MAKALAH
KINERJA & ETOS KERJA ISLAMI
Dosen Pembimbing :
Ahmad Mu’is,S.Ag, MA
Disusun Oleh:
Nur Wahyuni
Mohamad Bastomi
Hebbi Endar S.
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2013
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, karena berkat
rahmat, taufik serta hidayahnya kami masih diberi kesempatan dan kemampuan
untuk menyusun makalah dengan judul “Kinerja & Etos Kerja Islami” guna memenuhi tugas Semester empat.
Tersusunnya makalah ini tidak lepas dari bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan banyak-banyak
terimakasih kepada:
- Bapak Ahmad Mu’is,S.Ag, MA selaku dosen pengampu mata kuliah STUDI AL-QURAN DAN AL-HADITS yang memberikan arahan dan masukan dalam
makalah ini.
- Serta semua
pihak yang telah membantu kami dalam penyusunan makalah ini yang tidak
mingkin kami sebutkan satu persatu.
Kami
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempuran. Demi tercapainya
suatu kesempurnaan kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan.
Demikaian hal yang dapat kami sampaikan, kami
berharap makalah ini dapat berguna bagi pembaca.
Malang, 07 Juni 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan
al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi
tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam
memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.
Dalam kehidupan sehari-hari sebagai umat Islam
selain diperintahkan untuk beribadah Allah memerintahkan untuk bekerja
(berusaha). Bekerja merupakan melakukan suatu kegiatan demi mencapai tujuan,
selain mencari rezeki namun juga cita-cita. Dalam bekerja diwajibkan memilih
pekerjaan yang baik dan halal, karena tidak semua pekerjaan itu diridhai Allah
SWT.
Di dalam Al-Qur’an dan Hadist sudah jelas
tentang pekerjaan yang baik dan bagaimana kita memperoleh rezeki dengan cara
yang diridhai Allah SWT. Hal ini sangat penting sekali dibahas, karena semua
orang dunia ini pasti membutuhkan makanan, sandang maupun papan. Disini pasti
manusia berlomba-lomba atau memenuhi kebutuhannya tersebut dengan bekerja untuk
mendapatkan yang diinginkan sehingga kita juga harus tahu, bahwa semua yang
kita dapatkan semuanya dari Allah SWT dan itu semua hanya titipan Allah SWT
semata. Sebagai umatnya diwajibkan mengembangkannya dengan baik dan hati-hati.
Untuk itu diperlukannya etos kerja dalam setiap kinerja pribadi muslim demi kelangsungan umat sehari-hari.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian dari kinerja
& etos kerja ?
2.
Bagaimana penjelasan kinerja & etos kerja dalam islam ?
- Bagaimana aspek – aspek pekerjaan dalam islam?
- Bagaimana
ciri –ciri etos kerja dalam islam?
- Bagaimana etika kerja dalam
islam?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari
kinerja dan etos kerja.
2. Mengetahui dalil-dalil
yang menjelaskan tentang kinerja dan etos kerja.
3. Mengetahui aspek-aspek
yang terdapat di dalam kinerja dan etos kerja.
4. Mengetahui ciri-ciri
kinerja dan etos kerja dalam islam.
5. Mengetahui etika kerja
yang diajarkan dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Kinerja
Pada dasarnya pengertian kinerja dapat dimaknai secara
beragam. Dalam Kamus Besar Indonesia, kerja mempunyai arti kegiatan melakukan
sesuatu.[1] Dalam
Oxford Advanced Learner’s Dictionary diterangkan arti lebih detail,
kerja merupakan penggunaan kekuatan fisik ayau daya mental untuk melakukan
sesuatu.[2] Dalam Ensiklopedi Indonesia dengan konteks ekonomi, kerja
diartikan sebagai pengerahan tenaga (baik pekerjaan jasmani maupun rohani). Agar
terdapat kejelasan mengenai kinerja, akan disampaikan beberapa pengertian
mengenai kinerja.
Bernardin and Russel
mendefinisikan kinerja sebagai berikut:
“Performance is
defined as the record of outcomes produced on a specified job function or
activity during a time period“. Berdasarkan pendapat Bernardin and Russel,
kinerja cenderung dilihat sebagai hasil dari suatu proses pekerjaan yang
pengukurannya dilakukan dalam kurun waktu tertentu.
Pendapat yang lebih
komprehensif disampaikan oleh Brumbrach sebagai berikut:
“Performance means behaviours and results. Behaviours emanate from the
performer and transform performance from abstraction to action. Not just the
instruments for results, behaviours are also outcomes in their own right – the
product of mental and physical effort applied to tasks – and can be judged
apart from results.”
Brumbrach, selain
menekankan hasil, juga menambahkan perilaku sebagai bagian dari kinerja.
Menurut Brumbach, perilaku penting karena akan berpengaruh terhadap hasil kerja
seorang pegawai.
Dari beberapa
pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan pokok: 1). Kerja itu merupakan
aktivitas bertujuan, dengan sendirinya dilakukan secara sengaja; 2). Pengertian kerja dengan konteks
ekonomi adalah untuk menyelenggarakan proses produksi. Jadi, merupakan upaya
memperoleh hasil. Sedangkan pengertian kerja di sini mencakup pula konteks
keagamaan. Oleh karenanya pengertian hasil dapat bersifat transenden dan
nonmateriil, di samping yang bersifat materiil; dan 3). Kerja itu mencakup
kerja bersifat fisik dan nonfisik atau kerja batin. Kerja lahir merupakan
aktifitas fisik, anggota badan, termasuk panca indera seperti mengajar
disekolah, menjalankan sholat, dan sebagainya. Sedangkan kerja batin itu ada
dua macam; kerja otak (seperti belajar) dan kerja qalb (seperti mencintai).
Dari beberapa pendapat
tersebut, kinerja dapat dipandang dari perspektif hasil, proses, atau perilaku
yang mengarah pada pencapaian tujuan. Oleh karena itu, tugas dalam konteks penilaian
kinerja, tugas pertama pimpinan organisasi adalah menentukan perspektif kinerja
yang mana yang akan digunakan dalam memaknai kinerja dalam organisasi yang dipimpinnya.
Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Kinerja tidak terjadi
dengan sendirinya. Dengan kata lain, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
kinerja. Adapun faktor-faktor tersebut menurut Armstrong (1998: 16-17) adalah
sebagai berikut:
- Faktor individu (personal factors). Faktor individu berkaitan
dengan keahlian, motivasi, komitmen, dll.
- Faktor kepemimpinan (leadership factors). Faktor kepemimpinan
berkaitan dengan kualitas dukungan dan pengarahan yang diberikan oleh
pimpinan, manajer, atau ketua kelompok kerja.
- Faktor kelompok/rekan kerja (team factors). Faktor
kelompok/rekan kerja berkaitan dengan kualitas dukungan yang diberikan
oleh rekan kerja.
- Faktor sistem (system factors). Faktor sistem berkaitan dengan
sistem/metode kerja yang ada dan fasilitas yang disediakan oleh
organisasi.
- Faktor situasi (contextual/situational factors). Faktor situasi
berkaitan dengan tekanan dan perubahan lingkungan, baik lingkungan
internal maupun eksternal.
Dari uraian yang
disampaikan oleh Armstrong, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
kinerja seorang pegawai. Faktor-faktor ini perlu mendapat perhatian serius dari
pimpinan organisasi jika pegawai diharapkan dapat memberikan kontribusi yang
optimal.
Sistem
Pengukuran Kinerja
Untuk mengukur kinerja,
dapat digunakan beberapa ukuran kinerja. Beberapa ukuran kinerja yang meliputi;
kuantitas kerja, kualitas kerja, pengetahuan tentang pekerjaan, kemampuan
mengemukakan pendapat, pengambilan keputusan, perencanaan kerja dan daerah
organisasi kerja. Ukuran prestasi yang lebih disederhana terdapat tiga kreteria
untuk mengukur kinerja, pertama; kuantitas kerja, yaitu jumlah yang harus
dikerjakan, kedua, kualitas kerja, yaitu mutu yang dihasilkan, dan ketiga,
ketepatan waktu, yaitu kesesuaiannya dengan waktu yang telah ditetapkan.
Menurut Cascio (2003:
336-337), kriteria sistem pengukuran kinerja adalah sebagai berikut:
- Relevan (relevance). Relevan mempunyai makna (1) terdapat
kaitan yang erat antara standar untuk pelerjaan tertentu dengan tujuan
organisasi, dan (2) terdapat keterkaitan yang jelas antara elemen-elemen
kritis suatu pekerjaan yang telah diidentifikasi melalui analisis jabatan
dengan dimensi-dimensi yang akan dinilai dalam form penilaian.
- Sensitivitas (sensitivity). Sensitivitas berarti adanya
kemampuan sistem penilaian kinerja dalam membedakan pegawai yang efektif
dan pegawai yang tidak efektif.
- Reliabilitas (reliability). Reliabilitas dalam konteks ini
berarti konsistensi penilaian. Dengan kata lain sekalipun instrumen
tersebut digunakan oleh dua orang yang berbeda dalam menilai seorang
pegawai, hasil penilaiannya akan cenderung sama.
- Akseptabilitas (acceptability). Akseptabilitas berarti bahwa
pengukuran kinerja yang dirancang dapat diterima oleh pihak-pihak yang
menggunakannya.
- Praktis (practicality). Praktis berarti bahwa instrumen
penilaian yang disepakati mudah dimenegerti oleh pihak-pihak yang terkait
dalam proses penilaian tersebut.
Pendapat senada
dikemukakan oleh Noe et al, bahwa kriteria sistem pengukuran kinerja yang
efektif terdiri dari beberapa aspek sebagai berikut:
- Mempunyai Keterkaitan yang Strategis (strategic congruence).
