MAKALAH
TASAWUF AKHLAKI
Dosen Pengampu :
Dr.H.Misbahul Munir,L.c, M.EI
Oleh :
HERU
DWI P. (09510120)
SETYA CANDRA (11510012)
M. AGUS INDARTO (11510040)
LORA ASMASARI ( 11510082)
FIDA NUR OKTAVIA (11510153)
JURUSAN
MANAJEMEN
FAKULTAS
EKONOMI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf timbul dalam Islam sesudah
umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama
Hindu dan Budha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas
pengaruh dari luar. Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari
rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadah dan mendekatkan diri
kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang
yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi
tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka
menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah
dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari khalayak ramai. Mereka
adalah orang yang berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan
berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, Ruh manusia adalah
suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke
dalam tubuh manusia yang bernafsu. Ruh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak
suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk
itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada filsafat serta
ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian.
Ruh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam Ruhani yang
suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh
manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, Ruh yang telah
kotor itu dibersihkan dahulu melalui ibadah yang banyak serta melewati beberapa
ujian-ujian dari mulai membersihkan diri dari segala dosa hingga mencapai rida
Ilahi.
Dari agama Budha, pengaruhnya
dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia,
memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri
untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari
agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman
melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat
pengalaman ittihad.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan
Budha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang
kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu
kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis.
Hakekat tasawuf adalah mendekatkan
diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan
manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebutkan Alquran dan Hadits.
"Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan
mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
Ayat berikut menggambarkan lebih
lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia
dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat
dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya.” Ayat ini
menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri
manusia sendiri.
Disini, sufi melihat persatuan
manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Tuhan dekat
bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana
dijelaskan hadis berikut, “Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi,
kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku pun
dikenal.”
Disini terdapat paham bahwa Tuhan
dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau
ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, maka hadis terakhir ini mengandung konsep
wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat Alquran dan
Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada
makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar
agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan
banyak beribadah ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan
mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan Ruhnya dengan Ruh Tuhan; dan
inilah hakikat tasawuf.
B. Rumusan Masalah
1..Bagaimanakah Perkembangan Tasawuf ?
2. Apakah Yang dimaksud dengan Tasawuf Akhlaki ?
3. Siapakah Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaki dan Ajarannya ?
C. Tujuan Penulisan
1 Agar mengetahui Perkembangan Ilmu Tasawuf.
2. Mengetahui Pengertian Tasawuf Akhlaki
3.Mengetahui tokoh-tokoh tasawuf Akhlaki dan
Ajarannya.
D. Manfaat penulisan
Adapun manfaat dari penulisan
makalah ini adalah, kita sebagai manusia harus:
1. Dapat menerapkan dan mempraktekan dari prinsip tasawuf
sebagai dasar pola hidup yang sederhana dan tidak tamak.
2. Dapat melakukan hubungan yang baik dengan
lingkungan, dan kepada tuhannya.
3. Mendekatkan diri kepada Sang Pencipta Alam
Semesta.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Tasawuf
Secara keilmuan, tasawuf adalah
disiplin ilmu yang baru dalam syari’at Islam, demikian menurut Ibnu Khaldun.[1] Adapaun asal-usul tasawuf menurutnya adalah konsentrasi
ibadah kepada Allah, meninggalkan kemewahan dan keindahan dunia dan menjauhkan
diri dari akhluk. Ketika kehidupan materialistik mulai mencuat dalam peri
kehidupan masyarakat muslim pada abad kedua dan ketiga hijriyyah sebagai akibat
dari kemajuan ekonomi di dunia Islam, orang-orang yang konsentrasi beribadah
dan menjauhkan diri dari hiruk pikuknya kehidupan dunia disebutlah kaum sufi.
Akar-akar tasawuf dalam Islam
merupakan penjabaran dari ihsan. Ihsan sendiri merupakan bagian dari trilogi
ajaran Islam. Islam adalah satu kesatuan dari iman, islam dan ihsan. Islam
adalah penyerahan diri kepada Allah secara zahir, iman adalah I’tikad batin
terhadap hal-hal gaib yang ada dalam rukun iman, sedangkan ihsan adalah
komitmen terhadap hakikat zahir dan batin.
