MAKALAH
UPACARA PANGGIH KEMANTEN DESA KALANGBRET
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS UJIAN AKHRIR SEMESTER MATA KULIAH
ILMU BUDAYA DASAR
Dosen Pengampu : ROMI FASLAH,M.Si
Disusun oleh :
MOHAMAD BASTOMI
11510131
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
JUNI 2012
Dengan memanjatkan Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, karena berkat rahmat, taufik serta hidayahnya kami masih diberi kesempatan dan kemampuan untuk menyusun makalah dengan judul “UPACARA PANGGIH KEMANTEN” guna memenuhi tugas Ujian Akhir Semester dua.
Tersusunnya makalah ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada:
- Bapak ROMI FASLAH,M.Si. selaku dosen pengampu mata kuliah ILMU BUDAYA DASAR yang memberikan arahan dan masukan dalam makalah ini.
- Serta semua pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini yang tidak mingkin kami sebutkan satu persatu.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempuran.
Demi tercapainya suatu kesempurnaan kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Demikaian hal yang dapat kami sampaikan, kami berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca.
Malang, 17 Juni 2012
Penyusun
BAB I PENDAHULUAN
BAB II KERANGKA TEORI
BAB III PEMBAHASAN
BAB IV PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Melihat sejarah kedatangan islam di kepulauan Nusantara, yang masuk ke tengah masyarakat indonesia saat itu bukan lagi “islam asli”, terjadi interaksi penyesuaian ajaran islam terhadap keyakinan masayarakat lokal. Tradisi islam lokal hasil konstruksi ulang ini sudah tentu memiliki keunikan yang khas, ia tidak lagi genuin islam tetapi juga bukan kejawen asli. Dalam hal ini, tidak terkecualikan tentang tatacara pernikahan. Secara kodrati, manusia diciptakan berpasang-pasangan (Q.S. Ar-Ruum : 21) dengan harapan mampu hidup berdampingan penuh rasa cinta dan kasih sayang.
Diantara bukti telah sahnya sebuah hubungan perkawinan adalah diselenggarakannya acara resepsi perkawinan atau walimah. Pesta perkawinan ini mengambil bentuk atau formatnya sendiri yang berbeda-beda di setiap daerah. Landasan hukum bagi pelaksanaan walimatul ’urs adalah Hadis Rasulullah, dari Anas riwayat Bukhari:
عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَثَرَ صُفْرَةٍ قَالَ مَا هَذَا قَالَ إِنِّي تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ بَارَكَ اللَّهُ لَكَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Dari Tsabit dari Anas r.a. bahwa Nabi saw. melihat bekas wewangian pada diri Abdurrahman bin ‘Auf, lalu beliau bertanya: “Apa ini?”, Ia menjawab: “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah menikahi seorang perempuan dengan mahar sebanyak lima dirham, lalu beliau berkata “Semoga Allah melimpahkan berkah kepadamu. Adakan walimah walaupun hanya dengan memotong seekor kambing” (H.R. Bukhari).
Pembahasan tentang resepsi perkawinan di desa Kalangbret dapat dianggap penting mengingat belum pernah dilakukannya penelitian tentang hal ini disamping terjadinya perkembangan dan dinamika dalam penyelenggaraan resepsi perkawinan adalah fenomena menarik untuk dicermati. Pembahasan difokuskan pada resepsi perkawinan model Islam-Jawa terutama pada acara Panggih/Temu Temanten, dinamika bentuk resepsi, hiasan, simbol-simbol yang digunakan serta pemaknaan terhadap semua hal yang berkaitan dengannya.
1. Bagaimanakah asal-muasal desa Kalangbret ?
2. Bagaimanakah asal-muasal kebudayaan upacara panggih ?
3. Bagimanakah tatacara pelaksanaan upacara panggih di desa Kalangbret ?
4. Bagimanakah mitos yang berkembang mengenai seputar upacara panggih ?
1. Mengetahui dengan jelas asal-muasal lahirnya nama kalangbret yang kemudian menjadi sebuah nama desa
2. Mengetahui asal-muasal sejarah munculnya upacara panggih menurut versi islam
3. Mengetahui tatacara pelaksanaan upacara panggih yang dijalankan di desa kalangbret
4. Mengetahui mitos yang berkembang mengenai upacara panggih
Berikut adalah sistematika penulisan yang kami gunakan dalam penulisan makalah ini yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bagian pembuka makalah ini, dipaparkan sebuah alasan diangkatnya tema yang masuk dalam latar belakang. Pemikiran yang muncul kemudian dimasukkan dalam rumusan masalah. Hal ini bertujuan untuk memperjelas bagian yang akan diteliti sehingga data yang dibutuhkan tidak melebar luas, sehingga muncul tujuan dan manfaat dari observasi yang akan dilakukan.
BAB II : KERANGKA TEORI
Pada bagian kedua ini, dipaparkan teori-teori atau penjelas dari kata kunci yang dipakai dalam pembahasan makalah ini. Teori-teori tersebut berisi pendapat umum dari sebuah definisi inti, sehingga diperlukannya referensi yang jelas dan tepat.
BAB III : PEMBAHASAN
Pada bagian ketiga ini merupakan bagian inti dari makalah. Di dalamnya berisi data hasil observasi, pendekatan penelitian dan lokasi penelitian yang telah dilakukan, sehingga muncul penyajian data secara sistematis dan jelas.
BAB IV : PENUTUP
Pada bagian akhir ini, dipaparkan kesimpulan dan saran. Kesimpulan diperoleh dari bab-bab sebelumnya, sehingga berisi inti yang tidak menyimpang dari penjelasan sebelumnya. Selain itu, terdapat saran dari sang penulis yang berisi pendapat.
Perkawinan merupakan hak dan sunnah kehidupan yang harus dilalui oleh seseorang dalam kehidupan "normalnya". Setiap manusia dewasa yang sehat secara jasmani dan rohani pasti membutuhkan teman hidup yang berlainan jenis kelaminnya. Teman hidup itu diharapkan dapat memenuhi hasrat biologisnya, dapat dikasihi dan mengasihi, serta dapat diajak bekerja sama mewujudkan sebuah rumah tangga yang tentram, dan sejahtera.