Suatu pengukuran kinerja dikatakan mempunyai keterkaitan yang strategis
jika sistem pengukuran kinerjanya menggambarkan atau berkaitan dengan
tujuan-tujuan organisasi. Sebagai contoh, jika organisasi tersebut
menekankan pada pentingnya pelayanan pada pelanggan, maka pengukuran
kinerja yang digunakan harus mampu menilai seberapa jauh pegawai melakukan
pelayanan terhadap pelanggannya.
- Validitas (validity). Suatu pengukuran kinerja dikatakan valid
apabila hanya mengukur dan menilai aspek-aspek yang relevan dengan kinerja
yang diharapkan.
- Reliabilitas (reliability). Reliabilitas berkaitan dengan
konsistensi pengukuran kinerja yang digunakan. Salah satu cara untuk
menilai reliabilitas suatu pengukuran kinerja adalah dengan membandingkan
dua penilai yang menilai kinerja seorang pegawai. Jika nilai dari kedua
penilai tersebut relatif sama, maka dapat dikatakan bahwa instrumen
tersebut reliabel.
- Akseptabilitas (acceptability). Akseptabilitas berarti bahwa
pengukuran kinerja yang dirancang dapat diterima oleh pihak-pihak yang
menggunakannya. Hal ini menjadi suatu perhatian serius mengingat sekalipun
suatu pengukuran kinerja valid dan reliabel, akan tetapi cukup banyak
menghabiskan waktu si penilai, sehingga si penilai tidak nyaman
menggunakannya.
- Spesifisitas (specificity). Spesifisitas adalah batasan-batasan
dimana pengukuran kinerja yang diharapkan disampaikan kepada para pegawai
sehingga para pegawai memahami apa yang diharapkan dari mereka dan
bagaimana cara untuk mencapai kinerja tersebut. Spesifisitas berkaitan
erat dengan tujuan strategis dan tujuan pengembangan manajemen kinerja.
Dari pendapat Cascio
dan Noe et al, ternyata suatu instrumen penilaian kinerja harus didisain
sedemikian rupa. Instrumen penilaian kinerja, berdasarkan konsep Cascio dan Noe
et al, terutama harus berkaitan dengan apa yang dikerjakan oleh pegawai.
Mengingat jenis dan fungsi pegawai dalam suatu organisasi tidak sama, maka
nampaknya, tidak ada instrumen yang sama untuk menilai seluruh pegawai dengan
berbagai pekerjaan yang berbeda.
Penilaian Kinerja
Setiap organisasi pada
dasarnya telah mengidentifikasi bahwa perencanaan prestasi dan terciptanya
suatu prestasi organisasi mempunyai kaitan yang sangat erat dengan prestasi
individual para pegawai. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa prestasi kerja
organisasi merupakan hasil dari kerjasama antara pegawai yang bersangkutan
dengan organisasi dimana pegawai tersebut bekerja. Untuk mencapai prestasi
kerja yang diinginkan, maka tujuan yang diinginkan, standar kerja yang
dinginkan, sumber daya pendukung, pengarahan, dan dukungan dari manajer lini
pegawai yang bersangkutan menjadi sangat vital. Selain itu sisi motivasi
menjadi aspek yang terlibat dalam peningkatan prestasi kerja. Hal ini sesuai
dengan pendapat Torington dan Hall (1995: 316) yang menyatakan bahwa “Prestasi
kerja dilihat sebagai hasil interaksi antara kemampuan individual dan
motivasi”.
Mondy & Noe (1990:
382) mendefinisikan penilaian prestasi kerja sebagai: “Suatu sistem yang
bersifat formal yang dilakukan secara periodik untuk mereview dan mengevaluasi
kinerja pegawai”.
Sedangkan Irawan (1997: 188) berpendapat bahwa
penilaian prestasi kerja adalah ”Suatu cara dalam melakukan evaluasi terhadap
prestasi kerja pegawai dengan serangkaian tolok ukur tertentu yang obyektif dan
berkaitan langsung dengan tugas seseorang serta dilakukan secara berkala”.
Sementara itu Levinson seperti dikutip oleh
Marwansyah dan Mukaram (1999: 103) mengatakan bahwa “Penilaian unjuk kerja
adalah uraian sistematik tentang kekuatan/kelebihan dan kelemahan yang
berkaitan dengan pekerjaan seseorang atau sebuah kelompok”.
Adapun sasaran proses
penilaian dikemukakan oleh Alewine (1992: 244) sebagai berikut: ”Sasaran proses
penilaian prestasi kerja adalah untuk membuat karyawan memandang diri mereka
sendiri seperti apa adanya, mengenali kebutuhan perbaikan kinerja kerja, dan
untuk berperan serta dalam membuat rencana perbaikan kinerja”. Sedangkan tujuan
umum penilaian kinerja adalah mengevaluasi dan memberikan umpan balik
konstruktif kepada para pegawai yang pada akhirnya mencapai efektivitas
organisasi.
Sementara itu, menurut
Cummings dan Schwab (1973: 4), penilaian kinerja pegawai pada umumnya memiliki
dua fungsi sebagai berikut:
- Fungsi summative atau evaluative. Fungsi ini biasanya
berhubungan dengan rencana pengambilan keputusan yang bersifat
administratif. Sebagai contoh, hasil dari penilaian ini digunakan sebagai
bahan pertimbangan untuk meningkatkan gaji pegawai yang dinilai,
memberikan penghargaan atau hukuman, promosi, dan mutasi pegawai. Dalam
fungsi ini manajer berperan sebagai hakim yang siap memberikan vonis.
- Fungsi formative. Fungsi formative berkaitan dengan
rencana untuk meningkatkan keterampilan pegawai dan memfasilitasi
keinginan pegawai untuk meningkatkan kemampuan mereka. Salah satu
maksudnya adalah untuk mengidentifikasi pelatihan yang dibutuhkan pegawai.
Manajer berperan sebagai konsultan yang siap untuk memberikan pengarahan
dan pembinaan untuk kemajuan pegawai.
Sedangkan Stewart dan
Stewart (1977: 5) menyatakan bahwa penilaian kinerja pegawai dimaksudkan untuk:
- Memberikan feedback bagi pegawai. Agar efektif, maka masukan
yang diberikan kepada pegawai harus jelas (tepat sasaran), deskriptif
(menggambarkan contoh-contoh pekerjaan yang benar), objektif (memberikan
masukan yang positif dan negatif), dan konstruktif (memberikan saran perbaikan).
- Management by Objective. Manajer
menentukan target dan tujuan yang harus dicapai oleh setiap bawahan.
Target dan tujuan tersebut harus disetujui oleh kedua belah pihak, dan
evaluasi dilaksanakan berdasarkan pada hal-hal yang sudah disetujui bersama.
- Salary review. Hasil dari
penilaian digunakan untuk menentukan apakah seseorang akan mendapatkan
kenaikan atau penurunan gaji.
- Career counselling. Dalam
pelaksanaan penilaian, manajer mempunyai kesempatan untuk melihat
kemungkinan perjalanan karier pegawai, salah satunya bisa melalui
pengiriman pegawai kedalam program diklat.
- Succession planning. Penilaian
pegawai dapat membantu manajer dalam membuat daftar pegawai yang memiliki
keterampilan dan kemampuan tertentu, sehingga jika ada posisi yang kosong,
manajer bisa dengan cepat menunjuk seseorang.
- Mempertahankan keadilan. Adalah suatu hal yang wajar jika seseorang
lebih menyukai seseorang dibanding orang lain. Penilaian pegawai dapat
mengurangi terjadinya hal tersebut misalnya dengan melibatkan atasan dari
atasan langsung kita untuk ikut secara acak dalam proses penilaian.
- Penggantian pemimpin. Sistem penilaian pegawai dapat mengurangi beban
pekerjaan manajer baru yang tidak tahu menahu kondisi dan kompetensi
pegawainya. Data yang ada dalam dokumen penilaian dapat digunakan sebagai
informasi yang penting untuk mengetahui kompetensi dan mengenal bawahan
lebih cepat dan mungkin akurat.
Dari uraian sebelumnya,
terlihat bahwa penilian kinerja memberikan banyak tujuan. Tujuan penilian
kinerja ini pada akhirnya akan memberikan manfaat, tidak hanya untuk pegawai
yang bersangkutan, akan tetapi juga untuk organisasi. Perlu diingat bahwa
penilaian kinerja tidak dimaksudkan untuk memberikan hukuman jika pegawai tidak
dapat memenuhi capaian kinerja yang ditentukan.
Oleh karena itu, salah
satu aspek penting dalam penilaian kinerja adalah adanya apresiasi yang
proporsional dan program pengembangan SDM yang tepat. Apresiasi diberikan
kepada prg yang mampi mencapai atau melebihi tingkat kinerja yang diharapkan.
Sedangkan program pengembangan pegawai diberikan kepada pegawai yang
memerlkukan treatment tertentu untuk meningkatkan kinerjanya.
2.2 Konsep Kerja
dalam Islam
Kerja merupakan cara langsung dalam rangka memenuhi tuntutan yang
bersifat pembawaan.[3] Menurut al-Faruqiy, manusia
memang diciptakan untuk bekerja. Kerjanya adalah ibadahnya. Terhadap mereka
yang enggan bekerja al-Faruqiy menyatakan, mereka tidak mungkin menjadi muslim
yang baik. Apalagi kalau dikaitkan dengan iman, perbuatan atau kerja islami
justeru merupakan manifestasi dan bagian daripadanya. Dengan ungkapan lain,
iman adalah landasan, sedangkan perbuatan atau kerja merupakan konsekuensi dan
cara melakukannya.
