tahun lalu James MacGregor Burns
mengidentifikasi dua jenis kepemimpinan politis: transaksional dan
transformasional. Kepemimpinan transaksional mencakup hubungan pertukaran
antara pemimpin dan pengikut, tetapi kepemimpinan transformasional lebih mendasarkan
pada pergeseran nilai dan kepercayaan pemimpin, serta kebutuhan pengikutnya.
Dengan kepemimpinan transformasional, para pengikut
merasakan kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan penghormatan terhadap pemimpin,
dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari pada yang awalnya diharapkan
dari mereka. Menurut Bass, pemimpin mengubah dan memotivasi para pengikut
dengan:
1. Membuat mereka lebih menyadari pentingnya
hasil tugas
2. Membujuk mereka untuk mementingkan
kepentingan tim atau organisasi mereka dibandingkan dengan kepentingan pribadi
3. Mengaktifkan kebutuhan mereka yang lebih
tinggi
Bagi Bass (1985) kepemimpinan transformasional dan
transaksional itu berbeda, tetapi bukan proses yang sama-sama eksklusifnya.
Kepemimpinan transformasional lebih meningkatkan motivasi dan kinerja pengikut
dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional, tetapi pemimpin yang efektif
menggunakan kombinasi dari kedua jenis kepemimpinan tersebut.
Perilaku Pemimpin Transformasional:
·
Pengaruh ideal adalah perilaku yang membangkitkan
emosi dan identifikasi yang kuat dari pengikut terhadap pemimpin.
·
Pertimbangan individual meliputi pemberian dukungan,
dorongan dan pelatihan bagi pengikut.
·
Motivasi inspirasional meliputi penyampaian visi
yang menarik, denga menggunakan simbol untuk memfokuskan upaya bawahan, dan
membuat model perilaku yang tepat
·
Stimulasi intelektual adalah perilaku yang
meningkatkan kesadaran pengikut akan permasalahan dan mempengaruhi para
pengikut untuk memandang masalah dari perspektif yang baru
Kepemimpinan
transformasional juga terlihat melibatkan identifikasi pribadi karena pengaruh
ideal menghasilkan atribusi karisma oleh pengikut kepada pemimpin. “Karisma
merupakan unsur kepemimpinan transformasional yang dibutuhkan, tetapi dirinya
sendiri tidaklah mencukupi bagi proses transformasional” (Bass, 1985 hlm.31).
Kondisi yang
Memudahkan
Menurut
Bass (1996,1997) kepemimpinan transformasional dianggap efektif dalam situasi
atau budaya apapun. Teori ini tidak menyebutkan suatu kondisi dimana
kepemimpinan transformasional autentik tidak relevan atau tidak efektif. Untuk
mendukung posisi ini, hubungan positif antara kepemimpinan transformasional
dengan efektivitas telah ditiru oleh banyak pemimpin yang berada pada tingkatam
otoritas yang berbeda, dalam jenis organisasi berbeda, dan dalam negara berbeda
(Bass, 1997). Kriteria dari efektivitas kepemimpinan telah meliputi berbagai
jenis ukuran berbeda. Bukti-bukti mendukung kesimpulan bahwa dalam sebagian
besar, jika bukan semua situasi, beberapa aspek kepemimpinan transformasional
adalah relevan. Namun, relevansi universal tidak berarti bahwa kepemimpinan
transformasional sama efektifnya dalam semua situasi atau sama-sama mungkin
terjadi.[13]
Pedoman Untuk Kepemimpinan Transformasional
1.
Menyatakan visi yang jelas dan menarik
Sebuah
visi yang jelas mengenai apa yang dapat dicapai organisasi atau akan jadi
apakah sebuah organisasi itu akan membantu orang untuk memahami tujuan, sasaran
dan prioritas dari organisasai. Hal ini memberikan makna pada pekerjaan,
berfungsi sebagai sebuah sumber keyakinan diri dan memupuk rasa tujuan bersama.
Akhirnya, visi membantu memandu sebuah tindakan dan keputusan dari setiap
aggota organisasi, yang amatlah berguna saat orang-orang atau kelompok
diberikan otonomi dan keleluasaan yang cukup besar dalam keputusan ke pekejaan
mereka (Hackman, 1986; Raelin, 1989).