Dalam Bahasa Arab perkawinan disebut dengan nikah yang berarti berkumpul menjadi satu. Karena itu nikah secara istilah seringkali diartikan sebagai suatu aqad yang berisi pembolehan melakukan hubungan seksual dengan menggunakan lafal inkahin (menikahkan) atau tazwijin (mengawinkan).[[1]]
Diantara bukti sahnya sebuah hubungan perkawinan adalah diadakannya acara resepsi perkawinan atau walimah. Pesta perkawinan pada tiap daerah memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Berikut uraian penjelas tentang kata inti , antara lain :
Budaya menurut Ki Hajar Dewantara berarti buah budi manusia hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk megatasi bagaimana rintangan dan kesukaran dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
Sedangkan budaya menurut koentjorodiningrat kebudayaan merupakan seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan manusia dengan belajar.[[2]]
Berdasarkan uraian di atas penulis meyimpulkan bahwa budaya adalah perilaku, gagasan dan benda-benda hasil perjuangan manusia yang merupakan bukti kejayaan hidup suatu daerah guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang bersifat damai.
Menurut Ensiklopedi Indonesia, adat disebut juga urf atau sesuatu yang dikenal, diketahui dan diulang-ulang serta menjadi kebiasaan di dalam masyarakat. Adat merupakan cerminan dari pada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan dari pada jiwa bangsa. Oleh karena itu, maka tiap bangsa di dunia memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama. Justru oleh karena itu ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan bahwa adat itu merupakan unsur yang terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa. Didalam Republik Indonesi ini, adat yang dimiliki tiap daerah itu berbeda-beda, meskipun dasar sifatnya sama, satu yaitu Indonesia. Oleh karena itu, maka adat bangsa Indonesia dikatakan ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang berarti walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut pria dan wanita bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing.
Menurut Subagyo pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang lelaki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga (keluarga) yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.[[3]]
Jadi perkawinan adalah menyatukan dua insan pria dan wanita yang juga menyatukan keluarga beserta leluhurnya untuk mempertahankan keturunannya.
Upacara adat adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Upacara pada dasarnya merupakan bentuk perilaku masyarakat yang menunjukkan kesadaran terhadap masa lalunya. Masyarakat menjelaskan tentang masa lalunya melalui upacara. Melalui upacara, kita dapat melacak tentang asal usul baik itu tempat, tokoh, sesuatu benda, kejadian alam, dan lain-lain.
Ditinjau dari segi bahasa, panggih artinya bertemu. Karena pada saat itu pengantin dipertemukan untuk menjalani serangkaian prosesi. Panggih dilaksanakan di kediaman mempelai putri, meskipun perkembangannya, hal itu sering diabaikan dan prosesi ini dilaksanakan di gedung pertemuan. Upacara ini melibatkan berbagai kelengkapan untuk melangsungkan prosesi. Setiap prosesi dan kelengkapan yang dibutuhkan mengandung makna atau mitos yang tersirat.
Upacara panggih dalam perkawinan adat jawa menjadi puncak dari rangkaian upacara adat yang mendahuluinya. Upacara ini dalam arti luas meliputi upacara.
- penyerahan sanggan keluarnya pengantin wanita yang didahului kembar mayang.
- balang balangan suruh.
- wijikan dan memecah telur
- masak menuju perkawinan
- tampa kaya
- dahar klimah
- penjemputan besan dan sungkeman
Upacara panggih yang bernafaskan adat ini biasanya dikaitkan dengan acara andrawina, atau pesta resepsi. Sebagaimana upacara adat lainnya, untuk upacara ini dibutuhkan beberapa perlengkapan yang mempunyai makna simbolis. Perlengkapan tersebut adalah :
a. Untuk upacara balang-balang suruh yang dilanjutkan dengan wijikan dan memecah telur :
1. tuju lintingan daun sirih yang diikat dengan benang
2. sepasang kembar mayang
3. sanggan yang terdiri dari pisang raja satu tangkup, benang lawe, dan sirih ayu yang disusun dalam baki atau tembor
4. ranu pada, yaitu sejenis nampan untuk upacara wijikan
5. bokor air sritaman yaitu bokor yang diisi air dan ditaburi bunga sritaman
6. telur ayam kampung yang dimasukkan ke dalam bokor tersebut.
b. Untuk upacara tampa kaya :
1) kain mori putih: 25 cm x 25 cm
2) kaya, yang terdiri dari aneka biji-bijian, antara lain: biji jagung, kedelai, gabah padi yang masih berkulit, beras, dll;uang recehan dari logam dari yang paling kecil sampai yang paling besar, berjumlah genap; dlingo bengle dan bunga telon.
c. Untuk upacara dhahar klimah :
1) piring kosong dan serbet
2) nasi kuning dengan lauk : hati ayam, pindang asap, telur dadar, kedelai, dan uler- uleran
3) minuman teh
Selain perlengkapan adat seperti diatas, orang tua pengantin hendaknya mengenakan busana batik kejawen. Kain yang dikenakan motif truntum, yang mempunyai makna agar rejekinya terus mengalir. Selain itu, juga dikenakan sindur, yaitu kain mori yang diberi warna merah muda dengan pinggiran putih digunakan untuk ikat pinggang, dan sebagainya. Sindur menjadi tanda bahwa orang yang mengenakannya adalah orang yang mempunyai hajatan. Untuk ibu pengantin, sindur dipakai diluar stagen seperti memakai angkin, sedangkan untuk ayah pengantin, sindur dipakai di luar baju.
Desa kalangbret adalah salah satu desa yang berada di kecamatan Kauman Kabupaten Tulungangung. Desa kalangbret sendiri berada di wilayah barat kabupaten Tulungagung. Desa kalangbret mempunyai kisah klasik dari babad wilayah itu sendiri. Banyak orang meyakini akan kepastian dari cerita yang berkembang di masyarakat dikarenakan ada beberapa tempat yang nama tempatnya berasal dari cerita tersebut.