Sistem keimanan yang
membangun aqidah dan melahirkan amal-amal islami, baik yang berkenaan dengan
hablumminallah maupun hablumminannas termasuk pelaksanaan tugas menjadi
khalifah Allah di muka bumi oleh manusia, semestinya bersumber dari
ajaran-ajaran wahyu (al-Qura’an dan al-Hadits). Maka, proses terlahirnya
amal-amal itu dapat digambarkan sebagai berikut:
Dari gambar di atas, tampak jelas bahwa amal dan kerja islami ternyata
menjadi muara sekaligus pernyataan daris seluruh kawasan tujuan hidup orang
islam. Ternyata islam tidak merekomendasikan kehidupan yang hanya mengejar
“hasanah” di akhirat dengan cara mengabaikan “hasanah” di dunia. Bahkan ajaran
islam menegaskan bahwa mengabaikan keduniaan serta menganggap remeh urusannya
adalah sikap negatif, tercela dan keluar dari garis fitrah serta jalur as-sirat
al-mustaqim. Oleh karena itu, Rasul melarang cara berpikir anti dunia karena
senang pada akhirat.
Allah juga berfirman dalam Q.S al-Qasas/28:77,
Æ÷tGö/$#ur !$yJÏù 9t?#uä ª!$# u#¤$!$# notÅzFy$# ( wur [Ys? y7t7ÅÁtR ÆÏB $u÷R9$# ( `Å¡ômr&ur !$yJ2 z`|¡ômr& ª!$# øs9Î) ( wur Æ÷ö7s? y$|¡xÿø9$# Îû ÇÚöF{$# ( ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä tûïÏÅ¡øÿßJø9$# ÇÐÐÈ
77. dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Dari surah di atas dapat diketahui bahwa islam tidak
hanya mengajarkan aqidah saja, tetapi mengajarkan syari’ah sebagai tata
menjalani kehidupan sesuai dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan demikian, dapat diketahui bahwasanya amal
atau kerja mempunyai makna urgen bagi setiap manusia, ternyata juga merupakan
bukti keimanan orang islam.
Pengertian kerja dalam keterangan di atas,
dalam Islam amatlah luas, mencakup seluruh pengerahan potensi manusia. Adapun
pengertian kerja secara khusus adalah setiap potensi yang dikeluarkan manusia
untuk memenuhi tuntutan hidupnya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan
peningkatan taraf hidup.
Inilah pengertian kerja yang bisa dipakai
dalam dunia ketenaga-kerjaan dewasa ini, sedangkan bekerja dalam lingkup
pengertian ini adalah orang yang bekerja dengan menerima upah baik bekerja
harian, maupun bulanan dan sebagainya.
Pada
hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah muncul secara jelas, praktek
mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad, dalam pengertian ini memperhatikan
empat macam pekerja :
1) al-Hirafiyyin; mereka yang
mempunyai lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para pemilik
restoran. Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang
bekerja dalam jasa angkutan dan kuli.
2) al-Muwadzofin: mereka yang secara
legal mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu perusahaan dan
pegawai negeri.
3) al-Kasbah: para pekerja yang
menutupi kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli seperti pedagang
keliling.
4) al-Muzarri’un: para petani.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks
hukum Islam, diantaranya hadis rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi
SAW bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum kering
keringat-keringatnya. (HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan :
“Besar gaji disesuaikan dengan hasil kerja.” Pendapat atau kaidah tersebut
menuntun kita dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan porsi kerja yang
dilakukan seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak.
Disamping
kewajiban bekerja akan mendapatkan pahala, juga Allah Swt menjanjikan akan
mengampuni dosa-dosanya kaum muslimin. Dalam hal ini terdapat hadits yang
diriwayatkan oleh imam Ahmad sebagai berikut : “Barangsiapa yang pada
malam hari merasakan kelelahan dari upaya keterampilan kedua tanganya pada
siang hari maka pada malam itu ia diampuni”. Demikian halnya terdapat hadits
berikutnya yang diriayatkan oleh imam Abu Nu’aim bahwa Rasulullah Saw pernah
bersabda : “ Sesungguhnya diantara perbuatan dosa ada dosa yang tidak bisa
terhapus (ditebus) oleh (pahala) shaum dan sholat. “Ditanyakan pada Beliau,
Apakah yang dapat menghapuskanya, ya Rasulullah?” Jawab Rasul Saw: “Kesusahan
(bekerja) dalam mencari nafkah kehidupan”.
2.3 Aspek
Pekerjaan dalam Islam
Aspek pekerjaan dalam Islam meliputi empat hal
yaitu :
·
Memenuhi
kebutuhan sendiri
Islam sangat menekankan kemandirian bagi
pengikutnya. Seorang muslim harus mampu hidup dari hasil keringatnya sendiri,
tidak bergantung pada orang lain. Hal ini diantaranya tercermin dalah
hadist berikut :
عن أبي عبد الله
الزبير بن العوام رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لأن يأخذ
أحدكم أحبله ثم يأتي الجبل، فيأتي بحزمةٍ من حطبٍ على ظهره فيبيعها، فيكف الله بها
وجهه، خيرٌ له من أن يسأل الناس،أعطوه أو منعوه. رواه البخاري.
Dari Abu Abdillah yaitu az-Zubair bin al-Awwam
r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Niscayalah jikalau seseorang
dari engkau semua itu mengambil tali-talinya – untuk mengikat – lalu ia datang
di gunung, kemudian ia datang kembali – di negerinya – dengan membawa
sebongkokan kayu bakar di atas punggungnya, lalu menjualnya,kemudian dengan
cara sedemikian itu Allah menahan wajahnya – yakni dicukupi kebutuhannya, maka
hal yang semacam itu adalah lebih baik baginya daripada meminta-minta sesuatu
pada orang-orang, baik mereka itu suka memberinya atau menolaknya.” (Riwayat
Bukhari)
Rasullullah memberikan contoh kemandirian yang
luar biasa, sebagai pemimpin nabi dan pimpinan umat Islam beliau tak segan
menjahit bajunya sendiri, beliau juga seringkali turun langsung ke medan jihad,
mengangkat batu, membuat parit, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
Para sahabat juga memberikan contoh
bagaimana mereka bersikap mandiri, selama sesuatu itu bisa dia kerjakan sendiri
maka dia tidak akan meminta tolong orang lain untuk mengerjakannya. Contohnya,
ketika mereka menaiki unta dan ada barangnya yang jatuh maka mereka akan
mengambilnya sendiri tidak meminta tolong lain.
·
Memenuhi
kebutuhan keluarga
Bekerja untuk memenuhi
kebutuhan keluarga yang menjadi tanggungannya adalah kewajian bagi seorang
muslim, hal ini bisa dilihat dari hadist berikut :
قال رسول
الله(صلى الله عليه وسلم):” كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يقوت” رواه أحمد وأبو
داود وصححه الحاكم وأقره الذهبي من حديث عبدالله ابن عمرو بن العاص
Rasulullah saw bersabada, “Cukuplah
seseorang dianggap berdosa jika ia menelantarkan orang-orang yang menjadi
tanggung jawabnya”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan al-Hakim)
Menginfaqkan harta bagi keluarga adalah hal
yang harus diutamakan, baru kemudian pada lingkungan terdekat, dan kemudian
lingkungan yang lebih luas.
·
Kepentingan
seluruh makhluk
Pekerjaan yang dilakukan seseorang bisa menjadi
sebuah amal jariyah baginya, sebagaimana disebutkan dalam hadist berikut :
عن أنس قال
النبي صلى الله عليه وسلم : ” ما من مسلم يغرس غرسا أو يزرع زرعا فيأكل منه طير أو
إنسان أو بهيمة إلا كان له به صدقة “
Dari Anas, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah
seorang mukmin menanam tanaman, atau menabur benih, lalu burung atau manusia
atau hewan pun makan darinya kecuali pasti bernilai sedekah baginya”. (HR
Bukhari)
Dalam era modern ini banyak sekali pekerjaan
kita yang bisa bernilai sebagai amal jariyah. Misalnya kita membuat aplikasi
atau tekhnologi yang berguna bagi umat manusia. Karenanya umat Islam harus
cerdas agar bisa menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai amal jariyah.
·
Bekerja sebagai
wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri
Islam sangat menghargai
pekerjaan, bahkan seandainya kiamat sudah dekat dan kita yakin tidak akan
pernah menikmati hasil dari pekerjaan kita, kita tetap diperintahkan untuk
bekerja sebagai wujud penghargaan terhadap pekerjaan itu sendiri. Hal ini bisa
dilihat dari hadist berikut :
عن أنس رضي الله
عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” إن قامت الساعة و في يد أحدكم فسيلة فإن استطاع أن لا تقوم حتى يغرسها فليغرسها".
Dari Anas RA, dari Rasulullah saw, beliau
bersabda, “Jika hari kiamat terjadi, sedang di tanganmu terdapat bibit
tanaman, jika ia bisa duduk hingga dapat menanamnya, maka tanamlah “ (HR
Bukhari dan Muslim.
Posisi Kerja
a). Kerja dan Eksistensi Manusia
Menurut pandangan islam, kerja merupakan sesuatu yang digariskan bagi
manusia. Dengan bekerja manusia mampu memperoleh kebahagiaan di dunia dan
akhiratnya. Agama juga menjadikan kerja sebagai sarana pendekatan diri kepada
Allah. Amat jelas bahwa kerja mempunyai makna eksistensial dalam menunjukkan
kehidupan orang islam. Karena berhasil/gagalnya dan tinggi/rendahnya kualitas
hidup seseorang ditentukan oleh amal dan kerjanya.[4]
“Sesungguhnya Kami telah
menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka
siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. Al-Kahfi/18:7). Dengan demikian,
lulus/tidaknya manusia dalam menghadapi ujian hidup di dunia ini dapat dilihat
dari amal atau kerja yang telah dilakukan. Apalagi manusia diberikan tugas
sebagai khalifah yang bertugas sebagai pemakmur bumi. Hal tersebut merupakan
tugas besar yang jika tidak dikerjakan dengan sungguh-sungguh, mustahil rasanya
bila amanah tersebut dapat dilaksanakan.