Islam, iman dan ihsan adalah
landasan untuk melakukan suluk dan taqqarub kepada Allah. ‘Iz bin Abdissalam
berpendapat bahwa sistematika keberagamaan bagi kaum muslimin, yang pertama
adalah Islam[2]. Islam merupakan tingkat pertama beragama bagi kaum awam. Iman
adalah tingkatan pertama bagi hati orang khusus kaum mukminin, sedangkan ihsan
adalah tingkatan pertama bagi ruh kaum
B. Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang
berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan
akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti
ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah[3].
Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.
Dalam pandangan para sufi
berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan
terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap
awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan
latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu,
menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa
nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem
pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan
oleh seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan
akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan
akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan
duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli
dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela.
Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun
internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang
bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam
adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui
pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase
tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah
diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir
mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur-
tidak berkurang, maka, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut.
Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang
mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
B. Para Tokoh Tasawuf
Akhlaki
1. HASAN AL-BASHRI
a.
Riwayat Hidup
Hasan
Al-Bashri yang nama lengkapnya Abu Said Al-hasan bin Yasar, adalah seorang
zahid yang sangat masyhur dikalangan tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah pada
tahun 21 H. (632 M) dan wafat pada hari kamis bulan rajab tanggal 10 tahun 110
H (728 H). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin Khaththab wafat.
Ia dikabarkan bertemu dengan 70 sahabat yang menyaksikan peperangan badar dan
300 sahabat lainnya[[1]].
Dialah
yang mula-mula menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu
kebathinan, kemurnian akhlak, dan usaha mensucikan jiwa di Masjid Bashrah.
Ajaran-ajarannya tentang kerohaniawan senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi.
Karir kependidikan hasan Al-Bashri dumulai dari Hijaz. Ia berguru hampir kepada
seluruh ulama disana. Bersama ayahnya, ia kemudian pindah ke Bashrah, tempat
yang membuatnya masyhur dengan nama Hasan Al-Bashri. Puncak keilmuannya ia
peroleh disana.
Hasan
Al-Bashri terkenal dengan keilmuannya yang sangat dalam. Tak heran kalau ia
menjadi imam di bashrah khususnya dan daerah-daerah lainnya. Di samping dikenal
sebagai zahid, ia pun dikenal sebagai seorang tang wara’ dan berani dalam
memperjuangkan kebenaran. Diantara karya tulisnya, ada yang berisi kecaman
terhadapa aliran kalam Qadariyah dan tafsir-tafsir Al-Qur’an.
b. Ajaran-ajaran
Tasawufnya[[2]]
Abu
Na’im Al-Ashbahani menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al-Bashri sebagai
berikut, “Takut (khauf) dan pengharapan (raja’) tidak akan dirundung kemuraman
dan keluhan; tidak pernah tidur senang karena mengingat Allah”. Pandangan
tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk senantiasa
bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh perintah Allah
dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Lebih jauh Hamkah mengemukakan sebagian
ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri seperti ini[3]:
1.
Perasaan takut yang menyebabkan hatimu tentram lebih baik dari pada rasa
tentram yang menimbulkan perasaan takut .
2.
Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa bertemu dunia dengan perasaan
benci dan zuhud, ia akan berbahagia dan memperoleh faedah darinya. Namun,
barang siapa bertemu dunia dengan perasaan rindu dan hatinya tertambat dengan
dunia, ia akan sengsara dan akan berhadapan dengan penderitaan yang tidak dapat
ditanggungnya.
3.
Tafakkur membawa kita kepada kebaikan dan selalu berusaha untuk mengerjakannya.
4.
Dunia ini adalah seorang janda tua yang telah bungkuak dan beberapa kali
ditinggalkan matyi suaminya.
5.
Orang yang beriman akan senantiasa berduka cita pada pagi dan sore hari karena
berada diantara dua perasaan takut: takut mengenang dosa yang telah lampau dan
takut memikirkan ajal yang masih tinggal serta bahaya yang akan mengancam.