Dahulu kala, di Tulungagung terdapat adipati yang sangat terkenal yaitu adipati Betak Bedalem. Adipati ini mempunyai dua orang putri yang terkenal kecantikannya, yang bernama Roro Inggit dan Roro Kembang Sore. Putri Adipati Betak yang kedua ini banyak disukai dan diperebutkan oleh adipati-adipati muda, bahkan kecantikannya terdengar di kota-kota lain, bahkan sampai di Kerajaan Majapahit.
Majapahit mempunyai seorang pangeran yang sangat bagus parasnya juga memiliki keris yang sangat ampuh kegunaannya (kadigdayan), ia bernama pangeran Lembu Peteng. Selain Pangeran Lembu Peteng, terdapat Kasan Besari dan juga Adipati Kalang yang sama-sama tinggal di lingkungan Kadipaten. Pangeran Lembu Peteng dan Adipati Kalang sama-sama menaruh cinta kepada putri Adipati Betak yang bernama Roro Kembang Sore. Namun, Roro Kembang Sore hanya menaruh hatinya kepada Pangeran Lembu Peteng. Karena Pangeran Lembu Peteng dan Roro kembang Sore sudah sama-sama menyukai dan cocok maka keduanya dinikahkan oleh Adipati Betak Bedalem.
Adipati Kalang yang mendengar kabar tersebut sangat marah dan murka, akhirnya berniat jahat untuk membunuh Pangeran Lembu Peteng. Pada waktu pangeran Lembu Peteng bersama Roro Kembang Sore melalukan sungkem kepada Adipati Betak, secara tiba-tiba Adipati Kalang muncul dan langsung menghunuskan kerisnya pada punggung Pangeran Lembu Peteng dari belakang, dan matilah Pangeran Lembu Peteng. Masih kurang puas atas kematian Pangeran Lembu Peteng, Adipati Kalang mengamuk dan membunuh kedua orang tua Roro Kembang Sore yaitu Adipati Betak beserta istrinya. Kemudian jasad Pangeran Lembu Peteng dibuang ke sebuah sungai yang mengalir deras menuju ke Samudra Hindia agar pembunuhan yang ia lakukan tidak diketahui oleh pihak Kerajaan Majapahit. Akhirnya, tempat dibuangnya jasad Pangeran Lembu Peteng dinamakan sungai Lembu Peteng.
Roro Kembang Sore yang ketakutan melarikan diri dengan mebawa keris suaminya untuk mencari keselamatan. Roro Kembang Sore terus berjalan ke arah barat hingga sampai di sebuah gunung cilik (sekarang berganti nama menjadi gunung bolo) dan melakukan pertapaan untuk bersemedi menenangkan dirinya.
Kesaktian keris pangeran Lembu Peteng sudah tidak diragukan lagi dan kabar ini telah tersebar ke pelosok kerajaan-kerajaan bahkan sampai ketelinga Adipati Kalang sehingga Adipati Kalang pun berniat memilikinya. Adipati Kalang ingin tahu Pusaka ampuh itu, makanya dia pergi ke Gunung Cilik dengan jalan Jongkok dan tunduk atas persyaratan sang petapa gunung Cilik tersebut. Sesampainya di gungung Cilik sang petapa menyuruh Adipati Kalang untuk melihat siapa orang yang ada di depan matanya. Betapa terkejutnya ketika mengetahui bahwa wanita yang ada di depannya ternyata tidak lain adalah Roro Kembang Sore.
Patih Gajah Mada (patih kerajaan Majapahit) yang mengetahui bahwa yang membunuh putra kerajaan Majapahit Pangeran Lembu Peteng adalah Adipati Kalang yang juga berniat merebut keris dari Roro Kembang sore maka ia langsung berangkat menuju Gunung Cilik beserta prajuritnya.
Mengetahui bahwa Patih gajah Mada beserta pasukannya mengejar dirinya, maka Adipati Kalang lari terbirit-birit ke arah timur. Sampai di suatu persimpangan jalan Patih Gajah mada berhasil menangkap adipati Kalang. Kemudian tubuh Adipati kalang “disuwir-suwir” oleh Patih gajah Mada soleh karena itu persimpangan jalan tersebut dinamakan “perempatan cuwiri”. Adipati Kalang berhasil kabur dan sempat bersembunyi, namun dapat diketemukan oleh Patih Gajah Mada, maka tempat persembunyian dinamakan “bantelan”. Kemudian Adipati Kalng lari hingga tiba di suatu tempat yang mana ia bertarung dengan Patih Gajah Mada. Patih Gajah Mada berhasil mengalahkannya, tubuh Adipati Kalang “disembret-sembret” karena begitu marahnya sang patih. Jadilah tempat tersebut menjadi nama sebuah desa “Kalangbret”. Akhirnya Adipati Kalang jatuh ke dalam kedung sungai hingga “ngesong” di dalamnya, maka kedung tempat jatuhnya Adipati Kalang dinamakan “boneng”, sedangkan sungai yang membawa jasadnya di namakan “kali song”. Adipati Kalang tewas di sungai tersebut, jasadnya terbawa arus hingga tersangkut di sebuah pohon aren, yang mana tempat tersebut sekarang menjadi sebuah nama desa yaitu “batang saren”.
nama-nama tempat yang muncul diatas merupakan pemberian nama yang diberikan oleh Patih Gajah mada agar rakyat disekitar tempat tersebut tetap ingat sejarah besar kematian Adipati Kalang. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli. Ciri khas dari batik Kalangbret dari Majapahit adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran keraton yogya, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua.
Munculnya upacara panggih merupakan sebuah kekreatifan seorang wali songo dalam misinya menyebarkan islam di pulau Jawa yang tak lain adalah Sunan Kalijogo. Beliau memperkenalkan kisah pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa, yaitu manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT melalui sebuah rangkaian upacara dalam adat pernikahan.
Nabi Adam merupakan manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT dari segumpal tanah. Kemudian diperintahkan-Nya Malaikat dan Iblis untuk sujud kepada nabi Adam sebagai rasa hormatnya atas kesempurnaan ciptaan Allah. Malaikat pun langsung sujud kepada adam seraya bertasbih sedangkan Iblis tetap tidak mau sujud kepada Nabi Adam. Dengan sombong Iblis menghujat penciptaan nabi Adam yang hanya berasa dari tanah, sedangkan penciptaannya berasal dari api. Iblis merasa sebagai makhluk lebih mulia, sehingga ia tidaklah perlu memberi hormat kepada Nabi Adam.