Manusia yang eksis
muncul karena kerja dan kerja itulah yang membentuk eksistensi kemanusiaan.
Pandangan ini sejalan dengan salah satu inti sari dari QS. An-Najm/53:39 yang
menjelaskan bahwa manusia tidak akan memperoleh suatu apapun tanpa usaha yang
ia lakukan sendiri. Dengan bekerja, manusia memperoleh sebuah peran dalam
mempertahankan penghidupannya. Bekerja yang baik adalah bekerja sesuai
kemampuan yang dimiliki masing-masing individu.
b). Dari Iman sampai Kerja
Perlu diperhatikan bahwa Allah bila menyebut perkataan, الذين
أمنوا dalam ayat-ayat al-Qur’an
selalu menyambungnya dengan وعملوا الصالحات . Hal tersebut mengisyaratkan bahwa iman harus
disertai amal saleh atau pekerjaan baik. Amal saleh adalah penjelmaan dari
iman. Iman yang tidak melahirkan amal saleh dapat disebut iman yang mandul.
Maka, islam menghubungkan aqidah dengan perilaku yang dituntutnya secara
mutlak. Sehingga iman atau aqidah memancar, mengarahkan dan berpengaruh amat
positif tehadap perilaku pemiliknya.
Menurut
Isa ‘Abduh dan Ahmad Isma’il Yahya, ada tiga cara untuk mewujudkan kinerja yang
baik, yaitu:
1.
Kerja yang dilandasi taqwa.
2.
Iklim dan suasana kerja yang tenang dan kondusif.
3.
Didukung oleh ilmu pengetahuan terkait dengan bidang
pekerjaan, dan bersangkutan selalu berusaha menambah ilmunya.[5]
Jadi, kerja atau amal didukung oleh kesehatan dan
ilmu pengetahuan, yang secara dinamis merupakan bagian urgen dan sistematis
dari iman sampai ke amal saleh. Ketiganya (iman, amal dan ilmu) secara organis
berhubungan amat erat.
c). Kerja dan Tanggung Jawab
Sehubungan dengan kerja dan tanggung jawab,
rasulullah saw. pernah menegaskan , “masing-masing kamu adalah pengembala, dan
setiap pengembala bertanggung jawab atas gembalaannya....”. dalam hadits
tersebut dapat dipahami bahwa Allah memberikan tanggung jawab kepada manusia sebagai
khalifah di bumi.
Bekerja demi terselenggaranya “ma’isyah” atau
penghidupan yang baik merupakan kewajiban. Keharusan kerja bagi manusia
mencapai tingkat “tugas istimewa” hingga keengganan mereka untuk bekerja bukan
sekedar maksiat yang merugikan orang yang bersangkutan saja. Kerja disukai oleh
Allah dan Rasul-Nya bila kerja itu dilaksanakan sungguh-sungguh dilandasi niat
mencari ridho-Nya.
d). Hukum Bekerja dan Beretos Kerja Tinggi
Terdapat sejumlah firman Allah yang berkaitan dengan
perintah bekerja kepada orang-orang yang beriman, antara lain, “Dia yang
menjadikan bumi mudah bagimu, maka berjalanlah ke berbagai penjuru bumi dan
makanlah sebagian dari rizki Allah...” (QS. Al-Mulk/67:15). Ayat ini mengandung
perintah langsung agar manusia giat bekerja dan menghindari bermalas-malasan.
Bekerja untuk memperoleh rizki guna menunaikan nafkah keluarga adalah sebuah
amanah yang harus ditunaikan.
Berdasarkan kaidah syar’iyyah, “sesuatu amal wajib
yang tidak tertunaikan, tidak sah tanpa dilakukannya sesuatu itu, konsekuensi
logisnya sesuatu itu ikut menjadi wajib hukumnya”. Dengan demikian, bekerja
guna memenuhi kebutuhan anak dan keluarga sebagaimana tersebut di atas hukumnya
pun menjadi wajib, kalau tanpa kerja, amanah berupa anak dalam keluarga akan
terlantar, amanah itu lalu tidak dapat dipenuhi sebagimana mestinya.
Islam menempatkan posisi kerja pada posisi sentral
yang berhubungan erat bahkan tidak terpisahkan dari keimanan. Dengan demikian,
hukum bekerja dalam islam adalah setara dengan wajib, manakala sesuatu yang
mensyaratkan merupakan sesuatu yang hukumnya wajib.
d). Etika kerja
Etika di sini bukan sekedar etiket dalam artian
bahwa sesuatu yang bersifat formalitas yang mengikat. Etika di sini lebih
condong pada karakteristik yang muncul akibat dari bekerja. Ada dua pola
hubungan yang muncul dari etika kerja islami sebagai tata cara menumbuhkan
akhlak islami dalam bekerja, yaitu: hablumminannas dan hablumminallah.
Dalam disertasinya, Said Mahmud mengemukakan, ada
dua syarat mutlak suatu pekerjaan yang dapat digolongkan sebagai amal saleh,
yaitu: 1. Husnul fa’iliyah, yakni lahir dari keikhlasan niat pelaku; dan 2.
Husnul fi’iliyah, maksudnya pekerjaan itu memiliki nilai-nilai kebaikan
berdasarkan kriterian yang ditetapkan oleh syara’, sunnah nabi, atau akal
sehat. Keduanya di samping menjadi syarat amal saleh sebagaimana disebut di
atas, ternyata juga menjadi dasar dan jiwa etika kerja islami yang bersifat
khas.
Fungsi Kerja
·
Kerja
Sebagai Sumber Nilai
Islam menjadikan kerja sebagai sumber nilai
insan dan ukuran yang tanggungjawab berbeza. Firman Allah bermaksud:
"Dan
bahawa sesungguhnya tidak ada balasan bagi seseorang itu melainkan balasan apa
yang diusahakan". (al-Najm: 39)
Firman-Nya
lagi bermaksud:
"Dan
bagi tiap-tiap seseorang beberapa darjat tingkatan balasan disebabkan amal yang
mereka kerjakan dan ingatlah Tuhan itu tidak lalai dari apa yang mereka
lakukan". (al-An'am: 132)
Kerja sebagai sumber nilai manusia bererti
manusia itu sendiri menentukan nilai atau harga ke atas sesuatu perkara itu.
Sesuatu perkara itu pada zatnya tidak ada apa-apa nilai kecuali kerana
nisbahnya kepada apa yang dikerjakan oleh manusia bagi menghasil, membuat,
mengedar atau menggunakannya. Kerja juga merupakan sumber yang objektif bagi
penilai prestasi manusia berasaskan segi kelayakan. Oleh yang demikian Islam
menentukan ukuran dan syarat-syarat kelayakan dan juga syarat-syarat kegiatan
bagi menentukan suatu pekerjaan atau jawatan itu supaya dapat dinilai prestasi
kerja seseorang itu. Dengan cara ini, Islam dapat menyingkirkan perasaan pilih
kasih dalam menilai prestasi seseorang sama ada segi sosial, ekonomi dan
politik.
·
Kerja
Sebagai Sumber Pencarian
Islam mewajibkan setiap umatnya bekerja untuk
mencari rezeki dan pendapatan bagi menyara hidupnya. Islam memberi berbagai-bagai
kemudahan hidup dan jalan-jalan mendapatkan rezeki di bumi Allah yang penuh
dengan segala nikmat ini. Firman-Nya bermaksud:
"Dan
sesungguhnya Kami telah menetapkan kamu (dan memberi kuasa) di bumi dan Kami
jadikan untuk kamu padanya (berbagai-bagai jalan) penghidupan."
(al-A'raf: 168)
Dan
firman-Nya lagi bermaksud:
"Dialah
yang menjadikan bumi bagi kamu mudah digunakan, maka berjalanlah di merata-rata
ceruk rantaunnya, serta makanlah dari rezeki yang dikurniakan Allah dan
kepada-Nya jualah dibangkitkan hidup semula." (al-Mulk:
15)
Islam memerintahkan umatnya mencari rezeki yang
halal kerana pekerjaan itu adalah bagi memelihara maruah dan kehormatan
manusia. Firman Allah bermaksud:
"Wahai
sekalian manusia, makanlah dari apa yang ada di muka bumi yang halal lagi
baik". (al-Baqarah: 168)
Sabda
Nabi (s.a.w) bermaksud: "Mencari kerja halal itu wajib atas setiap
orang Islam."
Oleh yang demikian Islam mencela kerja
meminta-minta atau mengharapkan pertolongan orang lain kerana ianya boleh
merendahkan harga diri atau maruah. Dalam sebuah hadis Rasulullah (s.a.w)
bermaksud:
"Bahawa
sesungguhnya seseorang kamu pergi mengambil seutas tali kemudian mengikat
seberkas kayu api lalu menjualnya hingga dengan sebab itu ia dapat memelihara
harga dirinya, adalah lebih baik daripada ia pergi meminta-minta kepada orang
sama ada mereka rnemberinya atau menolaknya."
·
Kerja
Sebagai Asas Kemajuan Umat
Islam mewajibkan kerja untuk tujuan mendapatkan
mata pencarian hidup dan secara langsung mendorongkan kepada kemajuan
sosioekonomi. Islam mengambil perhatian yang bersungguh-sungguh terhadap
kemajuan umat kerana itu ia sangat menekankan kemajuan di peringkat masyarakat
dengan menggalakkan berbagai kegiatan ekonomi sama ada di sekitar pertanian,
perusahaan dan perniagaan. Dalam hadis Rasulullah (s.a.w) sangat ketara
dorongan ke arah kemajuan ekonomi di sektor tersebut, sebagai contoh:
1. Di
bidang Pertanian
Sabda Rasulullah s.a.w bermaksud:
"Tidaklah
seseorang mukmin itu menyemai akan semaian atau menanam tanaman lalu dimakan
oleh burung atau manusia melainkan ianya adalah menjadi sedekah".