6.
Hendaklah setiap orang sadar akan kematian yang senantiasa mengancamnya, dan
juga takut akan kiamat yang hendak menagih janjinya.
7.
Banyak duka cita di dunia memperteguh seemangat amal sholeh.
Berkaitan
dengan ajaran tasawuf Hasan Al-Bashri, Muhammad Mustafa, guru besar Filsafat
Islam, menyatakan kemungkinan bahwa tasawuf Hasan Al-Bashri didasari oleh rasa
takut siksa Tuhan di dalam neraka. Namun, lanjutnya, setelah kami teliti
ternyata bukan perasaan takut terhadap siksaanlah yang mendasari tasawufnya,
tetapi kebesaran jiwanya akan berkuran dan kelalaian dirinya mendasari
tasawufnya itu. Sikapnya itusenada dengan sabda Nabi yang berbunyui, “Orang
beriman yang selalu mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukannya adalah laksana
orang duduk dibawah sebuah gunung besar yang senatiasa takut gunung itu akan
menimpa dirinya”[[4]].
2..
AL-MUHASIBI
a.
Biografi Singkat
Nama
lengkapnya adalah Abu Abdillah al-Harits Bin Asad Al-Muhasibi,tokoh sufi ini
lebih dikenal dengan sebutan Al-Muhasibi. Ia dilahirkan di Basrah, Irak tahun
165 H atau 781 M dan meninggal di Negara yang sama pada tahun 243 H atau 857 M.
Ia adalah sufi dan ulama besar yang menguasai tasawuf, hadis dan fiqh.
Al-Muhasibi menulis sejumlah buku. Menurut Abd. Al Mun’im Al-Hifni seorang ahli
tasawuf dari Mesir Al-Muhasibi menulis kurang lebih 200 buku. Diantar
buku-bukunya adalah Ar-Ri’ayah Li Hukuqillah (pemeliharaan terhadap hak-hak
Allah) Al-Washaya (wasia-wasiat) dan Al-Masa’il fie Amal Al-qulub Wa Al-Jawahir
(berbagai masalah mengenai perbuatan hati dan anggota badan).
Beliau
menempuh jalan tasawuf karena hendak keluar dari keraguan yang dihadapinya.
Tatkala mengamati madzhab-mazdhab yang dianut umat Islam, Al-Muhasibi menemukan
kelompok didalamnya. Di antara mereka ada sekelompok orang yang tahu benar
tentang keakhiratan, namun jumlah mereka sangat sedikit. Sebagian besar dari mereka
adalah orang-orang yang mencari ilmu karena kesombongan dan motivasi
keduniawian. Al-Muhasibi memandang bahwa jalan keselamatan hanya dapat ditempuh
melalui ketakwaan kepada Allah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, wara’, dan
meneladani Rasulullah. Menurut Al-Muhasibi, tatkala sudah melaksanakan hal-hal
diatas, maka seseorang akan diberi petunjuk oleh Allah berupa penyatuan antara
fiqih dan tasawuf. Ia akan meneladani Rasulullah dan lebih mementingkan akhirat
daripada dunia.
1.
Pandangan Al-Muhasibi Tentang Ma’rifat Al-Muhasibi mengatakan ma’rifat harus
ditempuh melalui jalan tasawuf yang berdasarkan pada kitab dan sunnah. Selaras
dengan hadis Rasulullah yang berbunyi, “Pikirkanlah makhluk-makhluk Allah dan
jangan coba-coba memikirkan tentang dzat Allah sebab kalian akan tersesat
karenanya”. Al-Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut :
a.
Taat : awal kecintaan kepada Allah adalah taat, yaitu wujud konkret ketaatan
hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan
ketaatan, bukan sekedar pengungkapan keciitaan semata sebagaimana dilakukan
oleh sebaguian orang. Mengekpresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan
ungkapan-ungkapan, tanpa pengamalan merupakan kepalsuan semata.
b.
Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati
merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
c.