2.
Menjelaskan bagaimana visi tersebut dapat dicapai
Tidaklah
cukup hanya menyampaikan sebuah visi yang menarik; pemimpin juga harus
meyakinkan para pengikut bahwa visi itu memungkinkan. Amatlah penting untuk
membuat hubungan yang jelas antara visi itu dengan sebuah strategi yang dapat
dipercaya untuk mencapainya. Hubungan ini lebih mudah dibangun jika strateginya
memiliki beberapa tema jelas yang relevan dengan nilai bersama dari para
anggota organisasi (Nadler, 1988).
3.
Bertindak secara rahasia dan optimistis
Para
pengikut tidak akan meyakini sebuah visi kecuali pemimpinnya memperlihatkan
keyakinan diri dan pendirian. Adalah penting untuk tetap optimistis tentang
kemungkinan keberhasilan kelompok itu dalam mencapai visinya, khisusnya
dihadapan halangan dan kemunduran sementara. Keyakinan dan optimisme seorang
manajer dapat amat menular. Amatlah baik untuk menekankan aspek positif dari
visi itu daripada pada halangan dan bahaya yang akan dihadapi.
4.
Memperlihatkan keyakinan terhadap pengikut
Pengaruh
yang memberikan motivasi dari sebuah visi bergantung pada batasan dimana
bawahan yakin akan kemampuan mereka untuk mencapainya. Penelitian mengenai
“pengaruh Pygmalion” menemukan bahwa orang memilki kinerja yang lebih baik saat
seorang pemimpin memiliki harapan yang tinggibagi mereka dan memperlihatkan
keyakinan terhadap mereka (Eden, 1984, 1990; Eden & Shani, 1982; Field,
1989; Sulton & Woodman, 1989)
5.
Menggunakan tindakan dramatis dan simbolis untuk
menekankan nilai-nilai penting
Perhatian
akan nilai atau sasaran diperlihatkan dengan cara bagaimana seorang manajer
menghabiskan waktunya, dengan keputusan alokasi sumber daya yang dibuat saat
terdapat pertukaran antar sasaran, dengan pertanyaan yang ditanyakan manajer,
dan dengan tindakan apa yang dihargai oleh manajer tersebut.
Tindakan
simbolis untuk mencapai sebuah sasaran penting atau mempertahankan sebuah nilai
akan lebih mungkin memberikan pengaruh saat manajer itu membuat risiko kerugian
pribadi yang cukup besar, membuat pengorbanan diri, atau melakukan hal-hal yang
tidak konvensional
6.
Memimpin dengan memberikan contoh
Menurut
peribahasa, tindakan berbicara lebih keras daripada perkataan. Satu cara
seorang pemimpin dapat mempengaruhi komitmen bawahan adalah dengan menetapkan
sebuah contoh dari perilaku yang dapat dijadikan contoh dalam interaksi
keseharian dengan bawahan. Memimpin dengan memberikan contoh terkadang disebut
“pembuatan model peran”.
7.
Memberikan kewenangan kepada orang-orang untuk
mencapai visi itu
Pemberian
kewenangan berarti mendelegasikan kewenangan untuk keputusan tentang bagaimana
melakukan pekerjaan kepada orang-orang dan tim. Ini berarti meminta orang untuk
menentukan sendiri cara terbaik untuk menerapkan strategi atau mencapai
sasaran, bukannya memberitahu mereka secara rinci tentang apa yang harus
dilakukan.[14]
Kepemimpinan Transformasional versus
Karismatik
Bass (1985) menyatakan bahwa karisma merupakan komponen
yang diperlukan dari kepemimpinan transformasional, tetapi ia juga menyatakan
bahwa seorang pemimpin bisa menjadi karismatik tetapi tidak transformasional. Inti dari kepemimpinan transformasional
terlihat memberikan inspirasi, mengembangkan dan memberikan wewenang kepada pengikut.