Allah SWT murka atas kelakuan sombong sang Iblis, kemudian diusir-Nya Iblis dari surga. Dengan sangat marah kepada Nabi Adam, sang Iblis bersumpah untuk menyesatkan keturunan Nabi Adam sampai hari akhir nanti.
Allah SWT yang mengetahui bahwa Nabi Adam yang merasakan kesepian karena ia tinggal sendirian, maka diciptakan-Nya pasangan Adam dari tulang rusuk Adam yang kemudian diberi nama Siti Hawa. Firman Allah SWT dalam surah an nisa’ ayat 1 :
Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya. Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
Setelah penciptaan Siti Hawa, Nabi Adam pun tidak pernah merasa kesepian. Sepanjang hari mereka selalu bermain dan menikmati hidup bebas di surga.
Firman Allah SWT dalam surah Al Baqoroh ayat 35 :
Artinya : dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim.
Suatu ketika tangan Nabi Adam berniat akan memeluk Siti hawa, dengan secepat kilat Malaikat manangkis tangan tadi karena mereka bukanlah mahram dan belumlah sah menjadi suami istri. Dengan keadaan bingung Nabi Adam bertanya kepada Malikat, “ya Malaikat, dengan apakah aku menikahi Siti Hawa ? sang Malikat pun menjawab, “engkau harus membayarkan mahar kepada Siti Hawa terlebih dahulu berupa kalimat syahadat :
"أشهد أن لا اله الا الله وأشهد ان محمد رسول الله “.
Lalu Nabi Adam bertanya lagi, “ya malaikat, siapakah Muhammad itu?, bukankah aku adalah manusia yang pertama diciptakan?. Malaikat pun kembali menjawab, “memang engkau adalah manusia pertama, tapi Muhammad adalah ruh yang pertama kali diciptakan oleh Allah sebelum makhluk lainnya. Muhammad adalah Nabi yang terakhir kali diutus dimuka bumi yang mana ia adalah keturunan mu sendiri. Beliau adalah imam para Nabi dan imam ummat di akhir zaman kelak.
Baru ketika isro’ mi’roj Nabi Adam mengetahui dan menyambut Nabi Muhammad SAW di langit sab pertama. Nabi Adam bersholawat kepada Nabi Muhammad hingga Nabi Muhammad naik ke sab langit berikutnya, hingga sampai di langit sab keenam yang mana di sana terdapat Nabi Ibrahim.
Ketika Nabi Muhammad akan melanjutkan naik ke langit sab tujuh, malaikat Jibril meminta ijin kepada Nabi Muhammad untuk mengantar sampai disini karena Malaikat Jibril tidak mampu naik lagi. Sesampainya Nabi di langit sab tujuh, Allah SWT menyambut beliau dengan bacaan sholawat dan Nabi Muhammad pun langsung menjawabnya, yang mana bacaan sholawat tersebut menjadi bacaan tahiyat akhir pada sholat.
Iblis yang mengetahui bahwa Allah SWT melarang Nabi Adam dan Siti Hawa untuk mendekati pohon khuldi, telah menyiapkan sebuah tipuan. Iblis mengatakan bahwa jika mereka memakan buah itu maka mereka akan hidup kekal di surga tanpa menjadi tua dan mati. Dengan segala bujuk rayu yang terus dilontarkan syetan, lama-kelamaan Siti Hawa mulai penasaran dan mengajak Nabi Adam untuk mencicipi buah tersebut.
Setelah Nabi Adam dan Siti Hawa terpedaya oleh rayuan si Iblis, mereka memakan buah khuldi tersebut tanpa mengingat larangan yang telah mereka terima dari Allah SWT. Maka Allah menurunkan Nabi Adam dan Siti Hawa turun ke Bumi dengan keadaan terpisah jauh. Siti Hawa diturunkan Allah SWT di Jeddah. Menurut sebagian ulama, penamaan jeddah sendiri berasal dari bahasa arab “jaddatun” yang artinya nenek perempuan. Terpisah jarak jauh, Nabi Adam diturunkan di wilayah hindi. Sebagian ulama sepakat bahwa nama hindi berasal diambil dari bahasa arab yaitu kata “jaddun/jaddi” yang bermakna kakek laki-laki.
Setelah diturunkan-Nya di bumi, Nabi Adam dan Siti hawa sangatlah menyesali perbuatan bodoh mereka. Mereka terus berjalan sambil menangis untuk mencari satu sama lainnya. Hingga muncullah syi’ir yang selalu dilantunkan Nabi Adam dalam pencariannya bahwa ia bertaubat atas dosa-dosa yang telah mendurhakai Allah SWT. Syi’ir tersebut antara lain : “ Robbana dholamna anfusana wailam tagfirlana watarhamana lana kunnana minal khosirin “.
Berpuluh-puluh tahun Nabi Adam terus melangkah mencari Siti Hawa hingga sampailah beliau di Jabal Rohmah di Madinah yaitu gunung tempat kemurahan Allah SWT diturunkan. Nabi Adam mendapati Siti hawa pada padang luas di sebuah gunung yang mana dinaungi oleh tumbuhan yang mirip dengan pohon pinang, di mungkinkan pohon aslinya adalah pohon kurma.
Tidaklah mudah mengenalkan ajaran islam kepada masyarakat lokal secara murni yang mana mereka sendiri mempunyai kebudayaan dan tradisi yang mereka pegang kuat sebagai kepercayaan. Melalui pemikiran yang cemerlang, Sunan Kalijogo berinisiatif memasukkan unsur-unsur yang ada dalam cerita diatas kedalam sebuah adat jawa. Hanya saja Beliau menggunakan simbol-simbol lain yang tetap mengarah pada nilai dari cerita diatas. Pertemuan antara nabi Adam bersama Siti Hawa diperumpamakan pertemuan antara pengantin laki-laki dengan pengantin perempuan. Hal lainnya seperti penggunaan kembar mayang dalam pertemuan antara sepasang pengantin, yang mana dalam kembar mayang tersebut banyak mempunyai nilai-nilai yang mengacu seperti cerita Nabi Adam dan Siti Hawa.