Pada tahap ketiga ini Allah menyingkapkan khazanah-khazanah keilmuan dan
kegaiban kepada setiap orang yang telah menempuh kedua tahap diatas. Ia akan
menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
d.
Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi dengan fana’ yang
menyebabkan baqa’.
2.
Pandangan Al-Muhasibi tentang Khauf dan Raja’ Dalam pandangan Al-Muhasibi,
khauf (rasa takut) dan raja’ (pengharapan) menempati posisi penting dalam
perjalanan seseorang membersihkan jiwa. Ia memasukkan kedua sifat itu dengan
etika-etika, keagamaan lainnya, yakni, ketika disifati dengan khauf dan raja’,
seseorang secara bersamaan disifati pula oleh sifat-sifat lainnya. Pangkal
wara’, menurutnya adalah ketakwaan; pangkal ketakwaan adalah introspeksi diri
(musabat Al-nafs); pangkal introspekasi diri adalah khauf dan raja’; pangkal
khauf dan raja’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah; pangkal
pengetahuan tentang keduanya adalah perenungan.
Khauf
dan raja’. Menurut Al-Muhasibi, dapat dilakukan dengan sempurna bila berpegang
pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dalam hal ini, ia mengaitkan kedua sifat itu
dengan ibadah dan janji serta ancaman Allah. Al-Muhasibi lebih lanjut mengatakan
bahwa Al-Qur’an jelas berbicara tentang pembalasan (pahala) dan siksaan.
Al-Qur’an jelas pula berbicara tentang surga dan neraka. Ia kemudian mengutip
ayat-ayat yang berikut yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada
dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa apa
yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu
di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik; mereka sedikit sekali tidur
diwaktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).”
(Q.S. Adz-Dzariyyat, :5).
Raja’dalam
pandangan Al-Muhasibi, seharusnya melahirkan amal shaleh. Seseorang yang telah
melakukan amal shaleh, berhak mengharap pahala dari Allah. Dan inilah yang dilakukan
oleh mukmin sejati dan para sahabat nabi sebagaimana digambarkan oleh ayat yang
artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan
rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. Al-Baqarah,
: 218)
3. AL-QUSYAIRI
a.
Riwayat Hidup
Al-Qusyairi
Nama lengkap Al-Qusyairi adalah ‘Abdul Karim bin hawazin lahir pada tahun 376 H
di Istiwa, kawasan Nishafur yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan
pada masanya. Disinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, seorang
sufi terkenal. Al-Qusyairi selalu menghadiri mejelis gurunya dan dari
gurunyalah Al-Qusyairi menempuh jalan tasawuf. Sang guru menyarankan untuk
mengawasinya dengan mempelajari syari’at. Karena itu, Al-Qusyairi lalu
mempelajari fiqih pada seorang faqih, Abu Bakr Muhammad bin Abu Bakr Ath-Thusi
(wafat tahun 405 H), da mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqh pada Abu Bakr
bin Farouq (wafat tahun 406 H). selain ityu ia pun menjadi murid Abu Ishaq
Al-Isfarayani (wafat tahun 418 H) dan menelaah karya-karya Al-Baqillani.
Al-Qusyairi wafat tahun 465 H
c. Ajaran-ajaran
Tasawuf Al-Qusyairi
·
Mengembalikan
tasawuf ke landasan ahlussunah
Seandainya
karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, dikaji secara mendalam, akan
tampak jelas bagaimana Al-Qusyairi cenderung mengembalilkan tasawuf keatas
landasan doktrin ahlus sunnah, sebagaimana pernyataannya : “Ketahuilah! Para
tokoh aliran ini (maksudnya para sufi) membina prinsip-prinsip trasawuf atas landasan
tauhid yang benar, sehingga doktrin mereka terpelihara dari penyimpangan.