Pengaruh ini dapat mengurangi atribusi karisma terhadap pemimpin bukan
meningkatkannya. Jadi, proses mempengaruhi yang penting untuk kepemimpinan
transformasional mungkin tidak sepenuhnya dapat dibandingkan dengan proses
mempengaruhi yang penting dari kepemimpina karismatik, yang melibatkan
ketergantungan pada seorang pemimpin yang luar biasa.
Banyak
perilaku kepemimpinan dalam teori kepemimpinan karismatik dan transformasional
yang terlihat sama, tetapi mungkin terdapat perbedaan penting juga. Para
pemipin transformasional. Para pemimpin transformasional barangkali melakukan
lebih banyak hal yang akan memberikan kewenangan kepada pengikut dan membuat
mereka tidak terlalu bergantung pada pemimpin, seperti mendelegasikan
kewenangan yang besar kepada beberapa orang, menegembangkan keyakinan dan
ketrampilan diri para pengikut, menciptakan kelompok yang mengelola sendiri,
memberikan akses langsung terhadap informasi sensitif, menghilangkan
pengendalian yang tidak diperlukan, dan membangun sebuah budaya yang kuat untuk
mendukung pemberia kewenangan. Sedangkan para pemimpin karismatik melakukan
lebih banyak hal yang memupuk sebuah citra kompetensi yang luar biasa, seperti
manajemen kesan, batasan informasi, perilaku yang tidak konvensional, dan
pengambilan risiko pribadi.
Selain
itu juga terdapat perbedaan antara kepemimpinan transformasional dan
karismatik. Menurut Bass, para pemimpin transformasional dapat ditemukan dalam
organisasi apapun pada tingkat apapun, dan jenis kepemimpinan ini secara universal
relevan bagi semua jenis informasi (Bass, 1996, 1997). Sebaliknya para pemimpin
yang karismatik itu langka, dan munculnya mereka terlihat lebih bergantung
pada kondisi yang mendukung (Bass, 1985; Beyer 1999; Shamir & Howell 1999).
Mereka paling mungkin menjadi pengusaha yang memiliki visi yang mendirikan
sebuah organisasi baru, atau para reformis yang muncul dalam sebuah organisasi
yang didirikan saat kewenangan formal telah gagal menghadapi krisis yang parah
sehingga nilai dan keyakinan tradisional dipertanyakan. Reaksi dari orang-orang
terhadap pemimpin karismatik biasanya lebih ekstrem dan beragam dibanding
dengan reaksi terhadap pemimpin transformasional (Bass, 1985).
Teori Kepemimpinan
Transaksional
Kepemimpinan transaksional, pemimpin yang memandu atau
memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang di tegakkan dengan
memperjelas peran dan tuntutan tugas. Kepemimpinan transaksional merupakan
salah satu gaya kepemimpinan yang intinya menekankan transaksi di antara
pemimpin dan bawahan. Kepemimpinan transaksional memungkinkan pemimpin memotivasi dan
mempengaruhi bawahan dengan cara mempertukarkan reward dengan kinerja tertentu.
Artinya, dalam sebuah transaksi bawahan dijanjikan untuk diberi reward bila
bawahan mampu menyelesaikan tugasnya sesuai dengan kesepakatan yang telah
dibuat bersama.
Alasan ini mendorong Burns untuk mendefinisikan kepemimpinan
transaksional sebagai bentuk hubungan yang mempertukarkan jabatan atau tugas
tertentu jika bawahan mampu menyelesaikan dengan baik tugas tersebut. Jadi,
kepemimpinan transaksional menekankan proses hubungan pertukaran yang bernilai
ekonomis untuk memenuhi kebutuhan biologis dan psikologis sesuai dengan kontrak
yang telah mereka setujui bersama.
Menurut Bass (1985), sejumlah langkah dalam proses
transaksional yakni pemimpin transaksional memperkenalkan apa yang diinginkan
bawahan dari pekerjaannya dan mencoba memikirkan apa yang akan bawahan peroleh
jika hasil kerjanya sesuai dengan transaksi. Pemimpin menjanjikan imbalan bagi usaha yang dicapai,
dan pemimpin tanggap terhadap minat pribadi bawahan bila ia merasa puas dengan
kinerjanya.