Oleh karena itu, Sunan Kalijogo membuat kreasi kembar mayang sebagai simbol pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa, yang mana kembar mayang hanya dipergunakan ketika acara temu manten atau pinanggih kemanten. Berikut asal-muasal kembar mayang. Berasal dari kata kembar artinya sama dan mayang artinya bunga pohon jambe (pinang) atau sering disebut Sekar Kalpataru Dewandaru, lambang kebahagiaan dan keselamatan. Kembar mayang sendiri mempunyai makna simbolik yang begitu mendalam. Bentuknya yang menggembung ke bawah merupakan sebuah simbol kerinduan yang luar biasa dalam pertemuan pertama kali di bumi antara Nabi Adam dan Siti Hawa. Dalam kembar mayang pun terdapat beberapa unsur, yaitu :
· Jannur merupakan unsur utama dalam pembuatan kembar mayang. Kata jannur sendiri diyakini berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata, yaitu : “jaa” yang berarti telah datang dan kata “nuur” yang bermakna cahaya. Jika digabungkan berarti sebuah cahaya yang datang yang tak lain adalah pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa. Selain itu, diharapkan kedua mempelai mendapatkan cahaya dari Allah SWT.[[4]]
· Batang pisang raja yang diletakkan pada tengah-tengah bagian daging pisang yang telah dipotong secara sejajar. Pisang mempunyai filosofi bahwa mereka akan bisa hidup dan tumbuh dimana-mana. Sedangkan raja mempunyai filosofi bahwa mempelai pria kelak adalah memimpin rumah tangga, yang mana ia harus bisa membuat kehidupan rumah tangganya seperti berada di istana yang penuh kemegahan.
· Daun pohon beringin diambil dari kata “ingin” mempunyai makna bahwa mempelai pria berkeinginan mengayomi, melindungi, memimpin serta menjaga martabat istri dan keluarganya.
· Daun andong puring merupakan jenis bunga yang tidak berbunga. Memiliki corak warna kuning yang melambangkan hati manusia yang cerah untuk melengkapi keindahan hati kedua mempelai. Memiliki keindahan untuk dipandang mata .
· Daun lancuran meliki bentuk daun memanjang. Hal ini menandakan bahwa manusia dalam berpikir haruslah menggunakan akal, jangan sampi salah mengambil keputusan. Jangan lah egois dalam menentukan keputusan, hendaknya dengan bermusyawarah.
· Bunga jambe menandakan bahwa pertemuan pertama kali Nabi Adam dan Siti Hawa berada di bawah pohon yang dikiaskan sebagai pohon jambe yang sedang berbunga, sedangkan kemungkinan pohon yang asli tersebut adalah pohon kurma, karena jenis dan bentuk pohonnya hampir mirip.
· Hiasan bunga temu dari janur bentuknya yang seperti gunung-gunung itu tinggi dan besar merupakan perlambangan bahwa manusia telah menemukan tujuan hidupnya, yaitu beristri. Hal ini sebagai simbol bahwa Nabi Adam telah menemukan tujuan hidupnya yaitu menemukan Siti Hawa yang kebetulan berada di daerah gunung. Selain itu, kembang temu janur memberikan arti bahwa seorang pria itu harus mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman dan harus sabar.
· Hiasan ren-ren dari janur yang dibentuk menyerupai duri-duri mempunyai makna bahwa dalam kehidupan berumah tangga tidaklah selalu enak dan mudah. Ada banyak halangan dan rintangan dalam menjalankan roda kehidupan. Kedua mempelai harus lah sadar bahwa kehidupan mereka sudah tidak sebebas ketika membujang dulu. Mereka harus saling memahami dan mengerti satu sama yang lain.
· Hiasan burung dari janur merupakan simbol bahwa manusia seharusny meniru sifat dari seekor burung. Meskipun burung hanyalah seekor binatang yang tidak berpikir, tapi burung mempunyai sifat yang jarang dimiliki oleh manusia yaitu sifat qonaah atau menerima apa adanya. Contoh nyatanya adalah setiap pagi burung pergi dari sarangnya dengan keadaan perut kosong dan akan kembali ke sarangnya pada sore hari dengan keadaab perut terisi makanan. Kedua mempelai diharapkan mampu meniru sifat tersebut.
· Hiasan keris dari janur merupakan senjata berharga yang harus dijaga dengan serius. Diperlakukan dengan baik dan diurus dengan sungguh-sungguh. Istri merupakan perumpamaan dari keris tersebut.
· Hiasan walangan dan dari jangrik janur merupakan perumpamaan tempat bertemunya Nabi Adam dan Siti Hawa di tengah padang luas yang mana disekitarnya terdapat serangga seperti belalang dan jangkrik yang menyaksikan kejadian tersebut. Sehingga untuk menggambarkan tempat pertemuan tersebut, dibentuklah bentuk belalang dalam kembar mayang.
· Hiasan kupat dari janur. Dalam bahasa jawanya kupat mempunyai makna yaitu “ngaku lepat” artinya mau mengakui segala kesalahan dan kekhilafannya. Tidak ada manusia yang bersih secara sempurna, oleh karena itu, ketika salah satu pasangan suami istri melakukan kesalahan maka alangkah baiknya apabila mau saling memberi maaf dan mengakui kesalahannya.
· Hiasan seren dari merupakan janur yang dibentuk menyerupai payung. Seren mempunyai makna bahwa sebagai sepasang suami istri seharusnya saling mengayomi dan memberikan rasa aman, tenang dan damai. Selain itu, doa yang tersirat adalah semoga kedua mempelai selalu dalam perlindungan Allah SWT (pinayungane Gusti).
Dalam pembuatan kembar mayang tidaklah harus menuntut kelengkapan isi dalam kembar mayang tersebut. Akan tetapi tergantung dari segi kekreatifitasan tetua adat dalam mengerjakannya. Semakin mahir dan kreatif tetua adat, maka semakin lengkap dan indah pula kembar mayang yang dibuat.