Selain itu, mereka lebih dekat dengan tauhid kaum salaf maupun ahlus-sunnah,
yang tak tertandingi dan tak mengenal macet. Mereka pun tahu hak yang lama, dan
bisa mewujudkan sifat ssuatu yang diadakan dari ketiadaannya. Karena itu tokoh
aliran ini, Al-Junaid mengatkan bahwa tauhid adalah pemisah hal yang lama
dengan hal yang baru. Landasan doktrin-doktrin mereka pun didasarkan pada
dalil-dalil dan bukti yang kuat serta gamblang. Abu Muhammad Al-Jariri
mengatakan bahwa barang siapa tidak mendasarkan ilmu tauhid pada salah satu
pengokohnya, niscaya kakinya tergelincir kedalam jurang kehancurannya”.
- Kesehatan
batin
Selain
itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada masanya yang gemar
mempergunakan pakaian orang-orang miskin, sedangkan tindakan mereka
bertentangan dengan pakaian mereka. Ia menekankan bahwa kesehatan bathin,
dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-sunnah, lebih penting dibandingkan
dengan pakaian lahiriyah. Karena itu pula, Al-Qusyairi menyatakan bahwa ia
menulis risalahnya karena dorongan perasaan sedihnya ketika ia melihat hal-hal
yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud menjelek-jelekkan salah seorang
dari kelompok tersebut dengan mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian
penyerunya. Risalahnya itu menurutnya, hanya sekedar “pengobat keluhan” atas
apa yang menimpa tasawuf pada masanya. Dari uraian ini tampak jelas bahwa
pengembalian arah tasawuf, menurut Al-Qusyairi, dapat dilakukan dengan merujuknya
pada doktrin ahlus sunnah wal jamaah, yaitu dengan mengikuti para sufi sunni
abad ketiga dan keempat hijriyah sebagaimana diriwayatkannya dalam Ar-Risalah.
4. AL-GHAZALI
a.
Biografi Singkat
Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us
Ath-Thusi Asy Syafi’i Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali.
Ia
dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di Ghazlah, sutu kota di Khurasan, Iran.
Pada tahun 450 H / 1058 M, tiga tahun setelah kaum saljuk mengambil alih
kekuasaan di Baghdad. Ayah Al-Ghazali adalah seorang pemintal kain wol miskin
yang taat, menyenangi ulama, dan aktif menghadiri majelis-majelis pengajian.
Ketika menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Ghazali dan adiknya yang
bernama Ahmad kepada seorang sufi. Ia menitipkan sedikit harta kepada sufi itu,
seraya berkata dalam wasiatnya :
“Aku menyesal sekali karena aku tidak belajar
menulis, aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak kuperoleh itu melalui
kedua putraku ini”. Sufi tersebut mendidik dan mengajar keduanya sampai suatu
hari harta titipannya habis dan sufi itu tidak mampu lagi memberi makan
keduanya. Selanjutnya sufi itu menyarankan kedua anaknya untuk belajar pada
pengelola sebuah madrasah sekaligus untuk menyambung hidup mereka. Di madrasah
inilah Al-Ghazali mempelajari ilmu fiqih kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani.
Kemudian Al-Ghazali memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan
disinilah ia belajar kepada Imam Haramain hingga menguasai ilmu mantiq, ilmu
kalam, fiqih-ushul fiqih, tasawuf, dan retorika perdebatan. Setelah Imam
Haramain wafat (478 H / 1086 M), Al-Ghazali pergi ke Baghdad, yaitu kota tempat
berkuasanya Nizham Al-Muluk. Kota ini merupakan tempat berkumpul sekaligus
tempak diselenggarakannya perdebatan antar ulama-ulama terkenal. Sebagai
seorang yang menguasai retorika perdebatan, ia terpancing untuk melibatkan diri
dalam perdebatan-perdeeebatan itu dan sering mengalahkan ulama-ulama ternama,
sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Ghazali. Kegiatan
perdebatan dan penyelaman berbagai aliran menimbulkan pergolakan dalam diri
Al-Ghazali karena tidak ada yang memberikan kepuasan bathinnya. Ia pun
memutuskan melepaskan jabatannya dan meninggalkan Baghdad menuju Syiria,
Palestina, dan kemudian ke Mekkah untuk mencari kebenaran . Setelah menemukan
kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, maka tidak lama kemudian ia menghembuskan
nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 Masehi[15] atau
pada hari senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriyah dengan banyak meninggalkan
karya tulisnya
b.