Kepemimpinan Transaksional mendasarkan pada asumsi bahwa kepemimpinan
merupakan kontrak sosial antara pemimpin dan para pengikutnya. Pemimpin dan
para pengikutnya merupakan pihak-pihak yang independen yang masing-masing
mempunyai tujuan, kebutuhan dan kepentingan sendiri. Sering tujuan, kebutuhan
dan kepentingan tersebut saling bertentangan sehingga mengarah ke situasi
konflik. Misalnya, di perusahaan sering tujuan pemimpin perusahaan dan tujuan
karyawan bertentangan sehingga terjadi peerselisihan industrial.
Dalam teori kepemimpinan ini hubungan antara pemimpin dan para
pengikutnya merupakan hubungan transaksi yang sering didahului dengan negosiasi
tawar menawar. Jika para pengikut memberikan sesuatu atau melakukan sesuatu
untuk pemimpinnya, pemimpin juga akan memberikan sesuatu kepada para
pengikutnya. Jadi seperti ikan lumba-lumba di Ancol yang akan meloncat jika
pelatihnya memberikan ikan. Jika pelatihnya tidak memberikan ikan, lumba-lumba
tidak akan meloncat.
Prinsip dasar teori kepemimpinan
transaksional adalah:
(1) Kepemimpinan merupakan pertukaran
sosial antara pemimpin dan para pengikutnya.
(2) Pertukaran tersebut meliputi pemimpin
dan pengikut serta situasi ketika terjadi pertukaran.
(3) Kepercayaan dan persepsi keadilan
sangat esensial bagi hubungan pemimpin dan para pengikutnya.
(4) Pengurangan ketidak pastian merupakan
benefit penting yang disediakan oleh pemimpin.
(5) Keuntungan dari pertukaran sosial sangat
penting untuk mempertahankan suatu hubungan sosial.
Hubungan antara Persepsi Gaya
Kepemimpinan Transaksional dan Transformasional dengan Kepuasan Kerja
Salah satu teori yang menekankan suatu perubahan dan
yang paling komprehensif berkaitan dengan kepemimpinan adalah teori
kepemimpinan transformasional dan transaksional (Bass, 1990). Gagasan awal
mengenai gaya kepemimpinan transformasional dan
transaksional ini dikembangkan oleh James MacFregor Gurns yang menerapkannya
dalam konteks politik. Gagasan ini selanjutnya disempurnakan serta
diperkenalkan ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass (Berry dan
Houston, 1993).
Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997) mengemukakan bahwa gayakepemimpinan
transformasional dan transaksional dapat dipilah secara tegas dan keduanya
merupakan gaya kepemimpinan yang saling bertentangan. Di bawah ini disebutkan
beberapa karakteristik dari para pemimpin transaksional dan transformative.([15])
·
Pemimpin Transaksional
ü Kemungkinan pengharapan : berupa kontrak pertukaran penghargaan
dengan usaha-usaha yang dicapai, janji pengharapan untuk prestasi kerja yang
baik, pengakuan keberhasila.
ü Manajemen dengan pengecualian (aktif) : memperlihatkan dan meneliti
penyimpangan-penyimpangan dari aturan-aturan dan standar tertentu, mengambil
tindakan korektif.
ü Manajemen dengan pengecualian (pasif) : hanya mengintervensi kalau standar
yang ditentukan tidak terpercayai.
ü “laissez Faire” (kompetisi bebas) : melepaskan tanggung jawab dan
menghindari pembuatan keputusan.
·
Pemimpin Transformatif
ü Kharisma : memberikan visi kesadaran
misi, mengajarkan kebanggaan, memperoleh respek, dan kepercayaan.
ü Inspirasi : mengomunikasikan harapan-harapan
yang tinggi, menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha, mengekspresikan
usulan-usulan penting dengan cara-cara sederhana.
ü Stimulasi intelektual : mempromosikan
kecerdasan, rasionalitas, dan penyelesaian masalah secara berhati-hati.
ü Pertimbangan individual : memberikan
perhatian pribadi, pelatihan-pelatihan, dan nasihat-nasihat serta memperlakukan
tiap karyawan secara individual.