2. Di
bidang Perusahaan
Sabda Rasulullah s.a.w. bermaksud:
"Sebaik
usaha ialah usaha seorang pengusaha apabila ia bersifat jujur dan nasihat-
menasihati.
3. Di
bidang Perniagaan
Rasulullah (s.a.w) pernah meletakkan para
peniaga yang jujur dan amanah kepada kedudukan yang sejajar dengan para wali,
orang-orang yang benar, para syuhada' dan orang-orang soleh dengan sabda
bermaksud:
"Peniaga
yang jujur adalah bersama para wali, orang-orang siddiqin, para syuhada' dan
orang-orang soleh".
Baginda juga menyatakan bahawa sembilan
persepuluh daripada rezeki itu adalah pada perniagaan.
Islam
Menolak Pengangguran
Islam menuntut umatnya bekerja secara yang
disyariatkan atau dibenarkan menurut syarak bagi menjamin kebaikan bersama
dengan mengelakkan dari meminta-minta dan sebaliknya hendaklah berdikari. Islam
sentiasa memandang berat dan menyeru umatnya untuk bekerja dan berusaha mencari
rezeki melalui dua pendekatan berikut:
Islam melarang dan mencegah umatnya
meminta-minta dan menganggur. Banyak hadis Nabi (s.a.w) mengenai larangan
berusaha cara meminta. Baginda sering benar mengarahkan orang yang datang
meminta, supaya mereka bekerja umpamanya, suatu ketika seorang fakir datang
meminta-minta kepada baginda lalu baginda bertanya: "Adakah anda memiliki
sesuatu?" "Tidak", kata lelaki itu. Baginda bertanya lagi dengan
bersungguh-sungguh, lalu lelaki itu menjawab: "Saya ada sehelai hamparan
yang separuhnya kami jadikan alas duduk dan separuhnya lagi kami buat selimut
dan ada sebuah mangkuk yang kami gunakan untuk minum".Maka baginda
bersabda kepadanya: "Bawakan kedua-dua benda itu kepada saya". Lalu
dibawanya kedua-dua barang itu, kemudian Nabi tunjukkan barang itu kepada orang
yang berada di sisi baginda kalau ada sesiapa yang hendak membelinya. Akhirnya
baginda dapat menjualnya dengan harga dua dirham dan diberikan wang tersebut
kepada lelaki itu sambil baginda berkata: "Belilah makanan untuk
keluargamu dengan satu dirham manakala satu dirham lagi belikanlah sebilah
kapak". Kemudian Rasulullah (s.a.w) meminta lelaki itu datang lagi, lalu
lelaki itupun datang dan baginda telah membubuhkan hulu kapak itu dan menyuruh
lelaki itu pergi mencari kayu api sambil baginda mengatakan kepada lelaki itu
supaya lelaki itu tidak akan berjumpa lagi dalam masa 15 hari. Lelaki itu pergi
dan kembali lagi selepas 15 hari sambil membawa datang 10 dirham, lalu ia
berkata: "Wahai Rasulullah, Allah telah memberkati saya pada kerja yang
tuan suruh saya itu." Maka baginda Rasulullah (s.a.w) bersabda: "Itu
adalah lebih baik daripada anda datang pada hari kiamat kelak sedang pada muka
anda bertanda kerana meminta-minta.
Berdasarkan kepada banyak hadis mengenai
perkara ini, para ulama membuat kesimpulan bahawa larangan meminta-minta itu
bukanlah sekadar perintah bersifat akhlak sahaja bahkan orang yang menjadikan
kerja meminta-minta itu sebagai "profesion", hendaklah dikenakan
hukuman yang berpatutan.
2.4 Etos
Kerja secara Umum
Dalam Webster World University Dictionary dijelaskan etos ialah sifat
dasar atau karakter yang merupakan kebiasaan dan watak bangsa atau ras.([6]) Etos
berasal dari kata Yunani, ethos, artinya ciri, sifat, atau kebiasaan, adat
istiadat, atau juga kecenderungan moral, pandangan hidup yang dimiliki
seseorang, suatu kelompok orang atau bangsa.([7])
Adapun kerja, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya: kegiatan
melakukan sesuatu. El-Qussy, seorang pakar Ilmu Jiwa berkebangsaan Mesir,
menerangkan bahwa kegiatan atau perbuatan manusia ada dua jenis. Pertama,
perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan mental, dan kedua tindakan yang
dilakukan dengan sengaja. Jenis pertama mempunyai ciri kepentingan, yaitu untuk
mencapai maksud atau mewujudkan tujuan tertentu. Sedangkan jenis kedua adalah
gerakan random (random movement) seperti terlihat pada gerakan bayi kecil yang
tampak tidak beratura, gerakan reflex dan gerakan-gerakan lain yang terjadi
tanpa dorongan kehendak atau proses pemikiran. Kerja yang dimaksud di sini
tentu saja kerja menurut arti yang pertama, yaitu kerja yang merupakan
aktivitas sengaja, bermotif dan bertujua. Pengertian kerja biasanya terikat
dengan penghasilan atau upaya memeperoleh hasil, baik bersifat materiil atau
nonmatreiil.
Etos kerja, menurut Mochtar Buchori dapat diartikan sebagai sikap
dan pandangan terhadap kerja, kebiasaan kerja; ciri-ciri atau sifat-sifat
mengenai cara kerja yang dimilki seseorang, suatu kelompok manusia atau suatu
bangsa. Adapun etos kerja menurut arti yang bertolak belakang dari etika, yaitu
moralitas dan kebajikan dalam bekerja, ia dapat dijabarkan dalam bentuk kode etik sebagai code of
conduct. Kode etik inilah kemudian menjelma menjadi etika kerja, etika profesi,
atau kerja sebagai kearifan sikap dalam bekerja.
Keterangan: paradigma terbentuknya etos
non-agama (tanpa keterlibatan agama). Etos kerja di sini terpancar dari sikap
hidup mendasar terhadap kerja. Sikap hidup mendasar itu terbentuk oleh
pemahaman akal dan/ pandangan hidup atau nilai-nilai yang dianut (di luar
nilai-nilai agama).
2.5 Etos Kerja dalam Persepektif Islam
Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon yang berarti proses pekerjaan
yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna. (An-Naml : 88). Sedangkan dalam
hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang
diantara kamu yang melakukan pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi dan teliti).”
(HR. al-Baihaki).
Etos
kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal
mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para
hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud
ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada
nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan
adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah)
kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22).
Berdasarkan Hadits Bukhori:
حدثنا موسى بن إسماعيل حدثنا وهيب حدثنا هشام
عن أبيه عن حكيم بن حزام رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال اليد
العليا خير من اليد السفلى وابدأ بمن تعول وخير الصدقة عن ظهر غنى ومن يستعفف يعفه
الله ومن يستغن يغنه الله وعن وهيب قال أخبرنا هشام عن أبيه عن هريرة رضي الله عنه
عن النبي صلى الله عليه وسلم بهذا
Nabi Muhammad bersabda: “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan
di bawah, mulailah orang yang wajib kamu nafkahi, sebaik-baik sedekah dari
orang yang tidak mampu (di luar kecukupan), barang siapa yang memeliharanya,
barang siapa yang mencari kecukupan maka akan dicukupi oleh Allah.”
Maksud hadits tersebut
tidak berarti bahwa memperbolehkan meminta-minta, tetapi memotivasi agar
seorang muslim mau berusaha dengan keras agar dapat menjadi tangan di atas,
yaitu orang yang mampu membantu dan memberi sesuatu pada orang lain dari hasil
jerih payahnya.([8]) Seorang
akan dapat membantu sesame apabila dirinya telah berkecukupan. Seorang
dikatakan berkecukupan jika ia mempunyai penghasilan yang lebih. Seseorang akan
mendapat penghasilan lebih jika berusaha keras dan baik. Karena dalam bekerja
harus disertai etos kerja tinggi.
Islam mencela orang
yang mampu bekerja dan memiliki badan yang sehat tetapi tidak mau berusaha
keras. Seorang muslim harus dapat memanfaatkan karunia yang diberikan Allah
yang berupa kekuatan dan kemampuan
diri untuk bekal hidup layak di
dunia-akhirat. Etos kerja yang tinggi merupakan cerminan diri seorang muslim.
Keterangan: paradigma terbentuknya etos kerja
islami. Kerja islami terpancar dari sistem keimanan/aqidah islam berkenaan
dengan kerja. Aqidah itu terbentuk oleh ajaran wahyu dan akal yang bekerjasama
secara proporsional menurut fungsi masing-masing.
Persamaan dan perbedaan etos non-agama dan etos
islam
Dengan mencermati pembahasan
sebelum dan sesudahnya, dapat ditangkap adanya persamaan dan perbedaan mendasar
antara keduanya.
a. Persamaan:
·
Etos kerja non agama
dan etos kerja kerja islami sama-sama berupa karakter dan kebiasaan berkenaan dengan
kerja yang terpancar dari sikap hidup manusia yang mendasar terhadapnya
·
Keduanya sama-sama
timbul karena motivasi.
·
Motivasi keduanya
sama-sama didorong dan dipengaruhi oleh sikap hidup yang mendasar terhadap
kerja.
·
Keduanya sama-sama
dipengaruhi secara dinamis dan manusiawi oleh berbagai faktor intern dan
ekstern yang bersifat kompleks.
b.