Ajaran Tasawuf Al-Ghazali
Di
dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi ditambah dengan doktrin ahlus sunnah wal jamaah. Dari faham
tasawufnya itu, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi
para filosof Islam, sekte Ismailiyah, aliran syiah, Ikhwan As-Shafa, dan
lain-lain. Ia menjauhkan tasawufnya dari faham ketuhanan Aristoteles, seperti
emanasi dan penyatuan. Itulah sebabnya, dapat dikatakan bahwa tasawuf Al-Ghazali
benar-benar bercorak Islam.
Corak
tasawufnya adalah psiko-moral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat
dilihat dalam kerya-karyanya, seperti Ihya’ Ulum Al-Din, Minhaj Al-‘Abidin,
Mizan Al-Amal, Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj Al-Salikin a, Ayyuhal Walad. Menurut
Al-Ghazali, jalan menuju tasawuf dapat dicapai dengan cara mematahkan
hambatan-hambatan jiwa, serta membersihkan diri dari moral yang tercela,
sehingga kalbu lepas dari segalasesuatu selain Allah dan selalu mengingat
Allah. Al-Ghazali menilai negatif terhadap syathahat. Ia menganggap bahwa
syathahat mempunyai dua kelemahan. Pertama, kurang memperhatikan amal
lahiriyah, hanya mengungkapkan kata-kata yang sulit dipahami, mengemukakan
kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah dapat disaksikan. Kedua,
syathahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil imajinasi sendiri.
Al-Ghazali sangat menolak paham hulul dan itihad. Untuk itu, ia menyodorkan
paham baru tentang ma’rifat, yakni pendekatan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah)
tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Ma’rifat menurut versi Al-Ghazali diawali
dalam bentuk latihan jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian
rohani dalam tingkatan-tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal). Oleh karena
itu, Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah yang mampu
memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yakni tasawuf, fiqih dan ilmu
kalam, ytang sebelumnya banyak menimbulkan terjadinya ketegangan.
1.
Pandangan Al-Ghazali tentang Ma’rifat Menurut Al-Ghazali, sebagaimana
dijelaskan oleh Harun Nasution, ma’rifat adalah mengetahui rahasia Allah dan
mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada. Alat memperoleh
ma’rifat bersandar pada sir, qalb, dan roh. Di dalam kitab Ihya’ Ulum Ad-Din,
Al-Ghazali membedakan jalan pengetahuan untuk sampai kepada Tuhan bagi orang
awam, ulama, dan orang arif (sufi). Ia membuat perumpamaan tentang keyakinan
bahwa si Fulan adan di dalam rumah. Keyakinan orang awam di bangun atas dasar
taklid, yaitu hanya mengikuti perkataan orang bahwa si Fulan ada di dalam
rumah, tanpa menyelidikinya lagi. Bagi ulama, keyakinan adanya si Fulan di
rumah di bangun atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suaranya yang terdengar
walaupun tidak kelihatan orangnya. Sementara orang arif tidak hanya melihat
tanda-tandanya melalui suara di balik dinding. Lebih jauh dari itu, ia pun
memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa si Fulan benar-benar
berada di dalam rumah. Ma’rifat seorang sufi tidak dihalangi oleh hijab,
sebagaimana ia melihat si Fulan ada dalam rumah dengan mata kepalanya sendiri.
Ringkasnya, ma’rifat menurut Al-Ghazali tidak seperti ma’rifat menurut orang
awam maupun ma’rifat ulama/mutakallim, tetapi ma’rifat sufi yang dibangun atas
dasar dzaug rohani dan kasyf Illahi. Ma’rifat semacam ini dapat dicapai oleh
para khawas auliya’ tanpa melalui perantara atau langsung dari Allah
sebagaimana ilmu kenabian yang diperoleh langsung dari Tuhan walaupun dari segi
perolehan ilmu ini, berbeda antara nabi dan wali. Nabi mendapat ilmu Allah
melalui perantara malaikat, sdangkan wali mendapat ilmu melalui ilham. Namun
keduanya sama-sama memperoleh ilmu melalui Allah.