Bass (dalam Howell dan Avolio, 1993) mengemukakan
bahwa karakteristik kepemimpinan transaksional terdiri atas dua aspek, yaitu
imbalan kontingen, dan manajemen eksepsi. Berkaitan dengan pengaruh gaya
kepemimpinan transformasional terhadap perilaku karyawan, Podsakoff dkk. (1996)
mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional merupakan faktor penentu yang mempengaruhi
sikap, persepsi, dan perilaku karyawan di mana terjadi peningkatan kepercayaan
kepada pemimpin, motivasi, kepuasan kerja dan mampu mengurangi sejumlah konflik
yang sering terjadi dalam suatu organisasi.
Berbagai penelitian yang dilakukan berkaitan dengan
kepuasan kerja terutama dalam hubungannya dengan gaya kepemimpinan
transformasional dan transaksional. Penelitian yang dilakukan oleh Koh dkk.
(1995) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepemimpinan
transformasional dan transaksional dengan kepuasan kerja. Penelitian yang
dilakukan oleh Popper dan Zakkai (1994) menunjukkan bahwa pengaruh kepemimpinan
transformasional terhadap organisasi sangat besar.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi
orang lain, bawahan atau kelompok, kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan
atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian khusus dalam bidang yang
diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok.
Kata
pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan memiliki keterikatan yang tak dapat
dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu
sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki
beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang
digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat – sifatnya,
atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap
teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.
Teori
ataupun gaya kepemimpinan muncul berdasarkan kebutuhan akan model baru dalam
suatu kepemimpinan. Hal itu bisa di sebabkan oleh lingkungan internal ataupun eksternal
suatu organisasi. Oleh karena itu, banyak muncul teori dan gaya kepemimpinan baru yang
diharapakan sesuai dengan kebutuhan suatu organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Thoha Miftah.
2007. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Muchlas
Makmuri.2008. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Yukl, Gary.
2005. Kepemimpinan dalam Organisasi.
ed.5. Jakarta: PT. Indeks
Robbins,
Stephen P. 2002. Perilaku Organisasi.
ed.8. Jakarta: PT. Prenhallindo
Kreitner,
Robert; Kinicki, Angelo. 2005. Perilaku
Organisasi (Organizational Behavior). ed.5.
Jakarta: Salemba Empat
Luthans
Fred. 2006. Perilaku Organisasi. ed. X. Yogyakarta: Penerbit Andi Copyright
[1]
Makmuri Muchlas, Perilaku Organisasi, hal. 318
[2]
Robert Kreitner, Angelo Kinicki, Perilaku
Organisasi (Organizational Behavior), ed. 5, hlm. 299-301.
[3]
Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi,
ed.5, 2005, hlm. 7.
[4] Ibid., hlm. 8.
[5]
Robert Kreitner, Angelo Kinicki, Perilaku
Organisasi (Organizational Behavior), ed. 5, hlm. 301.
[6]
Fred Luthans, Perilaku Organisasi, ed. X,
h. 639
[7] Peter G. Northouse, Leadership
: Theory and Practice, Fifth Edition (Thousand Oaks, California : SAGE
Publication, 2010) p.71. Sebelum muncul footnote baru, materi ini masih
mengikut pendapat Northouse.
[8]
Keith Davis, Human Behavior at Work, 4 th ed., New York, McGraw-Hill Bppk
Company, 1972, h. 103-104.
[9]
Alan C. Filley, Robert J. House, dan Steven Kerr, Managerial process and Organizational
Behavior, 2nd ed., Scott, Foresman, Glenview, Illinois. 1976, h.
219-222.
[10]
Makmuri Muchlas, Perilaku Organisasi, hal. 328
[11]
Fred Luthans, Perilaku Organisasi, ed. X, h. 649
[12]
Fred Luthans, Perilaku Organisasi, ed. X, h. 652
[13]
Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi,
ed.5, 2005, hlm. 300-306.
[14]
Gary Yukl, Kepemimpinan Dalam Organisasi,
ed.5, 2005, hlm. 312-319.
[15]
Makmuri Muchlas, Perilaku Organisasi, hal. 346
No comments:
Post a Comment