Perbedaan
Etos kerja non-agama
|
Etos kerja islami
|
Sikap hidup mendasar terhadap kerja di sini
timbul dari hasil kerja akal dan/pandangan hidup/nilai-nilai yang dianut
(tidak bertolak dari iman keagamaan tertentu)
|
Sikap individu mendasar
terhadap kerja di sini identik dengan sistem keimanan/aqidah islam berkenaan
dengan kerja atas dasar pemahaman bersumber dari wahyu dan akal yang saling
bekerja secara proporsional. Akal berfungsi sebagai alat pemaham wahyu.
|
Tidak ada iman
|
Iman eksis dan terbentuk sebagai buah pemahaman
akal terhadap wahyu. Akal di sini berfungsi sebagai sumber selain alat.
|
Motivasi muncul dari
akal dan pandangan hidup/nilai-nilai kehidupan yang dianut.
|
Motivasi berangkat
dari niat beribadah kepada Allah dan iman terhadap adanya kehidupan ukhrowi.
|
Etika kerja
berdasarkan akal dan/pandangan hidup/nilai-nilai yang dianut.
|
Etika kerja
berdasarkan keimanan terhadap ajaran wahyu berkenaan dengan etika kerja dan
hasil pemahaman akal berbentuk aqidah islam sehubungan dengan kerja.
|
Dengan demikian, etos kerja islami terbentuk karena
adanya banyak faktor, baik faktor internal maunpun eksternal, sehingga tidak
lah mungkin etos kerja muncul secara murni oleh salah satu faktor saja.
Beberapa faktor tersebut muncul dalam satu kesatuan yang tidak berdiri
sendiri-sendiri. Kesatuan demikian dapat digambarkan sebagai berikut:[9]
Di antara faktor-faktor tersebut mungkin ada yang
berperan lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya, dan ada pula yang
peranannya lebih kecil. Namun, masing-masing tidak dapat berdiri sendiri. Dari
faktor-faktor itu, muncullah pengaruh yang bersifat positif atau negatif,
internal atau eksternal.
2.6 Karakteristik
Etos Kerja islam
Dari konsep iman, ilmu, dan amal saleh, dapat digali dan
dirumuskan karakteristik-karakteristik etos kerja islami sebagaimana berikut:
1. Kerja Merupakan Penjabaran
Aqidah
Manusia adalah makhluk yang dikendalikan oleh sesuatu yang bersifat batin
dalam dirinya, bukan oleh fisik yang tampak. Faktor agama memang tidak menjadi
syarat timbulnya etos kerja kerja tinggi seseorang. Hal ini terbukti dengan
munculnya orang non islam yang mempunyai etos kerja yang baik. Cukup jelas
kiranya bahwa etos kerja tinggi seseorang memerlukan kesadaran bersangkut paut
dengan pandangan hidupnya secara lebih menyeluruh.
Sejarah telah membuktkan bahwa aqidah islam berpotensi besar untuk menjadi
motivasi yang mampu mengubah serta membangun sikap hidup mendasar, karakter,
serta kebiasaan perilaku manusia dalam arti amat positif. Aqidah yang berhasil
ditanamkan Nabi saw. kepada para pengikutnya ketika Beliau terbukti menimbulkan
kemajuan yang luar biasa dalam kalangan kaum muhajirin, ansor dan bahkan kaum
kafir.
Sehubungan dengan salah satu bentuk penjabaran motivasi amal saleh dan
kerja islami, Rasulullah saw. mengemukakan, “sesungguhnya semua pekerjaan
tergantung pada niatnya”. Berkenaan dengan niat tersebut, seorang muslim
hendaknya melandasi niat dari setiap amalnya dengan berharap mendapatkan ridho
dari Allah. Kerja berlandaskan niat beribadah hanya kepada Allah adalah salah
satu karakteristik penting etos kerja islami yang tergali dan timbul dari aqidah.
2. Kerja Dilandasi Ilmu
Pengertian akal umumnya mencakup kerja otak dan kerja qalb dalam rangka
memahami sesuatu. Akal diciptakan dengan tujuan sebagai alat pemaham manusia.
Dengan kepahaman yang dimiliki, manusia akan mampu mewujudkan kehidupan yang
benar di dunia ini.
Manusia menjadi lain daripada yang lain karena ia mempunyai akal dan
kehendak bebas. Dengan potensi akal, ilmu pengetahuan dan nafsu yang
dikaruniakan Tuhan, manusia memang menjadi lebih potensial untuk menunaikan
tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.
Dari penjabaran di atas, dapat ditemukan hal yang bersifat tegas dalam
menguraikan peran ilmu dalam etos kerja, yaitu:
·
Bahwasanya sumber ilmu yang mendasari etos kerja islami adalah wahyu dan
keteraturan hukum alam (hasil penelitian akal).
·
Bahwasanya ilmu ‘aqly (madaniy), sebagaimana ilmu yang berdasarkan wahyu,
mempunyai posisi yang sama dengan kedudukan iman.
·
Bahwasanya proses dalam memperoleh ilmu ‘aqly adalah sebuah proses
mendididk pribadi muslim untuk bersikap ilmiah, proaktif, berdisiplin tinggi,
dan sebagainya.
·
Implikasi dari munculnya ilmu adalah pemahaman bahwa beretos kerja tinggi
adalah kodrati bagi umat islam.
3. Kerja dengan Meneladani
ifat-sifat Ilahi serta Mengerti Petunjuk-petunjukNya
Menurut Hasan Langgulung,
berdasarkan al-Quran surat al-Hijr ayat 29, dapat dikembangakan penafsiran yang
menunjukkan adanya hubungan antara potensi-potensi manusia yang dikaruniakan
Tuhan dengan sifat-sifat-Nya.[10] Bentuk dan kualitas dari sifat-sifat tersebut bersifat terbatas dan
berbeda dengan sifat haqiqi Allah. Etos kerja islami sebagaimana etos kerja
umumya tidak dapat terwujud tanpa didukung oleh sifat giat dan aktif manusia
bersangkutan memanfaatkan potensi-potensi yang ada padanya. Keistimewaan orang
beretos kerja islami aktivitasnya dijiwai oleh dinamika aqidah dan motivasi
ibadah.
Orang beretos kerja islami menyadari bahwa potensi yang
dikaruniakan dan dapat dihubungkan dengan sifat-sifat Ilahi pada dasrnya
merupakan amanah yang harus ditunaikan dengan bertanggung jawab sesuai dengan
syari’at islam.
2.7 Indikasi Orang
Beretos Kerja Islami Tinggi
Dan dalam batas-batas
tertentu, ciri-ciri etos kerja islami dan ciri-ciri etos kerja tinggi pada
umumnya banyak keserupaannya, utamanya pada dataran lahiriahnya. Ciri-ciri
tersebut antara lain :
Ø Baik
dan Bermanfaat
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan
pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan
mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu
maupun kelompok.
Ø Kemantapan
atau perfectness
Kualitas kerja yang mantap atau perfect merupakan
sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan
yang islami yang berarti pekerjaan mencapai standar ideal secara teknis.
Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang
optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau
mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Sehubungan dengan ini, optimalisasi
nilai hasil kerja berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan
etos kerja, yaitu melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin
atau seoptimal mungkin.
br&ur }§ø©9 Ç`»|¡SM~Ï9 wÎ) $tB 4Ótëy ÇÌÒÈ
“dan
bahwasannya seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya”. (al-Qur’an Surat Al-Najm ayat 39).
Ø Kerja Keras,
Tekun dan Kreatif.
Kerja keras, yang dalam Islam diistilahkan
dengan mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan
oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan
segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang
baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya.
Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya
yang diperlukan, tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya
gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa:
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷yt ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ÌøBr& «!$# 3 cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib manusia sebelum
mereka mengubah apa yang ada pada dirinya. (al-Qur’an Surat Ar-Ra’du ayat
11).
Ø Berkompetisi
dan Tolong-menolong
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan
persaingan dalam kualitas amal shalih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam
beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah, seperti “fastabiqul
khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan. Oleh
karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada
Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram;
saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun).
Ø Objektif
(Jujur)
Sikap ini dalam Islam diistilahkan dengan shidiq,
artinya mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal
perbuatan dengan nilai-nilai yang benar dalam Islam. Tidak ada
kontradiksi antara realita dilapangan dengan konsep kerja yang ada. Dalam dunia
kerja dan usaha kejujuran ditampilakan dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan,
baik ketepatan waktu, janji, pelayanan, mengakui kekurangan, dan kekurangan
tersebut diperbaiki secara terus-menerus, serta menjauhi dari berbuat bohong
atau menipu
Ø Disiplin
atau Konsekuen
Selanjutnya sehubungan dengan ciri-ciri etos
kerja tinggi yang berhubungan dengan sikap moral yaitu disiplin dan konsekuen,
atau dalam Islam disebut dengan amanah. Sikap bertanggungjawab terhadap amanah
merupakan salah satu bentuk akhlaq bermasyarakat secara umum, dalam konteks ini
adalah dunia kerja. Allah memerintahkan untuk menepati janji adalah bagian dari
dasar pentingnya sikap amanah.Janji atau uqud dalam ayat tersebut mencakup
seluruh hubungan, baik dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain dan alam semesta,
atau bisa dikatakan mencakup seluruh wilayah tanggung jawab moral dan sosial
manusia. Untuk menepati amanah tersebut dituntut kedisiplinan yang
sungguh-sungguh terutama yang berhubungan dengan waktu serta kualitas suatu
pekerjaan yang semestinya dipenuhi.
Ø Konsisten
dan Istiqamah
Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan dan
kesabaran sehingga menghasilkan sesuatu yang maksimal. Istiqamah merupakan
hasil dari suatu proses yang dilakukan secara terus-menerus. Proses itu akan
menumbuh-kembangkan suatu sistem yang baik, jujur dan terbuka, dan sebaliknya
keburukan dan ketidakjujuran akan tereduksi secara nyata. Orang atau lembaga yang
istiqamah dalam kebaikan akan mendapatkan ketenangan dan sekaligus akan
mendapatkan solusi daris segala persoalan yang ada. Inilah janji Allah kepada
hamba-Nya yang konsisten/istiqamah.