2.
Pandangan Al-Ghazali tentang As-sa’adah Menurut Al-Ghazali, kelezatan dan
kebahagiaan yang paling tinggi dan melihat Allah. Di dalam kitab kimiya nya
‘As’adah, ia menjelaskan bahwa As-Sa’adah atau (kebahagian) itu sesuai dengan
watak (tabiat). Sedangkan watak sesuatu itu sesuai dengan ciptaan-Nya;
nikmatnya mata terletak ketika melihat gambar yang bagus dan indah; nikmatnya
telinga terlatak pada mendengar suara yang merdu. Demikian juga seluruh anggota
tubuh, mempunyai kenikmatan tersendiri. Kenikmatan qalb sebagai alat memperoleh
ma’rifat terletak ketika melihat Allah. Melihat Allah merupakan kenikmatan
agung yang tiada taranya karena ma’rifat itu sendiri agung dan mulia. Oleh
karena itu, kenikmatannya melebihi kenikmatan lainnya. Kelezatan dan kenikmatan
dunia bergantung pada nafsu dan akan hilang setelah manusia mati, sedangkan
kelezatan dan kenikmatan melihat Tuhan bergantung pada qalb dan tidak akan
hilang walaupun manusia sudah mati. Hal ini karena, qalb tidak ikut mati, malah
kenikmatannya bertambah, karena dapat keluar dari kegelapan menuju cahaya yang
terang.
PENUTUP
KESIMPULAN
Tasawuf
akhlaqi ialah ajaran akhlak dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh
kebahagiaan yang optimal. Dengan kata lain tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang
berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan
akhlaq. Hasan Al-Bashri yang nama lengkapnya Abu Said Al-hasan bin Yasar,
adalah seorang zahid yang sangat masyhur dikalangan tabi’in. Ia dilahirkan di
Madinah pada tahun 21 H. (632 M) dan wafat pada hari kamis bulan rajab tanggal
10 tahun 110 H (728 H). Al-Muhasibi nama lengkapnya adalah Abu Abdillah
al-Harits Bin Asad Al-Muhasibi,tokoh sufi ini lebih dikenal dengan sebutan
Al-Muhasibi. Ia dilahirkan di Basrah, Irak tahun 165 H atau 781 M dan meninggal
di Negara yang sama pada tahun 243 H atau 857 M. Al-Qusyairi nama lengkapny
adalah ‘Abdul Karim bin hawazin lahir pada tahun 376 H di Istiwa, kawasan
Nishafur yang merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan pada masanya.
Disinilah ia bertemu dengan gurunya, Abu ‘Ali Ad-Daqqaq, seorang sufi terkenal.
Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad
bin Ta’us Ath-Thusi Asy Syafi’i Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-Ghazali.
Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di
Ghazlah, sutu kota di Khurasan, Iran. Pada tahun 450 H / 1058 M, tiga tahun
setelah kaum saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, 1986. Tasawuf Perkembangan Dan
Pemurniannya, Jakarta:Pustaka Panjimas.
M. Sholihin, 2003. Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman.
Bandung: Pustaka Setia.
M.Sholihin, 2008. Ilmu Tasawuf. Bandung :
Pustaka Setia
[1]
Siregar, Prof. H. A. Rivay, “Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme” cet.
Kedua, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000
[2]
Ali, Sayyid Nur Sayyid, At-Tashawwuf Asy-Syar’i, terj. M. Yaniyullah
Jud.Tasawuf Syar’i, Jakarta: Hikmah-Mizan, 2003
[3]Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin, Akhlak Tasawuf,
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, cet. Kelima
[1]
Hamka,
tasawuf: perkembangan dan pemurniannya, pustaka panji mas, Jakarta, 1986, hlm.
76
[2] ‘Umar Farukh, tarikh Al-Fikr
Al-‘Arabi, Dar Al-‘lmi li Al-malayin, Bairut, 1983, hlm. 26
[3] Hamka, tasawuf……, hlm. 77
[4]
Ibid., hlm. 79
No comments:
Post a Comment