Suatu kebuayaan merupakan wujud nilai kearifan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Dalam suatu kebudayaan mempunyi adat ataupun tatacara pelaksanaan kebudayaan tersebut. Dalam suatu rentetan tatacaranya pun, tidaklah boleh asal melakukannya, harus lah dengan hati-hati. Dalam masyarakat umum sudah berakar suatu kepercayaan bahwa upacara panggih/temu manten merupakan suau penghormatan yang diberikan mempelai oleh keluarga mempelai wanita terhadap niat baik mempelai pria yang akan memboyong putri mereka. Dalam rentetan pelaksanaannya pun banyak maksud atau pun pesan yang disampaikan kepada kedua mempelai.
Salah satu mitos yang berkembang dalam upacara panggih adalah pada bagian balangan sedah (lempar sirih). Masyarakat luas mempercayai bahwa ketika kedua mempelai saling melempar sirih dan apabila yang dilempar menghilang maka mempelai tersebut bukanlah manusia. Karenaa masayarakat mempercayai bahwa sirih merupakan sesuatu yang tidak disukai oleh setan. Selain itu, terdapat keyakinan bahwa barang siapa yang lemparan sirihnya mengenai pasangannya terlebih dahulu maka ia akan lebih dominan dalam keluarga.
Menurut beberapa kepercaayaan lainnya, kata manten adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa arab. Kata tersebut dalam bahasa arab terdiri dari dua kata, yaitu : “man” yang artinya adalah manusia sedangkan “ten” berasal dari kata asli tain yang mana menunjukkan kata istisna’ atau berjumlah dua dan ketika tingkah nasob dengan menggunakan perangkat ya’. Jadi bisa disimpulkan bahwa manten merupakan dua orang manusia.
Upacara panggih yang bernafaskan adat ini biasanya dikaitkan dengan acara andrawina, atau pesta resepsi. Panggih temanten atau temu adalah resepsi pernikahan yang dilaksanakan di rumah mempelai wanita. Sedangkan rangkaian acara dan makna pada tiap - tiapnya akan dipaparkan di bawah ini :
a). Pengantin pria yang didampingi dua orang manggolo (yang ditunjuk untuk menjemput pengantin pria, para manggala adalah ibarat para punggawa kerajaan.) dan diikuti oleh para pengombyong atau pengiring sampai di tempat upacara. Kedatangan pengantin pria ini disambut dengan gending bindri atau lebih dikenal dengan istilah dicondro. Formasi iring- iringannya demikian : pembawa sanggan (barang-barang dari mempelai pria yang akan diserhkan pada besannya, sanggan yang terdiri dari pisang raja satu tangkup, benang lawe, dan sirih ayu yang disusun dalam baki atau tembor ) berada paling depan diikuti oleh pengantin pria yang didampingi oleh dua pendamping pria, kemudian para pengiring.
b). Rombongan pengantin pria berhenti pada tempat yang ditentukan biasanya didepan tarub, hiasan janur pada pintu gerbang tempat resepsi. Pembawa sanggan yang terdiri dari dua orang ibu didampingi seorang ibu pembawa sanggan, langsung masuk kedalam. Sanggan diserahkan kepada ibu pengantin wanita yang telah siap di tempat yang ditentukan. Penyerahan sanggan ini mengandung maksud memberi tahu bahwa pengantin pria sudah datang, dan memohon agar pengantin wanita dibawa keluar untuk segera diadakan upacara panggih.
c). Setelah sanggan diterima, pengantin wanita dibawa keluar dengan didahului keluarnya sepasang kembar mayang yang dibawa oleh dua orang putri domas (Putri domas dalam pernikahan ibarat dayang-dayang bagi seorang ratu) yang mengiringi penganten putri. Keluarnya pengantin wanita ini diiringi dengan gendhing ladrang pengantin, tetapi sekarang ini digantikan dengan srakalan sholawat Nabi yang dibawa oleh pihak mempelai pria. Formasi iring-iringan pengantin wanita sebagai berikut : pembawa kembar mayang berada paling depan. Kemudian, dibelakangnya diikuti oleh sepasang cantrik. Selain itu, biasanya mempelai wanita selalu didampingi perempuan yang bertugas mengarahkan apa yang harus dilakukan oleh mempelai wanita selanjutnya.
d). Sang juru sumbaga (pemandu upacara adat panggih temanten) menggenggam tangannya. Kemudian membaca syahadat, sholawat, hadiah fathehah kepada Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, membaca istighfar, dan doa. Kemudian tangan yang menggenggam tadi diangkat dan dibacakan salah satu ayat dari surah yusuf, lalu ditiupkan kearah mempelai pri dan mempelai putri. Hal ini bertujuan agar kedua mempelai saling tersno asih hingga kakek nenek.
e). Pembawa kembar mayang lalu saling mendekat untuk menukarkan kembar mayang (liron keembar mayang). Sementara itu, kedua pengantin tetap di tempat. Hal ini mempunyai maksud bahwa kedua mempelai telah menyatu dan saling menerima. Mereka telah menyatukan tujuan hidup untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Pertukaran kembang mayang memberikan arti telah “ditukarnya” kedua mempelai dan bergabungnya mereka dalam keluarga baru mertuanya sehingga menjadi ibarat anak sendiri.
f). Setelah terjadi pertukaran kembar mayang (liron kembar mayang) maka sang ibu mempelai laki-laki memberikan minum anaknya dalam kendhi (tempat minum berbahan dasar tanah liat yang sudah dibakar). Hal ini mempunyai makna bahwa apapun yang telah berhasil ditempuh dan dicapai oleh anak tidaklah luput dari jerih payah orang tuanya.[[5]] Selain itu, terdapat pengertian bahwa batas kewaiban orang tua terhadap anak telah sampai disini. Orang tua harus merelakan anaknya mengarungi kehidupan barunya.
g). Setelah kedua pengantin sampai didepan tarup, tanpa perlu diberi aba-aba langsung dilaksanakan upacara balang-balangan suruh (gantal daun sirih). Caranya yaitu gantal daun sirih digulung kecil diikat benang putih yang saling dilempar oleh masing-masing pengantin dengan tangan kanan dan kiri. Pengantin pria melempar empat kali, sedangkan pengantin wanita hanya tiga kali dengan harapan semoga semua godaan akan hilang terkena lemparan itu.