Ø Percaya
diri dan Kemandirian
Sesungguhnya daya inovasi
dan kreativitas hanyalah terdapat pada jiwa yang merdeka, karena jiwa yang
terjajah akan terpuruk dalam penjara nafsunya sendiri, sehingga dia tidak
pernah mampu mengaktualisasikan aset dan kemampuan serta potensi ilahiyah yang ia
miliki yang sungguh sangat besar nilainya. Semangat berusaha dengan jerih payah diri
sendiri merupakan hal sangat mulia posisi keberhasilannya dalam usaha
pekerjaan.
Ø Efisien
dan Hemat
Agama Islam sangat menghargai harta dan
kekayaan. Jika orang mengatakan bahwa agama Islam membenci harta, adalah tidak
benar. Yang dibenci itu ialah mempergunakan harta atau mencari harta dan
mengumpulkannya untuk jalan-jalan yang tidak mendatangkan maslahat, atau tidak
pada tempatnya, serta tidak sesuai dengan ketentuan agama, akal yang sehat dan ‘urf
(kebiasaan yang baik). Demi kemaslahatan harta tersebut, maka sangat dianjurkan
untuk berperilaku hemat dan efisien dalam pemanfaatannya, agar hasil yang
dicapai juga maksimal. Namun sifat hemat di sini tidak sampai kepada kerendahan
sifat yaitu kikir atau bakhil. Sebagian ulama membatasi sikap hemat yang
dibenarkan kepada perilaku yang berada antara sifat boros dan kikir, maksudnya
hemat itu berada di tengah kedua sifat tersebut. Kedua sifat tersebut akan
berdampak negatif dalam kerja dan kehidupan, serta tidak memiliki kemanfaatan
sedikit pun, padahal Islam melarang sesorang untuk berlaku yang tidak
bermanfaat.
2.8 Etika
Kerja dalam Islam
Pada hakikatnya etika kerja islami merupakan
pancaran nilai yang ikut membentuk corak khusus karakteristik etos kerja
islami.([11])
Dalam memilih seseorang ketika akan diserahkan tugas, rasulullah melakukannya
dengan selektif. Diantaranya dilihat dari segi keahlian, keutamaan (iman) dan
kedalaman ilmunya. Beliau senantiasa mengajak mereka agar itqon dalam
bekerja. Sebagaimana dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat
al-Qur’an menyatakan kata-kata iman yang diikuti oleh amal saleh yang
orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan.
Pandangan Islam tentang pekerjaan perlu kiranya
diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya. Sabda Nabi SAW yang amat terkenal
bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja tergantung pada niat pelakunya. Dalam
sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda bahwa “sesungguhnya
(nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang diniatkan.” (HR. Bukhari dan
Muslim).
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh
seseorang tergantung dari tinggi rendahnya niat. Niat juga merupakan dorongan
batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. Nilai
suatu pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman
Allah SWT agar kita tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan
menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=ÏÜö7è? Nä3ÏG»s%y|¹ Çd`yJø9$$Î/ 3sF{$#ur É©9$%x. ß,ÏÿYã ¼ã&s!$tB uä!$sÍ Ä¨$¨Z9$# wur ß`ÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ( ¼ã&é#sVyJsù È@sVyJx. Ab#uqøÿ|¹ Ïmøn=tã Ò>#tè? ¼çmt/$|¹r'sù ×@Î/#ur ¼çm2utIsù #V$ù#|¹ ( w crâÏø)t 4n?tã &äóÓx« $£JÏiB (#qç7|¡2 3 ª!$#ur w Ïôgt tPöqs)ø9$# tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇËÏÍÈ
264. Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
(perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya
kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah Dia bersih (tidak bertanah).
mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir (Al-Baqoroh: 264).
Keterkaitan ayat-ayat di
atas memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama kerja, apapun
bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan
antara taqwa dengan iman berarti mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan
membiarkan kerja berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan
kaitannya dalam pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta
pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan
disini bahwa kerja mempunyai etika yang harus selalu diikut sertakan
didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti adanya iman dan barometer bagi
pahala dan siksa. Hendaknya setiap pekerjaan disampung mempunyai tujuan akhir
berupa upah atau imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh
keridhaan Allah SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh
umat Islam sehingga hasil pekerjaan mereka bermutu dan monumental sepanjang
zaman.
Jika bekerja menuntut
adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah serta tidak
diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan sesuatu dan semena-mena, pekerjaan
harus mempunyai komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan
seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping itu
mereka harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah kerja menjadi
suatu tradisi kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Adapun hal-hal yang penting tentang etika kerja
yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
(1)
Ikhlas menerima takdir
Bertolak dari kerelaan terhadap takdir,
(setelah berusaha sungguh-sungguh) orang beriman dapat menerima kenyataan
dengan hati lebih ikhlas dan istiqomah. Semangat kerjanya menjadi lebih stabil
dan segar. Bila seseorang bekerja didukung oleh kesadaran bahwa kerja itu
merupakan karunia bernilai ibadah dan menghasilkan sesuatu yang diharapkan
bersifat duniawi dn ukhrawi, niscaya akan melahirkan makna tersendiri bagi
hidup dan kehidupan orang bersangkutan.
Sehubungan dengan bagaimana cara mnsikapi
takdir, Rasul Saw bersabda: “Antusiaslah terhadap apa saja yang bermanfaat
bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan sekali-kali kamu bersikap
lemah. Kalau mengalami kejadian yang merupakan musibah, kamu tidak usah
berkata, “andaikata aku dulu melakukan begini begitu, yang terjadi tentu begini
begitu. “Tetapi berkatalah, “apa yang terjadi merupakan takdir Allah. Dia
berbuat sekehendaknya. Sesungguhnyalah berandai-andai akan membuka peluang bagi
perbuatan setan.”([12])
Hadits di atas menyiratkan
ajaran agar orang beriman tetap antusias melakukan apa saja yang bermanfaat
dalam berbagai keadaan, termasuk ketika dihadapkan pada situasi atau kejadian
yang tidak menyenangkan. Menyerahkan segala persoalan di luar kemampuan kepada
Allah merupakan solusi yang menyebabkan hati orang bersangkutan menjadi lebih
ikhlas, lapang, dan nyaman sehingga menuntun batin menuju keridhaan kepada
Allah.
(2)
Menegakkan proporsionalitas
Keunikan ajaran islam dalam hidup giat bekerja
terletak pada pola hidup berkeseimbangan yang diajarkannya.([13]) Jika “inner wordly ascestism” yang mendorong
kerja giat para penganut ajaran Protestan – menurut weber adalah “panggilan”
untuk menjadi orang terpilih oleh Tuhan, maka kemutlakan islami pada setiap
muslim dan muslimah ialah untuk berusaha melaksanakan ajaran Islam secara
“kaffah”, simultan dan proporsional, baik dalam mengerjakan ibadah mahdah
maupun ibadah dalam arti menunaikan aktivitas keduniaan. Ketidak seimbangan
atau tidak adil dalam dua jalur hubungan tersebut tidak etis dan akan
mengakibatkan “Zillah” kerendahan, kehinaan atau kekalahan bagi umat
bersangkutan.
Etos kerja islami, proporsional bisa diterapkan
oleh manusia dalam seluruh aktivitasnya, baik pada aktivitas keduniaan maupun
ubudiyah formal. Dengan kesadaran dan semangat yang sama, bertolak dari niat
ibadah dan mencari rida Allah. Dengan demikian, orang yang beretos kerja islami
di samping giat dalam “altivitas duniawi” dia tentu giat pula menunaikan
shalat, puasa dan rukun islam dan amalan-amalan sunnah lainnya.
(3)
Sadar menaati norma
Berkenaan dengan masalah hukum dan norma-norma
agama, ternyata dalam perspektif islam ditemukan kerja yang masyru’,
diperkenankan bahkan didiorong untuk mengamalkannya. Namun di samping itu
terdapat kerja yang ghairu masyru’, hukumnya tidak diperkenankan atau dilarang.
Dalam hal ini mesti dikembangkan sikap-sikap dan perilaku yang bertolak dari
ketaatan terhadap norma-norma Ilahi sehubungan dengan kerja.
Kerja masyru’ misalnya
berdagang bila dibarengi dengan kejujuran, keikhlasan, menjaga amanah, dan
bersih akan mendatangkan berkah dari pekerjaan yang telah ia lakukan. Sedangkan kerja ghairu masyru’ adalah
menimbun barang dagangan, merampas hak orang lain, mencuri, dan
pekerjaan-pekerjaan yang mengandung “zulm” lainnya.
Kalau penjelasan dan uraian di taas dianalisis
secara cermat, akan tampak esensi persoalannya bahwa masyru’ dan tidak
masyru’nya pekerjaan ditentukan oleh:
·
Nilai pekerjaan itu
·
Cara melakukannya.
·
Cara Menumbuhkan Etos Kerja :
1. Menumbuhkan sikap optimis :
- Mengembangkan semangat dalam diri
- Peliharalah sikap optimis yang telah
dipunyai
- Motivasi diri untuk bekerja lebih maju
2. Jadilah diri anda sendiri :
-
Lepaskan impian
-
Raihlah cita-cita yang anda harapkan
3. Keberanian
untuk memulai :
-
Jangan buang waktu dengan bermimpi
-
Jangan takut untuk gagal
-
Merubah kegagalan menjadi sukses
4. Kerja dan
waktu :
-
Menghargai waktu (tidak akan pernah ada ulangan waktu)
-
Jangan cepat merasa puas
5. Kosentrasikan
diri pada pekerjaan :
-
Latihan berkonsentrasi
-
Perlunya beristirahat
6. Bekerja adalah sebuah panggilan Tuhan
Aspek Kecerdasan yang Perlu Dibina dalam Diri, untuk
Meningkatkan Etos Kerja :
1. Kesadaran : keadaan
mengerti akan pekerjaanya.