h). Pengantin pria melepaskan sandalnya dan menginjak telor ayam dengan telapak kakinya (wiji dadi). Putih telur melambangkan kesucian diri dan kuning telur melambangkan pecahnya selaput dara.[[6]] Pengantin putri lalu membasuh kaki pengantin pria dengan air kembang dari bokor (bejana) yang sudah disiapkan. Setelah pengantin putri selesai membersihkan maka pengantaen laki-laki membantu pengantin putri untuk berdiri. Kegiatan ini dapat diartikan sebagai kesiapan pengantin pria untuk menjadi kepala rumah tangga dan kesediaan pengantin wanita untuk melayani suaminya dengan gotong royong. Di dalam rumah tangga yang baru dibentuk ini diharapkan juga akan diperoleh hasil yang baik pula termasuk anak keturunan.
i). Prosesi berikutnya adalah sindur binayang, bapak pengantin putri menarik kedua mempelai dengan selendang merah yang tepiannnya berhias kain putih berlekuk – lekuk (sindur) yang dikerukupkan pada kedua lengan mempelai. Sedangkan sang ibu mendorong dari belakang. Sindur ini bermakna bahwa bapak memberikan arahan menuju keluarga yang bahagia sedangkan ibunya memberikan dorongan semangat kepada anaknya,”tut wuri handayani”.
j). Setelah kedua mempelai duduk disinggasana pengantin, bapak pengantin putri memangku kedua mempelai dan ibu mempelai putri bertanya mana yang lebih berat yang dijawab dengan jawaban sama beratnya oleh bapak. Prosesi timbang atau pangkon ini mengisyaratkan kasih sayang pada anak dan menantu sama beratnya. Ada pendapat lain bahwa kedua mempelai sudah sejajar untuk menjadi suami istri. Kemudian disusul dengan prosesi tanem, yaitu bapak pengantin putri mendudukkan kedua mempelai di pelaminan. Artinya orangtua telah merestui pernikahan mereka.
k). Upacara berikutnya yaitu kacar – kucur. Acara ini juga sering disebut dengan Tampa Kaya. Kacar kucur adalah sebuah tahap dimana pengantin pria memberikan ‘lambang harta’ dengan cara dikucurkan pada pangkuan pengantin wanita yang dibawahnya dialasi dengan kain.[[7]] Kacar kucur mempunyai makna simbolik bahwa seorang pria bertanggung jawab unutk mencukupi kebutuhan keluarganya. ‘Lambang harta’ yang terdiri dari segala macam biji-bijian dan uang logam sebagai simbol rejeki yang melimpah, bunga-bungaan melambangkan keharuman dan kewibawaan nama pengantin sedangkan dlingo bengle ( sejenis tanaman yang mirip jahe, tapi berwarna kuning) sebagai lambang kesehatan. Diusahakan isinya jangan sampai tercecer, karena tercecer melambangkan sikap yang boros. Selanjutnya pengantin wanita menyerahkan ‘lambang harta’ yang sudah diikat kepada Ibunya, hal ini mempunyai makna simbolis wujud bakti seorang anak memberi apabila orang tua membutuhkan.
l). Acara selanjutnya adalah dahar klimah. Dahar klimah terdiri dari rangkaian sayuran berupa kacang panjang yang menyimbolkan cinta kasih pasangan pengantin sepanjang masa, ditengahnya nasi kuning dengan lauk pauk yang lengkap dengan segala jenis sayuran menyimbolkan harapan pengantin akan limpahan rejeki dengan murah pangan. Lauk ini diantaranya telur dadar, kedelai goreng, tempe goreng, abon serta hati ayam kampung dimasak pindang (cara memasak berdasarkan bumbu yang digunakan) yang dinamakan pindang antep. Pindang antep ini menyimbolkan kemantapan hati kedua pengantin untuk mengarungi bahtera rumah tangga.
m). Setelah dahar klimah selesai, maka dilanjutkan dengan acara sungkeman. Sungkeman mempunyai makna simbolik yaitu tanda bakti anak kepada orang tua yang telah membesarkannya hingga dewasa, permohonan anak kepada orang tua supaya diampuni kesalahannya dan memohon doa restu supaya dalam membina bahtera rumah tangga dapat bahagia dan sejahtera. Pengantin pria melepaskan keris yang merupakan lambang kekuatan yang dipakainya ketika sungkeman, hal ini mempunyai makna simbolik penghormatan kepada orang tua., serta sebesar apapun pangkat atau kekuatan yang dimiliki oleh anak, maka dihadapan orang tuanya tidak boleh ditampakkan.[[8]]
n). Setelah pra acara telah rampung dan kedua mempelai duduk di renggo sasono (singgasana), dengan dipandu seorang pembawa acara dilanjutkan acara pembukaan untuk memulai acara inti.
o). Bukti nyata percampuran antara kebudayaan lokal dan budaya barat adalah adanya pembacaan ayat-ayat suci Al Quran dalam prosesi upacara. Pembacaan ayat al-Quran bertujuan untuk mengharapkan berkah dari Allah Swt, setelah acara dibuka maka dilanjutkan dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Diantara ayat-ayat yang sering dibaca oleh seorang qari’ dalam sebuah resepsi adalah QS. al-Nisa : 1, 34, dan Qs. al-Rum: 21.
p). Acara selanjutnya adalah atur mangayu bagya (ucapan selamat datang). Kegiatan ini merupakan sambutan oleh tuan rumah yang diwakili oleh seorang juru bicara. Sambutan meliputi ucapan selamat datang kepada para tamu, ucapan terima kasih atas kehadiran mereka, dan permohonan maaf atas segala kekurangan dalam penyelenggaraan resepsi pernikahan. Selain itu disampaikan pula ucapan terima kasih terhadap kerabat, tetangga, dan segenap pihak yang membantu terselenggaranya resepsi.
q). Setelah atur mangayu bagya selesai, dilanjutkan dengan atur pasrah pinanganten. Sambutan ini disampaikan oleh wakil keluarga penganten pria dan para pengiringnya. Juru bicara keluarga besan (orang tua pengantin pria) ini menyerahkan pengantin pria dan “pendidikan”nya untuk dapat menjadi suami yang baik. Ia juga menyampaikan terima kasih atas segala keramahan tuan rumah dan hidangannya, serta memohon maaf atas segala kekurangan dan tingkah laku para pengiring selama resepsi berlangsung. Selebihnya ia menyampaikan undangan untuk acara sepasaran (resepsi di rumah pengantin pria) dan memohon pamit untuk diri sendiri dan rombongannya.
r) Sebagai jawaban dari pasrah kemanten, maka dilanjutkan dengan atur panampi. Atur panampi merupakan jawaban tuan rumah atas seluruh isi sambutan juru bicara pengantin pria. Karenanya, di dalamnya disampaikan kesediaan keluarga untuk menerima anak menantu dan mendidiknya ke arah kebaikan, ucapan terima kasih kepada seluruh pengiring pengantin, dan ungkapan “sama-sama” atas permohonan maaf mereka. Selain itu disampaikan pula kesediaan keluarga pengantin putri untuk memenuhi undangan sepasaran keluarga pengantin pria.
s). Acara dilanjutkan dengan mau’idzah hasanah (pesan/nasehat perkawinan). Mau’idzah hasanan adalah pesan/nasehat pernikahan yang disampaikan oleh seorang muballigh atau pemuka agama sebagai “bekal” bagi kedua mempelai untuk mengarungi kehidupan rumah tangga. Diteruskan dengan bacaan Do’a. Bertujuan untuk mendapatkan barokah dari pada tamu undangan, maka keluarga pengantin memohon doa restu dari mereka lewat bacaan do’a yang dipandu oleh seorang atau beberapa orang kyai. Dalam keadaan tertentu, do’a sering dipanjatkan oleh lebih dari satu orang kyai.
t). Setelah semua prosesi selesai, pembaca acara akan mempersilahkan pihak keluarga ataupun teman untuk tedhak sungging (Photo). Pembawa acara mengambil peran penting dalam kesuksesan acara dokumentasi perkawinan ini. Kegiatan photo diawali dari keluarga pengantin pria (sebagai bentuk kehormatan), para undangan terpilih, dan diakhiri dengan keluarga pengantin wanita sendiri sebagai tuan rumah.
u). Acara yang paling akhir adalah penutup. Sebelum acara resepsi ditutup, pembawa acara meminta perias temanten untuk memandu kedua pengantin dan rombongannya menuju pintu keluar (masuk). Acara ditutup dan para tamu undangan menyalami pengantin dan keluarga sambil berjalan pulang.
Jawa memiliki kekayaan yang luar biasa dalam hal budaya, salah satunya adalah budaya perkawianan adat. Sayang sekali budaya yang begitu menarik dan menyimpan banyak nilai tidak mampu merasuk hati generasi penerus bangsa untuk terus memaknai budaya tersebut. Anak zaman sekarang terlena dengan perkembangan zaman dan tidak mengindahkan kekayaan budaya-budaya lokal. Akibatnya, semakin hari nilai budaya perkawinan adat Jawa semakin hilang tergantikan dengan budaya asing yang dianggap lebih cocok untuk mereka.
Sebagai generasi muda sudah seharusnya kita mampu menelaah asal-muasal munculnya suatu adat yang mendarah daging dalam kehidupan dalam masyarakat. Kedatangan agama islam di Indonesia bukanlah suatu ancaman hilangnya suatu budaya. Dengan toleransi tinggi, islam mampu menata kebudayaan adat jawa untuk tidak melampaui batas-batas syariat.
Islam menghadirkan suatu sentuhan terhadap kebudayaan jawa yang mana kebudayaan tersebut lebih mempunyai arti yang mendalam. Salah satu wujud nyata sentuhan tersebut adalah munculnya upacara panggih kemanten yang disertai dengan adanya kembar mayang. Dalam kembar mayang sendiri sudah menyimpan makna yang begitu dalam untuk dimengerti sehingga pembuatan kembar mayang pun dianggap sakral oleh masyarakat jawa.
Manusia merupakan makhluk yang paling sempurna karena diberikan akal untuk berpikir. Sudah semestinya kita mampu mengetahui dan memahami secara benar apa yang menjadi keyakinan kita.
Jawa merupakan wilayah yang kaya akan kebudayaan. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika kita mampu menemukan makna yang terkandung dari setiap kebudayaan yang mendarah daging di masyarakat sebagai pedoman hidup yang benar.
Kahlil, Ahmad. Islam Jawa : sufisme dalam etika dan tradisi jawa. Malang : Uin-Malang Press
Sumarsono. 2007. Tata Upacara Pengantin Adat Jawa. Jakarta: PT. Buku Kita.
Bratasiswara R. Harmanto. Bauwarna: Adat Tata Cara Jawa. Jakarta: Yayasan Suryamirat,2000.
Geertz, Cifford. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Terjemahan Answab Maharin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.
Meinarno, Eko A., dkk.2011. Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat. Jakarta : Salemba Humanika
Prior, John Mansford. Berdiri di Ambang Batas: Pergumulan Seputar Iman dan Budaya. Maumere: Ledalero, 2008.
Mangun Hardjodikromo. 2005. Adat Istiadat Jawa : Manusia Jawa Sejak Dalam Kandungan Sampai Wafat. <http://www.semarasanta.wordpress.com> (diakses 14 Januari 2008 pukul 15.15 WIB).
Abu, Rivai (ed). Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Yogyakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988.
Geertz, Hildred. Keluarga Jawa. Terjemahan Hersri. Jakarta: Grafiti Pers, 1983.
Syam, Nur. Madzhab-Madzhab Antropologi. Yogyakarta: KkiS, 2007.
LAMPIRAN
[1] Rasjid : 2004, hlm 174
[2] Eko A. Meinarno, dkk (Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat (Jakarta : 2011). Hal. 90
[3] Ibid. Hal 131
[4] Sumarsono. Tata Upacara Pengantin Adat Jawa (Jakarta : 2007). Hal. 30
[5] Cifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, terjemahan Answab Maharin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm. 76.
[6] Cifford Geertz, op cit., hlm. 76.
[7] Bratasiswara, op cit., hlm. 289.
[8] Bratasiswara, op cit., hlm. 751
No comments:
Post a Comment