2.
Semangat : keinginan untuk bekerja.
3.
Kemauan : apa yang diinginkan atau keinginan, kehendak dalam bekerja.
4.
Komitmen : perjanjian untuk melaksanakan pekerjaan (janji dalam bekerja).
5.
Inisiatif : usaha mula-mula, prakarsa dalam bekerja.
6.
Produktif : banyak menghasilkan sesuatu bagi perusahaan.
7. Peningkatan : proses, cara atau
perbuatan meningkatkan usaha, kegiatan dan sebagainya dalam bekerja.
8.
Wawasan : konsepsi atau cara pandang tentang bekerja
2.9 Etos Kerja Rasulullah Sebagai Uswah (Contoh)
Rasulullah SAW
menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja
bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridaan
Allah SWT.Suatu hari Rasulullah SAW berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz
Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong
kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. “Kenapa tanganmu?,” tanya
Rasul kepada Sa’ad. “Wahai Rasulullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku
seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah
keluarga yang menjadi tanggunganku”. Seketika itu beliau mengambil tangan Sa’ad
dan menciumnya seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh
api neraka”.
Dalam kisah
lain disebutkan bahwa ada seseorang yang berjalan melalui tempat Rasulullah
SAW. Orang tersebut sedang bekerja dengan sangat giat dan tangkas. Para sahabat
kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah, andaikata bekerja semacam orang itu dapat
digolongkan jihad fi sabilillah, maka alangkah baiknya.” Mendengar itu Rasul
pun menjawab, “Kalau ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil,
itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk menghidupi kedua orangtuanya
yang sudah lanjut usia, itu adalah fi sabilillah; kalau ia bekerja untuk
kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, itu juga fi sabilillah.”
(HR Ath-Thabrani).
Bekerja adalah
manifestasi amal saleh. Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah ibadah.
Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari
kerja. Bukankah Allah SWT menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya?
Kisah di awal
menggambarkan betapa besarnya penghargaan Rasulullah SAW terhadap kerja. Kerja
apapun itu selama tidak menyimpang dari aturan yang ditetapkan agama. Demikian
besarnya penghargaan beliau, sampai-sampai dalam kisah pertama, manusia
teragung ini “rela” mencium tangan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari yang melepuh
lagi gosong. Rasulullah SAW, dalam dua kisah tersebut, memberikan motivasi pada
umatnya bahwa bekerja adalah perbuatan mulia dan termasuk bagian dari jihad.
Rasulullah SAW
adalah sosok yang selalu berbuat sebelum beliau memerintahkan para sahabat
untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai ushwatun
hasanah; teladan yang baik bagi seluruh manusia. Maka saat kita berbicara
tentang etos kerja islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi
rujukan. Dan berbicara tentang etos kerja Rasulullah SAW sama artinya dengan
berbicara bagaimana beliau menjalankan peran-peran dalam hidupnya.
Ada lima
peran penting yang diemban Rasulullah SAW, yaitu : Pertama, Sebagai
Rasul. Peran ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut
beliau harus berdakwah menyebarkan Islam; menerima, menghapal, menyampaikan,
dan menjelaskan tak kurang dari 6666 ayat Alquran; menjadi guru (pembimbing)
bagi para sahabat; dan menjadi hakim yang memutuskan berbagai pelik
permasalahan umat-dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
Kedua, Sebagai kepala
negara dan pemimpin sebuah masyarakat heterogen. Tatkala memegang posisi ini
Rasulullah SAW harus menerima kunjungan diplomatik “negara-negara sahabat”.
Rasul pun harus menata dan menciptakan sistem hukum yang mampu menyatukan kaum
Muslimin, Nasrani, dan Yahudi, mengatur perekonomian, dan setumpuk masalah
lainnya.
Ketiga, Sebagai
panglima perang. Selama hidup tak kurang dari 28 kali Rasul memimpin
pertempuran melawan kafir Quraisy. Sebagai panglima perang beliau harus
mengorganisasi lebih dari 53 pasukan kaveleri bersenjata. Harus memikirkan
strategi perang, persedian logistik, keamanan, transportasi, kesehatan, dan
lainnya.
Keempat, sebagai
kepala rumahtangga. Dalam posisi ini Rasul harus mendidik, membahagiakan, dan
memenuhi tanggung jawab-lahir batin-terhadap para istri beliau, tujuh
anak, dan beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat
perhatian terhadap keluarganya. Di tengah kesibukannya Rasul pun masih sempat
bercanda dan menjahit sendiri bajunya.
Kelima, Sebagai
seorang pebisnis. Sejak usia 12 tahun pamannya Abu Thalib sudah mengajaknya
melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri yang saat ini meliputi Syria,
Jordan, dan Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit
dalam perjalanan bisnis Rasul karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan
pemain pemain senior dalam perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun
merupakan titik keemasan entrepreneurship Rasulullah SAW terbukti dengan
“terpikatnya” konglomerat Mekah, Khadijah binti Khuwailid, yang kemudian
melamarnya menjadi suami. Afzalurrahman dalam bukunya, Muhammad Sebagai Seorang
Pedagang (2000: 5-12), mencatat bahwa Rasul pun sering terlibat dalam
perjalanan bisnis ke berbagai negeri seperti Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan
beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun.
Adalah kenyataan bila Rasulullah SAW mampu menjalankan kelima perannya tersebut
dengan sempurna, bahkan menjadi yang terbaik. Tak heran bila para ilmuwan, baik
itu yang Muslim maupun non-Muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang paling
berpengaruh.
Rahasia Kesuksesan Karier dan Pekerjaan Rasulullah SAW
1.
Pertama, Rasul selalu bekerja dengan terbaik, profesional, dan tidak
asal-asalan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah menginginkan jika salah
seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan kualitasnya”.
2. Kedua, dalam bekerja Rasul melakukannya dengan manajemen yang baik, perencanaan yang jelas, pentahapan aksi, dan adanya penetapan skala prioritas.
3. Ketiga,
Rasul tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan sekecil apapun. “Barang
siapa yang dibukakan pintu kebaikan, hendaknya dia mampu memanfaatkannya,
karena ia tidak tahu kapan kebaikan ditutup darinya”. Demikian Beliau bersabda.
4. Keempat, dalam
bekerja
Rasul selalu
memperhitungkan
masa depan. Beliau adalah
sosok yang
visioner, sehingga segala aktivitasnya benar-benar terarah dan terfokus.
5. Kelima, Rasul tidak pernah menangguhkan pekerjaan. Beliau bekerja secara tuntas dan berkualitas.
6. Keenam, Rasul bekerja secara berjamaah dengan mempersiapkan (membentuk) tim yang solid yang percaya pada cita-cita
bersama.
7. Ketujuh,
Rasul adalah pribadi yang sangat menghargai waktu. Tidak berlalu sedetik pun waktu, kecuali menjadi
8. Kedelapan, tentunya ada nilai tambah bagi diri dan umatnya. Dan yang terakhir, Rasulullah SAW menjadikan
kerja sebagai aktualisasi
keimanan dan
ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhaan Allah SWT. Inilah kunci terpenting.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kerja merupakan perkara
yang mubah untuk dilakukan. Namun akan berbeda-beda hukum yang muncul
berdasrkan niat dari mengerjakan pekerjaan tersebut. Bekerja dengan
sungguh-sungguh adalah anjuran yang ditujukan untuk pribadi muslim karena
seyogyanya islam tidak menyukai umat yang bermalas-malasan dan menganggur.
Etos kerja merupakan semangat untuk bekerja.
Bekerja itu sendiri merupakan melakukan usaha kegiatan untuk mencapai tujuan. Etos kerja diperlukan dalam melaksanakan suatu pekerjaan karena dengan etos
kerja, seseorang akan lebih baik dalam bekerjanya. Etos kerja tidak hanya
dipengaruhi oleh satu faktor saja. Namun banyak faktor yang menjadi penentu
etos dalam bekerja.
DAFTAR
PUSTAKA
Ilfi, Nur Diana. 2008. Hadis-hadis Ekonomi. Malang: Uin-Malng Press
(Anggota IKAPI).
Asifudin, A. Janan. 2004. Etos Kerja Islami. Surakarta: Muhammadiyah
University Press.
KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja,
Jakarta : Gema Insani.
Quraish Shihab, 1998, Wawasan al-Qur’an,
Jakarta : Mizan.
Asnan Syafi’I Wagino, Menabur Mutiara Hikmah,
Jakarta : Mizan
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Indonesia, h. 488.
[2] Hornby, A.S., Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Ed. 5, p. 1375.
[3] Mahmud Abus-Sa’ud, al-Fikrul-Islamy al-Mu’asir Madmunuhu wa
Mustaqbaluh, (Bairut, al-Kuwait: tpn., 1398 H/1978 M), h. 49
[4] QS. Al-Ahqaf/46:19.
[5] Isa Abduh dan Isma’il Yahya, al-‘Amal, h. 44-45
[6] Lewis Mulford Adams, et.. al, Webster World University Dictionary,
(Washington DC: Publishers Company Inc., 1965, h. 331).
[7] Mochtar Buchori, Penelitian Pendidikan dan PendidikanIslam di
Indonesia, Jakarta: IKIP Muhammadiyah Press, 1994), h. 331.
[8] Ilfi Nur Diana, Hadis-hadis Ekonomi, h. 210
[9] Suma’mur, Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, h. 50.
[10] Hasan Langgulung, Kreativitas dan pendidikan Islam, (jakarta: Pustaka
al-Husna, 1991), h. 21.
[11] A. Janan Asifudin, Etos Kerja Islami, h. 92
[12] Tanpa Pengarang, Sahih Muslim Bisyarh an-Nawawiy, jilid ke-9, h.
215.
[13] Azhar Arsyad, “Paham Teologi dan Implikasinya”, h. 69